Cinta dalam Pandangan Ibn Sina
iflegma.com

Cinta dalam Pandangan Ibn Sina

Oleh: M.S. Arifin

Melalui bukunya ‘ar-Risalah fi Mahiyah al-‘Isyq’ (Tentang Cinta, Circa, 2021), Ibn Sina mendoktrin kita dengan suatu teori cinta. Premisnya cukup sederhana diungkap, namun amat rumit dipahami: “Tiap-tiap wujud yang dideterminasi oleh suatu tujuan memiliki hasrat yang alamiah dan cinta yang naluriah.” (hal. 3). Apa itu wujud yang determinan? Jawabannya: seluruh wujud yang diwujudkan oleh dzat yang Maha Kuasa. Dalam bahasa agama, kita menyebutnya Tuhan, Allah, Yahweh, dst.

Kealamiahan dan kenaluriahan wujud untuk selalu dipeluk cinta menunjukkan suatu keniscayaan. Berbeda dari keniscayaan cinta Tuhan yang menjadi dasar bagi adanya seluruh wujud karena Dia memanifestasikan dzat-Nya, keniscayaan cinta dalam diri entitas determinan selalu dikondisikan untuk menuju ke kebaikan, ada kalanya menuju ke kebaikan yang orientasinya adalah kelangsungan hidup dan spesiesnya, ada kalanya tercerabut untuk mencintai Kebaikan Absolut, Sang Maha Pecinta.

Entitas merupakan wujud hakiki, ia bukan konsepsi universal melainkan wujud partikular yang mewujud. Secara umum entitas ini dibagi dua: (i) entitas non-hayati, dan (ii) entitas hayati. Entitas hayati memuat wujud yang berada dalam alam korupsi dan destruksi, yaitu raga dan kebendaan, dan wujud yang berada di atas alam itu, yakni jiwa-jiwa ilahiah.

Dari wujud-wujud di atas, manusia menempati posisi yang unik. Secara ragawi ia berada di bawah alam kerusakan, namun secara spritual jiwanya abadi di atas alam itu. Ibn Sina menyebut manusia dengan ‘Cendikiawan dan Bujang’. Ciri utama cinta ini adalah dorongan kepada yang elok dan indah. Secara ragawi, manusia tidak berbeda dari hewan lainnya; cintanya naluriah menuju ke kesempurnaan profannya, yakni bertahan hidup untuk mengabadikan eksistensinya dan berkembang biak untuk melanggengkan genus dan spesiesnya.

Berada di posisi unik tersebut, secara tindakan justru kita menghadapi dilema. Letak masalahnya, dalam menghadapi kenyataan hidup kemudian dikaitkan dengan doktrin cinta Ibn Sina, kita lantas bertanya: apabila tiap entitas niscaya dipeluk oleh cinta, kenapa manusia, bagian dari entitas itu, terkadang saling membenci antar sesama? Pertanyaan semacam ini biasanya bernuansa moralis. Ibn Sina secara eksplisit tidak mempertanyakan hal itu, tetapi dari logika yang dibangunnya, kita akan mendapati jawaban yang bernuansa lain, yakni ontologis dan metafisis.

Manusia, bagi Ibn Sina, adalah entitas yang berbagi fakultas dengan hewan. Fakultas itu dibagi menjadi dua: (i) eksternal, yakni lima indra, dan (ii) internal, yakni indra komunal, ilusi, imajinasi, memori, dan rasio. Fakultas internal ada pada semua hewan, dan manusia unggul karena memiliki fakultas yang terakhir. Selain itu, manusia, sebagaimana hewan, juga memiliki pembagian fakultas lain, yaitu (i) fakultas kemarahan, dan (ii) fakultas hasrat. Seluruh fakultas ini, menurut Ibn Sina, dijangkiti cinta. Fakultas kemarahan dalam hewan bertugas untuk mempertahankan diri dari pihak luar yang mengancam kelangsungan hidupnya. Sedangkan fakultas hasrat bertugas untuk melangsungkan hidupnya secara ragawi.

Dari tinjauan di atas, kita tahu bahwa tiap entitas sejatinya bersifat egoistis. Secara naluriah, mereka berusaha mengaktualkan dirinya dan menghindar dari kekurangan identiknya. Apa itu? “Keburukan material dan nihilitas murni.” Nah, dari teori ini lalu timbul pertanyaan moralistis: apakah karena secara ontologis tiap wujud itu bersifat egoistis, maka ia boleh menghalalkan segala cara untuk mempertahankan dirinya meskipun mengorbankan Liyan?

Buku ‘Tentang Cinta’ tidak dapat secara telanjang diketengahkan untuk menjawab pertanyaan moral. Namun, satu hal yang perlu digaris-bawahi: jika tidak ada entitas yang lepas dari cinta sementara cinta itu sendiri senantiasa bersifat egoistis, maka secara ontologis kebencian adalah cinta itu sendiri. Hakikat kebencian tidak lain hanyalah efek dari suatu kecintaan terhadap hal lain selain yang dibenci. Jadi, kebencian selalu bersifat negatif. Ia menegasi sesuatu yang tidak dicintai, yang ada kalanya: (i) berbahaya bagi eksistensinya, atau (ii) tidak berbahaya. Jika berbahaya maka lawan dari cinta adalah kebencian itu, namun jika tidak maka lawannya adalah rasa acuh.

Dalam pada itu, letak masalahnya bukan hanya soal antitesis cinta-benci, melainkan juga menyentuh pertimbangan rasio. Akal yang menjadi ciri utama manusia yang mana jiwanya dapat menjadi jiwa yang ilahiah haruslah menjadi titik tolaknya. Tiap manusia memiliki ego yang senantiasa bersifat egois. Tetapi egois di sini tidak dalam arti etis. Manusia saling membenci karena mereka lupa untuk apa akal diciptakan. Akal inilah yang dapat menemukan hakikat cinta. Apa itu? “Cinta adalah tidak lain kecuali ‘cocok’ dengan yang indah dan yang elok.” (hal. 6). Sudah lama kita menyaksikan ketidak-indahan dan ketidak-elokan, sampai-sampai kita lupa indahnya ‘kebenaran universal’ bahwa kita, sang manusia ini, hanyalah “makhluk yang mewariskan.” Apa itu warisan? Sejarah! Dan sejarah selalu bersifat etis.

M.S. Arifin. Alumni Al-Azhar Mesir

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *