Mun’im Sirry, Pesantren, dan Pembaruan Islam
photos.nd.edu

Mun’im Sirry, Pesantren, dan Pembaruan Islam

Saya mengenal gagasan-gagasan Mun’im Sirry sejak kuliah S1 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tepatnya tahun 2010. Ketika itu, saya termasuk mahasiswa yang gemar membaca dan suka dengan gagasan-gagasan progresif Islam. Kendati saya tumbuh dan berkembang di lingkungan Islam tradisional, yakni pesantren, hal itu tidak menghalangi saya untuk membaca pikiran-pikiran pembaharu yang sangat menggugah pikiran dan membuka cakrawala keindahan Islam dari sisi intelektualitas.

Mun’im Sirry sendiri merupakan intelektual progresif asal Indonesia yang sekarang menjadi Dosen Studi Islam di Universitas Notre DAme, Amerika Serikat. Beliau adalah sarjana Muslim produktif lulusan Pondok Pesantren Al-Amin, Madura. Tercatat, beliau menempuh pendidikan S1 di Pakistan dan melanjutkan jenjang S2 dan S3 di Chicago, Amerika Serikat.

Mun’im Sirry memang terkenal dengan gagasan-gagasan keislaman yang kontroversial, terutama bila melihat karya-karya beliau yang cukup kritis terhadap kajian-kajian keislaman. Kendati demikian, tidak ada salahnya memahami pemikiran Mun’im Sirry guna membangun pemahaman yang lebih progresif tentang Islam.

Buku-buku pak Mun’im Sirry memang bisa dibilang cukup menantang, hal ini karena kajian-kajian yang ia lakukan cukup baru, termasuk bila dilihat dari sudut pandang pesantren yang sangat mempertahankan tradisi Islam klasik dan kurang mengakomodir gagasan Islam modern. Saya tidak tahu apa alasan persisnya pesantren sangat kokoh mempertahankan tradisi Islam klasik, padahal ilmu-ilmu keislaman telah berkembang pesat hingga zaman kontemporer sekarang.

Saya menduga bahwa gagasan ortodoksi menjadi salah satu pemicu utama bagi pesantren yang kurang membuka diri terhadap gagasan Islam modern, dan sudah merasa cukup nyaman dengan Islam klasiknya. Tentu ini bisa dipahami dan dibenarkan, mengingat pesantren adalah lembaga keagamaan tradisional yang ingin tetap mempertahankan dan melestarikan warisan Islam klasik dengan seabrek karya-karya ulama terdahulu.

Dinding-dinding pesantren terasa begitu kokoh dalam membendung arus peradaban Islam modern yang dirasa tidak perlu atau tidak cukup penting untuk masuk di kalangan pesantren. Ini wajar karena sebagaimana saya katakan di atas, pesantren, dengan ortodoksinya, dan mempertahankan warisan Islam klasik, ingin tradisi ini tetap dijaga tanpa ada pengaruh-pengaruh modernitas yang terkadang dianggap berbahaya.

Saya sendiri sekarang menjadi pengajar di salah satu pondok pesantren di Lampung. Ketika benar-benar mengalami bagaimana tradisi Islam yang berkembang di pesantren, saya betul-betul merasa seolah ada sesuatu yang kurang, mengingat saya banyak membaca buku-buku Islam progresif selama kuliah dulu.

Saya sering berpikir dan bertanya-tanya, mengapa Islam di pesantren begini-begini saja, dan kurang membuka diri terhadap perkembangan pemikiran Islam modern? Padahal, Islam yang dikembangkan di luaran sana, katakanlah di kampus-kampus Islam, telah berkembang sedemikian pesat, terutama pada aspek metodologi baru dalam mengembangkan pemikiran Islam mutakhir.

Dari sini, saya menyadari bahwa ternyata bukan saja ortodoksi dan mempertahankan warisan Islam klasik di pesantren, sehingga membuat pesantren terkesan “mundur ke belakang”. Faktor utamanya ternyata kurangnya pemahaman dan kesadaran yang komprehensif terhadap perkembangan dan kemajuan Islam di era modern.

Kurangnya pemahaman ini, terutama pada aspek metodologi pemikiran, membuat pesantren begitu-begitu saja dalam mengkaji Islam, ini tidak bermaksud meremehkan pesantren, tetapi lebih pada otokritik di mana pesantren seolah terkukung dan terpenjara oleh warisan masa lalu dan sulit baginya untuk keluar.

Akibatnya, pesantren kurang memiliki wawasan yang memadai terhadap perkembangan Islam kontemporer, dan akhirnya kurang dapat beradaptasi dengan pemikiran-pemikiran baru. Dari sini, masalah demi masalah mulai dapat terlihat, misalnya kurang mampu mengelaborasikan antara keilmuan Islam klasik dengan keilmuan Islam modern atau kontemporer, terutama memanfatkkan ilmu pengatahuan umum untuk dapat dielaborasikan dengan keilmuan Islam klasik. Masalah-masalah ini akan makin meluas bila ditarik pada aspek menghadapi berbagai problem dan tantangan zaman.

Buku Think Outside the Box

Terhadap berbagai masalah yang dihadapi di dunia pesantren, terutama pada aspek pengembangan ilmu-ilmu keislaman, saya kira buku karya bapak Mun’im Sirry berjudul Think Outside the Box yang belum lama terbit dapat menjadi jembatan penghubung untuk mewujudkan Islam yang progresif dan dapat menyesuaikan diri dengan dinamika zaman.

Sesuai judulnya, buku Think Outside the Box menawarkan pembacaan kritis nan baru terhadap khazanah pemikiran Islam klasik guna memberi jawaban terhadap berbagai problem kontemporer yang mengiri umat Islam. Seperti karya-karya Mun’im Sirry yang lain, buku ini banyak memanfaatkan metodologi ilmu pengetahuan modern – terutama ilmu sejarah – untuk memahami Islam. Sebuah pendekatan yang patut diapresiasi dan ditiru.

Saya sendiri sudah banyak membaca buku-buku pak Mun’im, dan semuanya menggugah pikiran untuk terus memikirkan kembali bagaimana Islam yang cocok dengan zaman ini. Islam yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan zaman.

Kita tidak harus mengamini semua pandangan-pandangan Mun’im Sirry di setiap gagasan yang dicurahkan dalam bukunya. Paling tidak, Mun’im Sirry dapat menjadi gambaran bagaimana menjadi Muslim yang baik di abad 21, yakni tanpa lelah menggali khazanah Islam klasik dan sebuah upaya untuk memahami Islam di abad 21.

Salah satu kekuatan utama dari karya-karya Mun’im Sirry, mungkin juga termasuk buku ini, Think Outside the Box, adalah kekuatan analisis terhadap khazanah Islam klasik dengan pendekatan ilmu-ilmu modern, terutama pendekatan kesejarahan. Uniknya, pendekatan sejarah yang dipakai pak Mun’im tidak tenggelam di masa lalu, justru pendekatan itu dapat menjadi alat untuk melihat Islam masa kini dan masa depan.

Buku Think Outside the Box saya kira sangat penting, bukan hanya isinya yang sangat kaya dan pendekatan yang baik dalam memahami Islam, tetapi juga dapat memperbaiki pola pikir di kalangan pesantren yang umumnya masih terpenjara oleh ortodoksi, atau katakanlah Islam pesantren masih sangat bercorak konservatif.

Inilah saya kira yang ingin diharapkan oleh penulis buku ini, di mana umat Islam harus memikirkan kembali bagaimana ia memahami Islam, karena Islam abad 21 sangatlah berbeda dengan Islam abad 12, lebih-lebih zaman Nabi dan Sahabat.

Tentu, tidak semua hal di buku ini bisa diterima oleh kalangan santri di pesantren, apalagi kiai, namun paling tidak, buku ini dapat menyadarkan kepada kita pentingnya membaca Islam secara baru dan memikirkan ulang apakah Islam kita sudah sesuai dengan semangat zaman. Mengingat, cara kita beragama haruslah menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, dan bukan sebaliknya.

Saya sendiri menyadari betapa sulitnya membuka ruang-ruang diskusi di pesantren perihal pemikiran-pemikiran progresif dalam Islam. Salah satu faktornya, banyak santri tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang itu, di samping merasa terheran-heran, juga terkesan menjaga diri.

Namun saya masih merasa peluang untuk menjembatani Islam klasik dan Islam modern sangat terbuka bilamana literasi Islam modern dapat dikembangkan di pesantren, terutama kesadaran untuk mau membaca buku-buku pembaruan sebagaimana ditawarkan oleh bapak Mun’im Sirry.

Harapannya, pesantren bukan hanya sebagai lembaga keagamaan tradisional yang menjaga warisan Islam klasik, tetapi juga merupakan lembaga keagamaan yang mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman dengan banyak memanfaatkan berbagai bidang keilmuan modern. Sehingga, Islam di pesantren mampu memerikan solusi bagi problematika zaman yang kompleks dan terus mengalami berubah.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *