Hubungan Agama dan Negara dalam Pandangan Gus Ulil Abshar Abdalla
nu.or.id

Hubungan Agama dan Negara dalam Pandangan Gus Ulil Abshar Abdalla

Islamadina.org – Dalam sistem politik demokrasi, agama seringkali dianggap tidak memiliki pengaruh dan peranan apa-apa bagi negara. Agama biasanya terpinggirkan dan hanya menjadi wacana di kalangan kelompok-kelompok agamawan tertentu. Hal ini wajar karena sistem demokrasi dimaksudkan untuk memungkinkan terjadinya sistem kekuasaan yang tidak melibatkan agama dan lebih dominan menekankan kebebasan dan kekuasaan pada otoritas rakyat.

Sebut saja misalnya negara-negara demokratis yang sekaligus menjalankan ideologi sekuler seperti yang terjadi di Barat, di mana agama tidak memiliki peran apapun di ruang publik maupun pada ranah kebijakan politik pemerintahan. Justru yang terjadi adalah agama hanya menjadi wacana pinggiran dan tidak boleh unjuk gigi dalam masyarakat yang demokratis dan sekuler.

Dalam konteks di atas jelas bahwa hubungan agama dan negara cenderung menjauh dan tidak kondusif. Tetapi, bila melihat konteks negara demokrasi yang ada di Indonesia, suasananya menjadi lain. Kendati negara ini menganut sistem demokrasi, tetapi pada saat yang sama agama juga memiliki peranan yang penting di ruang publik sekaligus berpengaruh bagi negara.

Di Indonesia sendiri, hubungan agama dan negara tampak tidak terpisahkan, seolah agama dan negara memiliki ikatan persaudaraan yang kuat sehingga keduanya saling terhubung satu sama lain untuk menjaga dan bergerak secara bersama-sama.

Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Ulil Abshar Abdallah (Gus Ulil), menurutnya, hubungan antara agama dan negara ibarat saudara kembar. Agama adalah dasar pokok dan negara adalah pelindung dasar pokok itu.

Pandangan Gus Ulil di atas bersifat universal dan berlaku hampir di setiap negara di seluruh dunia. Sebab, negara sekuler pun tetap menjaga agama kendati agama tidak memiliki peranan apa-apa dalam konteks kekuasaan dan pemerintahan.

“Negara dan agama itu saudara kembar. Agama itu adalah dasar pokok sementara negara fungsinya adalah penjaga, yang bertugas untuk melindungi pokok, supaya pokok ini tetap terjaga, berkembang dan terus hidup,” ujar Gus Ulil dalam Seminar Hukumah Diniyah dan Sistem Istinbath Hukum Islam dan Bahtsul Masail di Hotel Aryaduta, Bandung, pada Selasa (15/10/2024).

Ia kemudian menjelaskan mengenai pengertian hukumah diniyah yaitu otoritas keagamaan, bukan teokrasi (pemerintahan yang berbasis agama).

Menurut Gus Ulil sebagaimana dilansir oleh NU Online (15/10/2024), tugas politik atau otoritas pemerintahan negara, dalam konstruksi Imam Ghazali, yaitu negara atau kekuasaan sebagai penjaga agama, sehingga ulama menjadi representasi agama.

“Dalam konstruksi teoritik yang diajukan Imam Ghazali, negara atau kekuasaan adalah penjaga agama. Agama ini, representasinya atau wakilnya adalah ulama, jadi ulama itu punya peran penting dalam konstruksi kenegaraan,” ungkap Pendiri Ghazalia College itu.

Gus Ulil juga menjelaskan peran ulama sebagai penafsir, sebagaimana yang tertera dalam teori Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid. Peranan ulama ini bukan hanya menjaga agama, tetapi juga membantu memastikan suatu negara dapat berjalan dengan baik terutama dalam menjalankan kebijakan-kebijakan politiknya.

Bila misalnya ada pemimpin yang dzalim, maka ulama atau yang memiliki otoritas keagamaan harus memperingati pemimpin itu agar dapat berperilaku adil dan mampu mewujudkan cita-cita rakyatnya.

Pandangan Gus Ulil ini dapat menjadi pedoman dalam melihat bagaimana hubungan antara agama dan negara, khususnya dalam konteks Indonesia. Kendati negara ini menganut sistem demokrasi, tetapi peranan agama sangat kuat di negeri ini. Salah satu alasannya adalah karena masyarakat Indonesia sangat religius ditambah juga adanya berbagai ormas keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah yang juga memiliki kontribusi besar bagi kemajuan negara.

Oleh sebab itu, hubungan kekeluargaan antara agama dan negara ini harus terus dirawat agar agama dapat terus dilindungi oleh negara sekaligus dapat berperan aktif dalam membantu jalannya pemerintahan. Tidak bisa dipungkiri bahwa hubungan yang kurang baik antara agama dan negara dapat menganggu stabilitas negara sekaligus dapat menjadi problem baru di masyarakat. Misalnya seperti di er Orde Baru di mana pemerintahan Soeharto kurang begitu mengakomodir suara-suara dari agama. Padahal, eksistensi agama justru akan memberi kekuatan yang solutif bagi jalannya pemerintahan.

Sumber: NU Online

Islamadina.org – News

Editor: Rohmatul Izad

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *