Oleh: Nur Syam
Mendakwahkan Islam moderat merupakan “kewajiban ijtima’iyah” bagi umat Islam Indonesia. Islam yang bercorak Ahli Sunnah wal Jamaah. Keberhasilan dakwah akan dapat dilihat dari semakin menguatnya teks sosial Islam Ahlu Sunnah wal Jamaah dimaksud dan semakin mengecilnya pemahaman Islam ahli Sunnah yang mengusung tema Islam fundamental.
Ungkapan di atas merupakan kata pengantar di dalam acara yang diselenggarakan oleh Kabid Penais dan Zawa pada Kementerian Agama Provinsi Jawa. Acara ini diselenggarakan di Movenvick Hotel Surabaya, pada Selasa, 01/10/2024. Hadir pada acara ini adalah para aktivis Lembaga dakwah dari berbagai organisasi, seperti NU, Muhammadiyah, LDII, Muslimat, Aisyiyah, Anshor, dan sebagainya. Hadir juga Kabid Penais Zawa, Mufi Imron Rosyadi, dan Kabag Sekretariat Kanwil Kemenag Jawa Timur, Santoso.
Untuk Indonesia ke depan adalah relasi sistemik, yang terdeskripsikan di dalam konsep Keislaman, Keindonesiaan dan Kemoderenan. Yaitu mengamalkan Islam yang bervisi kerukunan, keharmonisan dan keselamatan. Islam yang menjanjikan kerahmatan bagi seluruh alam. Untuk Indonesia maka yang paling tepat adalah Islam wasathiyah atau Islam moderat. Mendakwahkan Islam moderat adalah kewajiban bagi masyarakat Indonesia yang sadar mengenai pluralism dan multikulturalisme.
Ada empat alasan terkait dengan pentingnya mendakwahkan Islam moderat, yaitu: pertama, alasan filosofis bahwa Islam datang ke Indonesia melalui proses damai. Dakwah secara individual melalui penganut tasawuf dan perdagangan. Dakwah secara institusional yaitu melalui relasi sosial keagamaan dan negara. Dari dakwah personal ke dakwah dalam pelembagaan Islam. Basis pemikiran Islam Indonesia sedari awal adalah Islam yang rahmatan lil alamin. Islam tersebar tidak melalui pedang tetapi melalui proses “damai.” Dari wilayah pinggiran ke wilayah pusat kekuasaan.
Kedua, alasan sosiologis bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat plural dan multikultural. Masyarakat Indonesia yang menghendaki rukun, harmoni dan slamet. Masyarakat Indonesia basis pemahaman keagamaannya bercorak jalan tengah, middle way, atau mengayuh di antara ekstrim kanan dan ekstrim kiri. Secara sosiologis bahwa masyarakat Indonesia memiliki ikatan solidaritas mekanis lebih kuat dibandingkan dengan solidaritas organis.
Ketiga, alasan politis. Secara historis-politis bahwa perjalanan bangsa ini selamat karena memegang prinsip secara ideologis jalan tengah, bukan ideologi kiri dan kanan. Bukan mengambil ideologi sosialisme-komunis dan juga bukan ideologi keagamaan tetapi ideologi yang dapat memayungi seluruh bangsa, yaitu Pancasila. Bentuk negara bukan agama atau negara Islam atau negara sekular atau monarkhi tetapi NKRI. Disebut Darus Suluh atau Darul Ahdi wasy syahadah.
Keempat alasan strategis bahwa secara geo-politik, Indonesia berada di tengah kekuatan Utara-Selatan. Secara geo-politis, Indonesia berada di tengah kekuatan Timur dan Barat. Kapitalisme dan sosialisme. Secara Ideologis-Politik, Indonesia negara non-blok. Tidak terikat dengan Barat yang kapitalis dan China yang komunis. Secara ekonomi-politik, Indonesia negara yang berada di dalam konteks “sosial market” mengayuh di antara kapitalisme dan sosialisme. Kapitalisme yang berkembang adalah “kapitalisme yang layak.”
Dakwah Moderasi Beragama (DMB) jangan bercorak elitis. Yang dikenai adalah para elit. Memang, Moderasi Beragama dalam corak elitis didasari oleh pemikiran bahwa masyarakat Indonesia itu paternalis. Namun sesungguhnya sudah ada perubahan luar biasa di tengah kehidupan masyarakat Indonesia. Kepatuhan pada ulama atau kyai sudah cair. Di masa lalu bercorak polimorfik dan sekarang sudah monomorfik.
Di masa lalu, satu orang ulama atau kyai banyak peran dan sekarang sudah berubah hanya satu atau dua peran. Terjadi the death of expertise, matinya kepakaran. DMB tidak boleh berhenti pada aspek pemahaman atau sentuhan atas aspek kognitif. DMB harus memasuki ruang afektif dan psikhomotoris. Moderasi Beragama harus menjadi sikap dan perilaku. Moderasi Beragama harus menjadi pattern of behavior atau model of behavior. Produk dari Moderasi Beragama adalah perilaku moderat di dalam beragama.
Dewasa ini sudah banyak wilayah yang mendeklarasikan kampung atau Dusun Moderasi Beragama. Sebuah kemajuan, tetapi yang penting harus dicek adalah siapa yang terlibat di dalamnya. Adakah partisipasi umat beragamanya. Saya teringat dengan gerakan Pengamalan Pancasila. Banyak desa atau kampung mendeklarasikan Desa Pancasila akan tetapi akhirnya tumbang oleh perubahan zaman.
Kita sedang memasuki perubahan yang sangat mendasar yang dipicu oleh kehadiran Teknologi Informasi. Era Revolusi Industri menghasilkan perubahan social yang dipicu oleh salah satunya adalah teknologi informasi. Era digital. Era cyber space. ERI 4.0 menghadirkan yang disebut sebagai Artificial Intelligent (AI), Augmented Reality (AR) dan Big Data (BD).
AI dapat menggantikan peran manusia dalam banyak aspek kehidupan. AR dapat mengubah gambar sistem dalam tiga dimensi dalam realitas kekinian dan up to date. Big Data dapat menampung data dalam jumlah tidak terbatas yang kemudian dalam waktu sangat cepat dapat dipilah dan dikategorikan sesuai dengan keinginan.
Oleh karena itu, dakwah harus memasuki area ini agar dakwah dapat diakses oleh masyarakat, khususnya generasi muda. Untuk hal ini, agar dipastikan siapa yang sesungguhnya menjadi sasaran Gerakan Moderasi Beragama (GMB).
Ke depan yang penting adalah generasi muda, bisa Generasi Z atau GENZI. Mereka memiliki cara belajar yang lebih berfokus pada dunia pengalaman, kemampuan melakukan ekplorasi, kemampuan IT yang sangat baik, belajar simple tetapi efektif dan belajar secara instant. Diperlukan strategi khusus untuk menghadapi GENZI yang cara belajarnya khusus tersebut.
GMB harus berbasis teknologi Informasi. Gunakan platform digital untuk menyajikan pesan moderasi beragama. Untuk menghasilkan pesan moderasi beragama melalui platform digital, maka diperlukan kolaborasi antar ahli.
Ahli agama atau ahli dakwah bekerja sama dengan generasi milenial untuk menghasilkan konten dakwah yang relevan dengan kebutuhan generasi milenial. Di Era Digital yang diperlukan adalah kolaborasi. Siapa yang kolaborasinya baik maka dia yang akan menguasai dunia teknologi informasi atau dunia media sosial.
Dewasa ini sudah dapat dilihat ada empat pola pengembangan dakwah, yaitu: pertama, secara sengaja mengembangkan konten dalam bentuk pod cast, sebagaimana yang dilakukan oleh para pelaku pod cast. Misalnya Dedy Corbuzier, Raditya Dika, Ananda Omesh, Denny Sumargo. Ada Habib Husein Ja’far, Sapa Muslimah, Felix Siaw, Imam Pituduh, dan lain-lain. Kedua, secara sengaja mengembangkan konten dalam bentuk ceramah yang dipotong-potong sesuai dengan tema yang up to date. Misalnya yang dilakukan oleh UAS atau UAH. Ketiga, secara sengaja mengembangkan konten dalam bentuk ceramah secara utuh, misalnya Gus Muwafiq, Gus Baha’, Gus Iqdam, dan sebagainya. Keempat, secara sengaja mengembangkan konten dalam bentuk flayer, meme, infografis dan sebagainya.
Generasi milenial merupakan generasi rasional. Lebih banyak mengembangkan kapasitas rational intelligent. Makanya, diperlukan untuk mengembangkan dimensi emotional intelligent, social intelligent dan spiritual intelligent. Pemilihan konten dakwah moderasi beragama perlu mempertimbangkan pilihan rasional di kalangan generasi milenial. Sebaik-baik media sosial adalah yang bermanfaat bagi milenial. Sebaik-baik konten adalah yang memenuhi kebutuhan para milenial.
Sumber: Nursyamcentre.com