Oleh: Nadirsyah Hosen
Saya mau sedikit bahas soal bermazhab secara qawli dan manhaji. Simak yuk
Apakah mengikuti mazhab dalam fiqh itu membuat kita hanya melulu memutuskan suatu hukum berdasarkan kesimpulan para ulama klasik saja? Bisakah kita memutuskan berbeda dengan para ulama klasik tapi tetap sejalan dengan mazhab mereka?
Katakanlah dulu para ulama mazhab sepakat bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin. Apakah kalau sekarang ada ulama modern yang berpendapat boleh, maka kita anggap dia menyimpang dari mazhabnya? Atau ulama modern tersebut pendapatnya tetap sesuai mazhab secara manhaji?
Jika semua hal saat ini hanya boleh dijawab dengan teks kitab klasik, tanpa mempertimbangkan konteks saat ulama klasik itu hidup, dan perbedaannya dg konteks modern, apa pemahaman kita tidak menjadi jumud? Bagaimana bisa memecahkan kasus baru dengan jawaban yg ditulis 3 abad lalu?
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas tergantung posisi kita: semata mau mengikuti teks kesimpulan hukum imam mazhab atau turut mempertimbangkan jawabannya dengan menggunakan metode mereka?
Yang semata mau mengikuti hasil kesimpulan para imam mazhab, maka kita katakan dia bermazhab secara qawli. Yang hendak membahas kembali kesimpulan tersebut dengan menggunakan ushul al-fiqh para Imam mazhab, kita sebut bermazhab secara manhaji.
Ini artinya, secara qawli bisa jadi Imam Syafi’i dulu mengatakan A, namun sekarang ulama mazhab Syafi’i di masa modern bilang B. Secara teks ini bertentangan dengan qawl Imam Syafi’i, tetapi secara manhaji tidak bertentangan karena kesimpulan B diambil dari aplikasi metode Imam Syafi’i.
Jika bermazhab secara manhaji ini yang kita tempuh —dan ini sudah direkomendasikan oleh NU sejak Munas Lampung 1992– maka selama manhaj yang kita tempuh sesuai dengan ushul al-fiqh dan qawaid yang ada maka apapun kesimpulan fiqh saat ini tetap dianggap sesuai dg mazhab klasik.
Lewat pendekatan ini, maka saat membaca teks fiqh kitab klasik, kita juga padukan bacaan kita dengan pemahaman kita terhadap ushul al-fiqh dan qawa’id. Sehingga bahtsul masail itu bukan hanya sekadar mencari dan mencocokkan ibarat dari fiqh klasik, tapi juga ada proses berpikir secara manhaji.
Bermazhab secara manhaji ini tidak bisa dikatakan “liberal” karena kita masih nyantol pada kaidah dan metode para ulama klasik. Bukan berpendapat lepas bebas begitu saja, seperti yang sering dituduhkan orang terhadap kaum liberal. Bermazhab secara manhaji masih terikat pada mazhab.
Bermazhab secara manhaji ini membantu kita untuk a) meninjau ulang kesimpulan imam mazhab dalam konteks modern, dan b) memecahkan kasus baru yang sama sekali belum dibahas di kitab klasik.
Aplikasi bermazhab secara manhaji ini membuat kita belajar lagi teks klasik dengan cara yang asyik. Kita bisa pahami apa pengaruh perbedaan metode imam mazhab yang berujung pada perbedaan pendapat di kalangan mereka.
Misalnya kitab yg membahas tema ini adalah Atsar al ikhtilaf fi al qawaid al ushuliyah fi iktilaf al fuqaha’ (Musthafa Said Khan). Di sini kita lihat penguasaan ushul al-fiqh digabung dengan pemahaman fiqh. Ini bekal untuk bermazhab secara manhaji.
Kesimpulan bermazhab secara manhaji itu bisa mengakibatkan banyak pihak terkejut. Artinya, sesuatu yang diterima dengan mapan, ternyata secara kaidah masih bisa dilakukan kajian-kajian baru tanpa keluar dari substansi Nash.
Kajian-kajian baru soal ushul al-fiqh juga akan membantu kita memahami ulang teks fiqh klasik sebelum diaplikasikan pada konteks kekinian. Karena manhaj itu juga berkembang, bahkan di kalangan ulama mazhab itu sendiri. Dan para murid imam mazhab juga sering berbeda pandangan.
Misalnya saja diskusi soal kepemimpinan perempuan, atau soal batas aurat perempuan, atau masalah melihat hilal, dan lainnya bisa saja kesimpulannya berbeda dengan fiqh klasik, tapi tetap sesuai dengan manhaj para ulama.
Ini semua bukan perkara mudah. Harus dilakukan oleh para ulama yg mumpuni. Tapi paling tidak buat kita yg awam jadi paham proses dan cara berpikir para ulama dalam mengeluarkan fatwa. Para kiai mempertimbangkan teks dan konteks; qawli dan manhaji; ushul al-fiqh dan fiqh.
Mudah untuk dikatakan, tapi hanya mereka yang benar-benar menguasai disiplin klasik dan modern yang sanggup melakukannya. Kita doakan para ulama kita selalu sehat wal afiat dan terus membimbing kita memahami agama Allah ini agar selalu sesuai dengan perubahan zaman dan tempat.
Sumber: Nadirhosen.net
Nadirsyah Hosen. Dosen di Melbourne Law School

