Oleh: Fachri Aidulsyah
Gerakan ‘Salafi Perkotaan’ telah muncul sebagai salah satu tren terkini di kalangan penduduk Muslim di beberapa kota di Indonesia, khususnya di Ibu Kota Jakarta. Ketidaknyamanan spiritual kaum muda Muslim perkotaan mencapai titik tertinggi sepanjang masa karena skeptisisme mereka terhadap organisasi-organisasi Islam arus utama, yang sebagian besarnya menjadi lebih politis. Sebagai tanggapan, Salafisme telah tumbuh dalam popularitas sebagai sebuah alternatif. Selama dekade terakhir, Salafisme telah berkembang pesat di dunia maya Indonesia dan pusat-pusat perkotaannya.
Stigmatisasi konservatisme dan radikalisasi yang dikaitkan dengan kaum Salafi setelah munculnya Laskar Jihad dalam konflik di Ambon pada tahun 1999 dan serangan 9/11 pada tahun 2001, menantang kaum Salafisme untuk mengubah identitas mereka.
Dalam beberapa tahun terakhir, Salafisme telah unggul dalam menawarkan prototipe baru untuk gaya hidup Muslim perkotaan yang semakin populer, khususnya di kalangan banyak anak muda Indonesia. Berbeda dengan kelompok Salafi di Timur Tengah, seperti di Tunisia dan Mesir misalnya, Salafisme di Indonesia terpisah dari lembaga politik atau perdebatan tentang demokrasi dan politik. Saat ini, sebagian besar penganut Salafi peduli dengan upaya mewujudkan dan membingkai ulang gerakan mereka sebagai jenis baru gerakan keagamaan kosmopolitan.
Salafisme, Selebritas, dan Media Sosial
Proses transformasi Salafi di wilayah perkotaan Indonesia, khususnya Jakarta, telah berubah seiring waktu. Dalam beberapa tahun terakhir, keberhasilan ini banyak berkaitan dengan penggunaan platform media sosial seperti YouTube, Instagram, Facebook, dan baru-baru ini melalui podcast, untuk memperluas wacana Islam.
Salafi telah mendefinisikan narasi Islam di lokasi perkotaan yang strategis seperti kawasan pusat bisnis, mal, dan lingkungan yang lebih makmur dengan memungkinkan semangat kesalehan baru, yang kini diadopsi secara lebih luas oleh kaum Muslim perkotaan. Kemampuan memadukan budaya populer kelompok pemuda perkotaan dengan tradisi Islam Arabisme, berarti kaum Salafi perkotaan dapat mengampanyekan narasi dan budaya Islam tertentu dalam gaya hibrida, yang disebut sebagai ‘dakwah budaya populer’, yang memungkinkan adopsi budaya barat, perkotaan, atau bahkan kosmopolitan, dalam upaya menarik nilai-nilai Islam.
Salafisme yang dulunya dianggap sebagai gerakan konservatif secara ideologis dan budaya, kini telah menjadi gerakan yang cerdas secara digital dan modern. Kemampuan gerakan ini untuk melibatkan selebritas perkotaan, seniman, produser konten, pembuat film, dan pebisnis yang terus terlibat dalam budaya populer dengan cara Salafi yang taat adalah bukti keberhasilannya.
Dengan menjembatani bahasa daerah, gaya busana urban, dan media sosial, Salafisme telah mengubah wajah Salafisme dari ‘eksklusivisme’ menjadi ‘inklusivisme’. Di Jakarta, sebagian besar yang terlibat dalam pengajian mingguan Islam atau Pengajian Sunnah, adalah kaum milenial atau Gen Z.
Kolaborasi antara kaum milenial Muslim dan para ustadz Salafi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam Arab (Lipia), dan alumni universitas Islam di Arab Saudi, telah melihat pusat-pusat Pengajian Sunnah didirikan di banyak masjid, apartemen, mal, dan tempat tinggal di seluruh kota. Ini termasuk pusat-pusat Pengajian Sunnah di jantung distrik bisnis Jakarta di Masjid Nurul Iman di Blok M Square Mall, dan Masjid Umar bin Khattab di Pasar Senen, salah satu kawasan pasar paling terkenal di Jakarta, dan mungkin seluruh Indonesia. Di Masjid Nurul Iman, Pengajian Sunnah diadakan setiap hari, dan tokoh Salafi terkemuka Indonesia diundang setiap minggu, menarik ribuan orang. Sebagian besar peserta Pengajian Sunnah adalah pekerja perkotaan, keluarga muda, dan mahasiswa yang tinggal di sekitar Jakarta dan kota-kota terdekat.
Alasan untuk berkolaborasi
Organisasi utama yang berkontribusi terhadap fenomena Salafisme Perkotaan adalah Rabbaniaans, majelis taklim (kelompok studi agama) yang didirikan pada tahun 2015 di Masjid Agung Al-Azhar, sebuah masjid terkenal yang terletak di wilayah selatan Jakarta. Rabbaniaans muncul dari kemitraan antara Yayasan Pesantren Islam (YPI) Al-Azhar Jakarta dan divisi Pembelajaran Islam Alumni Sekolah Islam Al-Azhar (ASIA) di Masjid Agung Al-Azhar. Perlu dicatat bahwa banyak pengurus di YPI Al-Azhar dan anggota ASIA berasal dari keluarga kelas menengah Muslim moderat, termasuk mantan Wakil Gubernur Jakarta (2020-2022), Ahmad Riza Patria.
Dalam beberapa tahun terakhir, kaum Rabbaan telah muncul sebagai kelompok terkemuka di Jakarta, yang memainkan peran penting dalam penyebaran Salafisme di kalangan pemuda perkotaan. Perkembangan ini telah difasilitasi di bawah bimbingan dan pengawasan para ulama Salafi, termasuk Muhammad Nuzul Dzikri dan Subhan Bawazier.
Rabbanian telah menjadi pusat pengembangan dan kemajuan Salafisme urban di kalangan anak muda Indonesia. Mereka terlibat aktif dalam upaya dakwah mereka dengan menggunakan platform media sosial untuk memperluas undangan kepada siapa pun untuk berpartisipasi dalam tujuan mereka. Rabbanian telah memupuk kekompakan sosial dan memfasilitasi dakwah budaya pop, yang menghasilkan integrasi pemuda urban dan individu kelas menengah dan menghubungkan mereka dengan tokoh-tokoh Salafi.
Akhir-akhir ini telah terjadi peningkatan minat yang nyata terhadap Salafisme di kalangan aktor, artis, penyiar, penyanyi, dan produsen konten – dengan beberapa yang secara aktif berafiliasi dengan kelompok Salafi. Ini termasuk tokoh-tokoh terkenal seperti Uki, mantan gitaris NOAH, salah satu band rock terkemuka di Indonesia; Deryansha Azhary, mantan bassis Vierra dan mantan Penasihat Program di Hard Rock FM; Ucok Nasution, pendiri Jakarta Clothing Expo (Jakcloth) pameran gaya hidup urban terbesar di Indonesia; dan presenter televisi, Steny Agustaf, antara lain. Fenomena ini mungkin sebagian besar disebabkan oleh pengaruh upaya dakwah komunitas Rabbaanian.
Salafisme yang Ditata Ulang
Melalui penggunaan platform media sosial yang strategis dan menggabungkan unsur-unsur dari budaya populer, Salafisme di Indonesia telah mengalami proses penataan ulang, yang menghasilkan bentuk hibrida yang dianggap dapat diterima dalam konteks perkotaan kontemporer. Secara historis dicirikan oleh pandangan dunia yang konservatif, komitmen teguh terhadap upaya misionaris, kepatuhan terhadap ortodoksi, dan keterpisahan yang disengaja dari modernitas, saat ini Salafisme memiliki daya tarik yang semakin berkembang.
Manifestasi kontemporer Salafisme menunjukkan kemampuannya untuk mencapai inklusivitas budaya, sambil tetap mempertahankan eksklusivitas ideologis. Dalam masyarakat Indonesia kontemporer, Salafisme telah muncul sebagai platform yang signifikan bagi kaum milenial perkotaan, yang memungkinkan fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi yang lebih besar terkait dengan asal-usul, budaya, dan pengalaman sehari-hari mereka yang beragam.
***
Tulisan ini pertama kali terbit di Insideindonesia.org
Sumber: Tulisan ini diterjemahkan dari artikel berbahasa Inggris karya Fachri Aidulsyah berjudul “When Salafism becomes Fashionable” yang terbit di situs Insideindonesia.org
Fachri Aidulsyah. Peneliti di Pusat Penelitian Wilayah-Badan Riset dan Inovasi Nasional (P2W-BRIN) Republik Indonesia, dan mahasiswa Magister Program Bahasa dan Budaya Asia Tenggara di Universitas Hamburg, Jerman. Sejak 2014, ia aktif melakukan penelitian tentang Islamisme, etno-nasionalisme, dan etnisitas di berbagai daerah di Indonesia