Oleh: M.S Arifin
Tuhan bersabda dalam Al-Quran surat Al-Kautsar:
Sungguh, telah kami karuniakan kepadamu kelimpahan
Karenanya, sembahlah Tuhanmu dan berkorbanlah
Sungguh, orang yang membenci engkau, ia bakal tanpa keturunan
Terjemahan di atas adalah buah tangah H.B. Jassin, seorang kritikus sastra Indonesia yang lahir pada tahun 1917 di Gorontalo. Ia dijuliki sebagai “Paus Sastra Indonesia”, sebuah penyematan prestisius yang tidak sembarangan dilekatkan pada satu sosok. Karir HB. Jassin yang mujur sebagai kritikus sastra ternyata tidak lantas sama dengan karirnya sebagai penerjemah (Al-Quran). Pada tahun 1982, terbit buku terjemahannya, “Al-Quran Al-Karim: Bacaan Mulia”. Sontak, terjemahan ini memancing reaksi masyarakat. Ada sebagian dari mereka yang mengelu-elukan, tapi tak sedikit pula yang menggugat.
Semuanya berawal dari satu peristiwa yang memilukan. Pada tahun 1962, istri H.B. Jassin meninggal dunia. Dan itu adalah pukulan keras bagi dirinya. Selama tujuh hari kematian istrinya, ia tak habis-habisnya bercengkrama dengan Al-Quran sebagai wasilah untuk mendoakan istrinya. Akibat tidak langsung dari pergaulannya dengan Al-Quran itu, ia mulai penasaran dengan makna Al-Quran. Maka, ia pun membuka-buka terjemahan yang sudah ada pada waktu itu, baik terjemahan yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan (dalam hal ini Depag) maupun terjemahan yang dikerjakan oleh individu. Namun, ia mendapati bahwa keindahan yang ia rasakan ketika membaca (melafalkan) Al-Quran, tidak ia temui dalam terjemahan yang sudah ada itu. Terjemahan yang sudah ada, menurutnya, sangat kaku dan mereduksi keindahan Al-Quran dalam bahasa aslinya itu sendiri.
Maka pada tahun 1972, di negeri Belanda, ia tergugah untuk serius menerjemahkan Al-Quran. Lebih baik kita simak sendiri pemaparan menarik atas pengalamannya itu di bawah ini:
“Sampai tibalah suatu hari hati saya terbuka untuk mulai menerjemahkan Al-Quran, setelah tanggal 7 Oktober 1972, di negeri dingin yang jauh dari katulistiwa yakni di negeri Belanda. Pikiran untuk menerjemahkan Al-Quran secara puitis timbul pada saya oleh membaca terjemahan Abdullah Yusuf Ali The Holy Quran yang saya peroleh dari kawan saya, Haji Kasim Mansur tahun 1969. Itulah terjemahan yang saya rasa paling indah disertai keterangan-keterangan yang luas dan universal sifatnya.
Untuk menimbulkan kesan yang estetis penyair mempergunakan irama dan bunyi. Bukan saja irama yang membuai beralun-alun, tapi juga—jika perlu—irama singkat melompat-lompat atau tiba-tiba berhenti mengejut untuk kemudian melompat lagi penuh tenaga hidup. Bunyi yang merdu didengar, ulangan-ulangan bunyi bukan saja di ujung baris, tapi juga di antara baris, mempertinggi kesan keindahan pada pendengar atau pembaca.”
Gagasan untuk menerjemahkan Al-Quran dengan indah murni atas dasar pergulatan diri H.B. Jassin sebagai muslim sekaligus kritikus sastra. Sebagai muslim, ia sangat ingin kitab sucinya bisa menyampaikan pesan secara indah melalui terjemahan tanpa mengurangi atau menambahi isi Al-Quran itu sendiri. Sebagai kritikus sastra, ia tentu terganggu dengan terjemahan Al-Quran yang kaku yang dilakukan oleh pemerintah. Terjemahan itu, akibat hasil dari hasrat mengejar ketetapan dan ketepatan makna, mereduksi keindahan Al-Quran dalam bahasa aslinya, bahasa Arab.
Tetapi, seperti yang sudah disinggung di atas, jalan Jassin memang tidak mudah. Usaha yang ia lakukan menuai kecaman yang kebanyakan datang dari para cendikiawan muslim. Dalam satu artikel di Tempo yang terbit pada 21 Agustus 1982, dikatakan bahwa masyarakat menyambut dengan hangat terjemahan Jassin itu. Namun tidak dengan para intelektual. Penolakan atau kritikan mereka atas Jassin setidak-tidaknya bertumpu pada tiga hal. Pertama, Jassin tidak memiliki riwayat pendidikan agama yang memadai. Ia tidak paham bahasa Arab dan kerja menerjemah Al-Quran, menurut mereka, adalah suatu ‘kerja keagamaan’ yang hanya boleh dilakukan oleh yang kompeten di bidang bahasa Arab maupun tafsir. Kedua, Al-Quran bukanlah puisi, dan terjemahan Jassin menyiratkan adanya usaha untuk memuisikan Al-Quran. Ketiga, banyak ditemukan kekeliruan dalam terjemahan Jassin. Ini diungkapkan oleh pengkaji khusus atas terjemahan Jassin H. Oemar Bakr dalam bukunya “Koreksi Terjemahan Bacaan Mulia H.B. Jassin”.
Kecuali point ketiga, penolakan atas terjemahan Jassin dengan dalih seperti itu perlu dikaji ulang. Apakah benar bahwa menerjemahkan Al-Quran adalah ‘kerja keagamaan’ yang hanya bisa dilakukan oleh mereka yang belajar bahasa Arab puluhan tahun dan sudah memakan belasan kitab tafsir? Apakah benar terjemahan yang diusahakan oleh Jassin (dan siapapun nantinya yang akan melakukan hal yang serupa) adalah berarti ingin memusikan Al-Quran sementara menurut Al-Quran sendiri ia bukanlah puisi dan pembawanya, Nabi muhammad, bukanlah seorang penyair (lihat QS. Al-Haqqah: 41)? Lebih lanjut, apakah benar Al-Quran tidak boleh dikategorikan sebagai kitab sastra meskipun bahasa yang digunakannya sangatlah indah memesona? Pertanyaan-pertanyaan ini sangatlah penting untuk mengurai kesalahan kita dalam menilai terjemahan Jassin.
Untuk point pertama, perlu digamblangkan terlebih dahulu apa yang dinakaman dengan ‘kerja keagamaan’. Bahwa kitab suci ialah bagian dari agama, atau bahkan tiang penyangga sebuah agama, adalah iya, benar. Tetapi apakah lantas orang yang punya sensibilitas kebahasaan yang tinggi dan tahu kata yang indah untuk mengganti kata yang kaku dalam terjemahan, tidak diberi ruang untuk melakukan ‘kerja keagamaan’ seperti ini? Jawaban saya positif. Artinya, ia tetap memiliki hak untuk melakukan kerja menerjemah, terlepas itu adalah ‘kerja keagamaan’ jika dipandang dari sudut orang yang menolak H.B. Jassin. Jassin sendiri memaparkan contoh bagaimana seharusnya terjemahan yang indah itu. Dalam surat As-Syu’ara’ ayat 36, terjemahan Departemen Agama (Depag) berbunyi:
Mereka menjawab: Suruhlah tunggu (Musa) dan saudaranya,
dan kirim ke kota-kota para bentara
Sementara menurut Jassin, baris terakhir akan lebih indah jika disusun demikian:
Dan kirim para bentara ke kota-kota
Dan juga pada surat As-Shaf ayat 2, terjemahan yang ada tidak menimbulkan penghayatan estetis secara audiovisual. Begini terjemahannya:
Mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat?
Sementara menurut Jassin, akan lebih indah jika diterjemah begini:
Mengapa kamu katakan apa yang tidak kamu lakukan?
Dua pencontohan di atas, sekaligus menggaris-bawahi apa yang sebenarnya ingin dilakukan oleh Jassin terhadap Al-Quran, yakni, menyampaikan keindahannya kepada seluruh umat manusia, bahkan kepada mereka yang tidak paham atau bahkan tidak mampu membaca Al-Quran dalam bahasa aslinya. Oleh karenanya, klaim ‘keagamaan’ hanyalah usaha untuk menjatuhkan Jassin. Alasan itu sangat mengada-ada dan dibuat-buat. Al-Quran sebagai kitab suci semua umat manusia, justru akan diakui kemukjizatannya ketika juga diterjemah dengan indah. Kritikan Jassin terhadap para penerjemah Depag adalah kebanyakan mereka yang menerjemah, meskipun Ulama dan cendikiawan, tidak punya pembendaharaan kesusasteraan yang memadai dan tidak punya sensibilitas yang tinggi terhadap keindahan bahasa sasaran, bahasa Indonesia.
Bagaimana dengan point kedua? Jawabannya tidak semudah menghadirkan data. Polemik Al-Quran sebagai kitab sastra sama tuanya dengan umur Al-Quran ketika diturunkan kepada Nabi. Orang-orang kafir Quraisy menganggap Nabi adalah seorang penyair (QS. Al-Anbiya’: 5), dan ayat-ayat yang ducapkannya tidak ubahnya seperti puisi, atau bahkan mantra penyihir. Dengan mengatakan Al-Quran sebagai puisi, berarti orang kafir Quraisy menyamakannya dengan sastra, suatu anggitan manusia biasa. Oleh karenanya, para sarjana Muslim beberapa abad kemudian, membagi kalam (ucapan, tulisan) menjadi tiga bagian: [1] puisi (as-syi’ru), [2] prosa (an-natsru), [3] Al-Quran. Pembagian ini bermaksud untuk melepaskan Al-Quran dari kategorisasi serampangan bahwa Al-Quran adalah adakalanya sebagai puisi atau adakalanya sebagai prosa.
Tetapi, apakah pembagian semacam ini akan menghindarkan kita untuk tidak mengatakan bahwa Al-Quran adalah kitab sastra? Ketika terbit sebuah buku berjudul “Al-Quran, Kitab Sastra Terbesar” yang ditulis oleh M. Nur Kholis Setiawan (cetakan pertama tahun 2005) timbul reaksi yang beragam dari masyarakat. Kebanyakan dari mereka menolak, dengan dalih apapun itu, meskipun buku ini adalah murni kajian ilmiah terhadap Al-Quran dan jika ingin membantahnya semestinya juga dilakukan dengan cara ilmiah. Terlepas dari buku ini, kita patut bertanya ulang: Apakah kita menyangkal keindahan bahasa Al-Quran? Jawabannya tentu negatif. Lalu pertanyaan selanjutnya, kenapa kita enggan menyebutnya kitab sastra?
Ada setidaknya dua alasan kenapa Al-Quran tidak boleh dinilai sebagai kitab sastra. Pertama, Al-Quran bukanlah puisi (QS. Yasin: 69) dan penulis puisi (penyair) telah dikutuk (QS. As-Syu’ara’: 224). Penyebutan Al-Quran sebagai kitab sastra (yang mana salah satu bagian dari sastra adalah puisi) berarti mengingkari ketetapan isi Al-Quran itu sendiri. Logika semacam ini adalah cacat dan perlu dikoreksi. Penggolongan Al-Quran sebagai puisi tentu berbeda dengan menggolongan Al-Quran sebagai sastra karena puisi itu sendiri adalah bagian dari kategori sastra. Yang semestinya adalah: yang dikejar oleh sastra untuk kali pertama adalah keindahan, untuk selanjutnya melangkah ke persoalan lain seperti bagaimana ia berbicara soal moral, kebenaran, kemanusiaan, dlsb. Jika diukur dari sini, Al-Quran sebagai ‘yang-indah’ pasti sudah terpenuhi. Dan itu ditambah lagi dengan kandungan dan isi Al-Quran yang ayat-ayatnya diwadahi oleh surat, dan suratnya dibangun oleh ayat-ayat. Pendek kata, Al-Quran luar biasa indah. Dan jika dinisbatkan sebagai kitab sastra, ia adalah kitab sastra terbesar, melebihi karya sastra mana pun yang ditulis oleh siapa pun.
Kedua, Al-Quran adalah kalam Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui perantara malaikat Jibril. Dengan demikian, menyebutnya sebagai kitab sastra dikuatirkan akan menimbulkan kesan bahwa Al-Quran adalah kalam basyari (ucapan manusia). Lantas timbul juga pertanyaan: apakah pasti setiap yang dinamakan karya sastra adalah buah tangan manusia? Saya tidak pernah mendengar adanya syarat bahwa sastra harus ditulis tangan oleh manusia. Yang saya tahu adalah, karya sastra berkutat pada soal keindahan (jamaliyyah, estetika). Dalam hal ini, penyebutan Al-Quran sebagai kitab sastra, menurut saya, harus dikembalikan kepada bahwa Al-Quran adalah kalam yang indah dan menawan. Dan barangkali, kita perlu untuk memperhalus penyematan kitab sastra itu dengan ungkapan lain, misalnya, “Al-Quran itu sastrawi”. Sastrawi di sini adalah sebuah sifat, yaitu, sifat keindahan yang, jika dinisbatkan kepada Al-Quran, akan memperkuat bahwa “yang-disifati” jauh melebihi karya sastra mana pun yang ditulis oleh siapa pun.
Jika kita mau mereduksi pandangan kita seperti demikian, tentu tak akan ada yang ceroboh menganggap kita ingin melucuti kekudusan Al-Quran. Tetapi muasal dari segala perdebatan panjang kita di atas barangkali memang bertumpu pada satu pijakan premis: “Kita enggan beragama dengan puisi (sastra)”. Dan jika benar kita sudah memegang premis ini dengan begitu fanatik, saya rasa semua penjelasan saya di atas menjadi sia-sia belaka.
M.S Arifin. Alumni Universitas Al-Azhar Mesir