Oleh: M. Faizi
Alam lingkungan Makkah, yang dulu bernama Bakkah, adalah pegunungan tandus. Nama ini sesuai dengan padanannya (النّاسّة والنسّاسة) yang berarti kering, sedikit air[1]. Posisinya yang berada di “lembah tanpa tanaman” (sebagaimana tersurat pada doa Nabi Ibrahim di Surah Ibrahim 37), menurut Ar-Razi (via Hamid Uquli) via Ar-Razi, itulah yang justru membuatnya aman dari incaran penakluk dan penjelajah sebab pada umumnya mereka mencari kenyamanan duniawi. Mekkah pun pada akhirnya hanya dilewati saja. Mekkah pun akhirnya terpusat untuk kepentingan ibadah semata[2].
Ayat di atas—yang artinya; “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak ada tanamannya (dan berada) di sisi rumah-Mu (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami, (demikian itu kami lakukan) agar mereka melaksanakan salat. Maka, jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan anugerahilah mereka rezeki dari buah-buahan. Mudah-mudahan mereka bersyukur”—dapat menjadi bukti bahwa memilih tempat, tanah, atau lingkungan untuk ditempati itu ada alasannya. Statemen الجار قبل الدار yang mengisyaratkan agar kita memilih lingkungan (calon tetangga) lebih dulu sebelum menentukan pembangunan rumah telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim. Dengan kata lain, sengaja lembah tanpa tanaman itulah yang dipilih karena dekat dengan Baitul Muharram.
Keindahan yang saya saksikan di Mekkah bukankah keindahan laut seperti di Ternate, atau pemandangan eksotis bentang jalan darat dari Larantuka sampai Ende. Apalagi hendak membandingkannya dengan Bali, keindahannya akan jauh beda lagi.
Prinsipnya, semua keindahan itu punya kesamaan, yaitu berbasis pada alam dan visual. Akan tetapi, bagi saya, keindahan Makkah itu berbeda. Mekkah tak punya laut, tak punya sungai, tak punya hutan, hanya mata air Zamzam. Letak keindahannya terdapat pada unsur kemanusiaan dan spiritualnya.
Setiap pulang dari masjid, atau melintas di sekitar pelatarannya, setiap hari, saya melihat kerumunan orang-orang dari berbagai ras di dunia. Ada orang Bengali yang sedikit gelap, juga orang (mungkin) Ethiopia yang menggilap. Pemandangan menjadi kontras jika mereka duduk bersisian dengan peziarah dari Kyrgistan dan Tajikistan yang putih dan sedikit sipit. Bule-bule juga ada, tapi saya tidak punya kemampuan memindai, sehingga tidak tahu dari mana asalnya. Pemandangan multikultural di sekitar Masjidil Haram seperti ini mencuatkan gambaran nyata strata yang setara di hadapan Allah, dibedakan kecuali hanya berdasarkan ketakwaannya. Mata visual kitalah yang memunculkan kesan berbeda saat melihat orang yang cantik dan buruk, hitam dan putih, bungkuk dan jangkung. Sejatinya, mereka benar-benar setara, baik saat duduk tahiyat atau berputar di kala tawaf.
Ada keindahan lain yang harus saya katakan di sini, yaitu keindahan wajah orang lokal yang selama ini hanya saya imajinasikan berdasarkan narasi kitab atau puisi, baik perihal Sayyidah Khadijah yang digambarkan oleh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki dalam “Al-Busyro” maupun gambaran umum oleh Imro’ul Qays dalam “Ta’allaq Qalbi”. Pernah di suatu saat saya melihat secara tidak sengaja seorang perempuan yang mengenakan burqu’, namun disibak entah untuk apa dan secara kebetulan bersirobok dengan saya. Rasanya saya melihat lukisan yang bergerak. Semua item seakan terpasang secara benar: mata, alis, hidung, bibir, postur, dan semuanya bagai puzzle yang terpasang dengan benar. Tak ada “cacat instalasi” di situ, tidak seperti produk-produk grosiran yang quality control-nya nyaris tak ada.
Setelah gambaran di atas ini, saya lalu kembali kepada kitab Al Busyro. Di sana, dijelaskan bahwa ketertarikan Sayyidah Khadijah kepada Nabi itu sama sekali tanpa penyebutan jasmaniahnya. Tak ada pembahasan ketampanan atau postur. Pijakan pilihan jatuh pada cara muamalah, martabat, silsilah dan nasabnya, juga keagungan derajatnya di hadapan Allah, sebagaimana gelar “Al-Kubro” untuk Sayyidah Khadijah itu sendiri.
Demikianlah keindahan itu kita lihat di dunia ini dalam berbagai bentuk dan sudut pandangnya. Kita bangun tidur dan melihat sawah di belakang rumah itu keindahan, begitu juga saat melihat anak yang masih tidur. Tidak melihat alam, tidak melihat anak, tidak melihat mobil, itu juga keindahan jika kita melihat keindahan pada ketabahan kita. Dan Makkah indah dalam cara pandang orang-orang yang datang untuk beribadah. Ia indah karena di sanalah peletakan batu pertama Millatu Ibrahim dan di situ pula tempat lahir Sayyidil Mursalin.
_____________
[1] الزمخشري : وقيل لمكّة: النّاسّة والنسّاسة: لجدبها ويبسها. ويقال لمكة الناسة، لقلة الماء بها
[2] وقد تنبّه الرازي لذلك في تفسيره الفضيلة السابعة: … وثانيها: أنه لا يسكنها أحد من الجبابرة والأكاسرة فإنهم يريدون طيبات الدنيا فإذا لم يجدوها هناك تركوا ذلك الموضع، فالمقصود تنزيه ذلك الموضع عن لوث وجود أهل الدنيا، وثالثها: أنه فعل ذلك لئلا يقصدها أحد للتجارة بل يكون ذلك لمحض العبادة والزيارة فقط … وخامسها: كأنه قال: لما لم أجعل الكعبة إلا في موضع خال عن جميع نعم الدنيا فكذا لا أجعل كعبة المعرفة إلا في كل قلب خال عن محبة الدنيا
[3] رَبَّنَآ اِنِّيْٓ اَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِيْ بِوَادٍ غَيْرِ ذِيْ زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِۙ رَبَّنَا لِيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ فَاجْعَلْ اَفْـِٕدَةً مِّنَ النَّاسِ تَهْوِيْٓ اِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِّنَ الثَّمَرٰتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُوْنَ
M. Faizi. Sastrawan Indonesia