Kebenaran Mutlak, Apakah Ada?
lodestonetruenorth.com

Kebenaran Mutlak, Apakah Ada?

Oleh: M.S Arifin

Kebenaran mutlak adalah suatu keyakinan, ia ada pada diri yang meyakini. Realitas fisis senantiasa telanjang dari sematan ‘benar’ dan ‘salah’, karena kebenaran dan kesalahan ada ketika subjek merengkuh realitas itu ke dalam dirinya. Diri adalah subjek; ia yang berkehendak, berkesadaran, berdiskursus.

Dari bermacam aliran dan tokoh yang berdebat soal ‘pembawa kebenaran’, semuanya mengarah kepada subjek. Richard L. Kirkham dalam bukunya ‘Teori-Teori Kebenaran’ menyebutkan klasifikasi pembawa kebenaran itu beserta dengan tokoh pengusungnya. Ia menyebutkan setidaknya ada sepuluh perbedaan pendapat soal apa yang membawa kebenaran.

  1. Keyakinan adalah pembawa kebenaran (Russell).
  2. Pernyataan adalah pembawa kebenaran (Austin).
  3. Keyakinan dan pernyataan adalah pembawa kebenaran (Hamlyn).
  4. Tipe kalimat adalah pembawa kebenaran (Tarski).
  5. Tera kalimat adalah pembawa kebenaran (Tarski).
  6. Ide adalah pembawa kebenaran (James).
  7. Penilaian adalah pembawa kebenaran (Blanshard).
  8. Keyakinan, penegasan, dan tera kalimat semuanya bisa membawa kebenaran (Chisholm).
  9. Tipe keadaan-keyakinan, tipe episode-pikiran, dan tipe tindak-penegasan semuanya bisa membawa kebenaran (Armstrong).
  10. Tidak ada satu hal pun yang merupakan pembawa kebenaran (Ramsey, Strawson, C. J. F. Williams, dan lain-lain).

Kebenaran menjadi kebenaran mengandaikan adanya subjek (tidak peduli unsur manakah dari subjek yang bisa dinilai sebagai kebenaran). Tanpa subjek tidak ada kebenaran, karena realitas di luaran sana terhampar begitu saja, eksis begitu saja tanpa korelat. Korelat (subjek)-lah yang mengkorelasikan antara realitas yang terbahasakan itu dengan realitas lainnya, entah dengan cara menyusun kalimat secara hakiki, entah dengan meyakininya, entah dengan mengidekannya, entah dengan cara menyimbolkannya. Maka, predikasi menjadi unsur penting dalam kebenaran. Dalam teori logika, kebenaran berhubungan dengan ‘penilaian’ dan penilaan mengandaikan predikasi.

Semua pengusung teori kebenaran tidak ada yang mengatakan bahwa kebenaran tidak ada. Mereka tidak berdebat tentang ada dan tidaknya kebenaran, melainkan berdebat soal teori-teori kebenaran: tentang apa pembawa kebenaran, tentang bagaimana sesuatu dikatakan benar, apa neraca dan timbangannya, dst.

Yang mereka perdebatkan adalah bahwa adakah kebenaran mutlak? Sejak ribuan tahun, masalah ini sudah diperdebatkan sedemikian rupa dan mengerucut pada dua mazhab: (1) absolutisme, dan (2) relativisme. Absolutisme menyatakan tentang adanya kebenaran absolut, sementara relativisme menyatakan tentang kenisbian kebenaran. Kedua mazhab ini berpusar pada masalah epistemologi.

Jika ada pernyataan bahwa ‘kebenaran absolut itu tidak ada’, maka pernyataan ini menjadi keliru dalam dirinya sendiri karena kontradiktif dengan isi wicaranya. Pernyataan tersebut terjebak pada paradoks. Jika pernyataan bahwa ‘kebenaran absolut itu tidak ada’, maka pernyataan ini pun bisa benar karena ia absolut. Jika tidak, maka pernyataan ini keliru. Paradoks ini membawa kekusutan dalam perdebatan epistemologis.

Jika kebenaran dikaitkan dengan penilaian (proposisi), maka kebenaran absolut dikaitkan dengan apa? Saya bisa menjawabnya: keyakinan. Dari sinilah kekusutan akan mulai terurai. Problem kebenaran adalah khas milik subjek berkesadaran. Subjek inilah yang mengintervensi realitas ke dalam kesadarannya untuk diwicarakan dalam konteks informasi dan ilmu. Kedua elemen kesadaran ini mengurusi kepastian dan kebenaran.

Kepastian dan kebenaran amat berguna bagi subjek berkesadaran dalam mengarungi kehidupannya di alam raya ini. Tanpa kedua hal ini subjek berkesadaran hanya akan terombang ambing dalam lautan kegelisahan. Kegelisahan (dan juga gejala psikis minor lainnya) amat mengganggu kehidupan sang subjek.

Kita bisa tenang dalam menjalani hidup karena kita yakin (berdasarkan kebenaran dan kepastian) bahwa tidak ada meteor yang tiba-tiba menghujam ke bumi dan memusnahkan kehidupan kita. Tanpa kebenaran dan kepastian kita tidak akan mencapai keyakinan. Tanpa keyakinan (dalam makna yang luas) kita akan dirundung kegelisahan.

M.S Arifin. Alumni Unversitas Al-Azhar Mesir

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *