Oleh: Wahyu Setiawan
Islam puritan sebagai pendekatan umum dalam interpretasi sejarah Islam, dilekatkan pada kelompok Salafi dengan ide untuk mengikuti jejak al-salaf al-ṣāliḥ. Konsep al-salaf al-ṣāliḥ mencakup masa Rasulullah saw, sahabat, dan dua generasi setelahnya yang disebut tābi‘īn dan dan tābi‘ al- tābi‘īn. Sebagai sebuah ideologi, pola pemikiran Islam Puritan telah menjadi salah satu bagian dalam tradisi intelektual Islam pada masa awal seperti yang terefleksikan dalam karya-karya di abad pertama hijriah.
Sebagai sebuah konsep, akar mind-set puritan atau salafi dapat dilihat sejak terjadinya skisme politik dan teologi dalam komunitas Muslim pada abad pertama Hijriah. Pada masa itu, konsep ini menjadi pola pertahanan dalam kontestasi ideologis antar kelompok. Justifikasi pemikiran dan gerakan terletak pada konsistensi dalam mengikuti generasi awal yang dinyatakan paling otoritatif.
Dari sudut pandang sejarah ini, penggunaan term salafi pada masa paling awal tidak diasosiasikan pada gerakan tertentu atau kelompok keagamaan per se. Namun lebih mengacu pada sikap secara umum para generasi setelah al-salaf al-ṣāliḥ berupa cara berpikir dalam upaya peniruan terhadap otoritas politik dan keagamaan abad pertama yang dilihat memiliki otoritas ditilik dari kontinuitas ajaran Al- Qur’an dan contoh yang dilakukan Nabi saw.
Selanjutnya, Islam Puritan secara khusus dilihat sebagai upaya manifestasi dirinya dalam sebuah keyakinan bahwa teks harus dipahami menurut pemahaman tiga generasi awal tersebut. Tradisi dari ketiga generasi awal tersebut bersifat normatif, statis, dan berlaku secara universal, baik secara metodologis maupun produk. Pendekatan yang digunakan lebih ke arah literalisme terhadap teks.
Islam puritan sangat ketat mengikuti teks dan mengadopsi pendekatan literalistik terhadap teks. Legitimasi yang dibangun melalui pendekatan yang sangat tekstual-literal pada teks religius. Teks Al-Qur’an dan hadis harus dipahami secara literal sebagaimana adanya, karena nalar dipandang tidak mampu memberikan interpretasi yang tepat terhadap teks. Bagi kelompok ini, Al-Qur’an yang harus harus membimbing komunitas Muslim, bukan berbagai “kebutuhan” modern. Mereka memandang makna Al-Qur’an telah pasti, konstan, dan bersifat universal dalam aplikasinya.
Bagi kelompok Islam Puritan, kebenaran, seluruhnya, ada pada teks lahiriah al-Qur’an dan sunnah dan bahwa kehidupan yang ideal dalam semua aspeknya adalah kehidupan pada masa Nabi. Oleh karena itu, carut marutnya kehidupan sekarang ini dinilai oleh kelompok ini sebagai akibat dari sikap umat Islam yang tidak mau lagi menjadikan al-Qur’an dan sunnah sebagai rujukan dan dasar dalam menjalani kehidupan.
Begitu juga kemajuan teknologi dan juga peradaban yang terjadi pada saat ini dianggap sebagai bukan sebuah kemajuan dan tidak memiliki nilai apapun karena dianggap menyimpang dari al-Qur’an dan sunnah atau dengan kata lain tidak islami. Bagi kelompok ini, kesempurnaan dan kemajuan hanya terjadi pada masa Nabi sehingga mereka selalu dan akan terus berjuang untuk mewujudkan kehidupan seperti yang terjadi pada masa nabi tersebut. Ini mengandung arti bahwa gerak kehidupan dan kebudayaan dalam seluruh aspeknya harus ditarik mundur menuju kehidupan masa nabi, yakni kehidupan yang islami.
Teologi Islam Puritan dalam banyak segi berupaya melakukan pemurnian akidah dalam upaya membentuk Islam sebagai sebuah realitas yang hidup seperti pada masa awalnya. Kelompok ini menolak sikap kritis terhadap teks dan interpretasinya. Sehingga membentuk corak religiusitas yang didasarkan pada kemurnian, bahkan puritan. Proyek peradaban yang digarap adalah menghidupkan kembali Islam sebagai agama, budaya, dan peradaban. Sehingga melahirkan sikap dan pandangan idealis terhadap ajaran Islam yang bersifat totalistik.
Akar dari yang dimaksud sebagai gerakan puritan dalam tulisan ini harus dilacak pada akhir abad ke-19 M. Ideologi yang dibangun adalah upaya untuk menghidupkan ajaran Al-Qur’an dan sunnah sebagaimana dicontohkan oleh Nabi dan generasi awal Islam dengan slogan iḥyā’ al- Qur’ān wa al-sunnah. Motivasi utama dibalik upaya ini adalah hasrat untuk memerdekakan negara-negara Muslim dari kolonialisasi dan berbagai praktik yang dipandang tidak islami. Basis intelektual dan metodologis yang ditampilkan dengan karakteristik kembali kepada sumber paling murni, dasar, teks original Al-Qur’an dan sunnah Nabi saw.
Islam Puritan selanjutnya membangun pandangan romantisme dan utopis terhadap masa lalu dengan menolak warisan pemikiran hukum mazhab yang telah terbangun. Dengan kata lain, melakukan dekonstruksi ajaran-ajaran tradisional yang telah dibangun tokoh-tokoh otoritatif pada abad pertengahan. Pengembaraan hermeneutik dan metode penyimpulan hukum mazhab dianggap telah merusak kemurnian Islam, baik dari aspek hukum maupun teologi. Inilah perbedaan mendasar Islam Puritan dengan kelompok yang disebut Tariq Ramadan sebagai Skolastik-Tradisionalis. Puritanisme menolak perantara mazhab hukum dan para imamnya ketika menerapkan pendekatan dan pembacaan terhadap teks.
Secara metodologis, Islam Puritan dapat dinyatakan identik dengan gerakan Wahhābī yang muncul di wilayah padang pasir Saudi Arabia pada pertengahan abad ke-18 M dan kemudian berkembang luas setelah 1970-an melalui Saudi petrodollars. Pemikiran Wahhābī didasarkan lebih pada corak patriarkhal dan orientasi eksklusif di antara gerakan kontemporer Islam.
Epistemologi yang dibangun Wahhābī bercorak anti-rasionalisme, anti-mistisisme, dan sangat literalisme dalam interpretasi hukum dengan menafikan kontekstualisasi. Disiplin pengetahuan modern yang meliputi ilmu-ilmu sosial, seni, dan ilmu humaniora lainnya dinyatakan sebagai sesuatu yang asing dan berada di luar tradisi Islam sehingga validitas dan legitimasi yang digunakan dalam ilmu-ilmu keislaman tertolak begitu juga dalam interpretasi Al-Qur’an dan sunnah.
Dinamika dan interaksi yang kompleks baik dari sisi sosial, politik, maupun ekonomi menghasilkan perpaduan Wahhābī dan Salafi dalam model yang disebut El-Fadl sebagai salafabism sebagai bentuk cara pikir dan world-view Salafi dan Wahhābī. Salafabism atau dalam term Duderija Neo Tradisionalis Salafi memandang dirinya sebagai pewaris sekaligus penerus pendekatan tradisional untuk melihat masa lalu dan praktik salaf.
Sikap kembali kepada tradisi (turāth) secara murni diarahkan dalam bentuk tindak imitasi terhadap sumber asli dan pemeliharaan terhadap praktik masa lalu. Elemen klasik pemikiran Islam Puritan adalah sikap mereka terhadap masa lalu, masa sekarang, dan masa mendatang. Tradisi dipandang telah menyediakan segala aturan dan jawaban segala permasalahan yang harus diikuti dan tidak boleh ditentang. Sumber-sumber tekstual tidak boleh dipahami sesuai realitas, tetapi realitas harus dipahami melalui teks.
Otentisitas dari identitas seseorang hanya dapat dibangun melalui peniruan secara ketat terhadap perilaku Nabi saw dan komunitas Muslim awal. Konsep otentisitas menjadi term yang sangat penting dalam world- view kelompok ini. Otentisitas pada gilirannya dikonseptualisasikan dalam term kesatuan yang mengikat masa lalu dan masa mendatang dengan kekosongan ontologis masa sekarang. Otentisitas dijadikan sebagai tujuan utama dalam upaya menunjukkan diri (the self) yang bersifat kontradiktif dengan pihak lain.
Secara epistemologis, Islam Puritan menyatakan bahwa modernitas dan berbagai produknya seperti rasionalitas, perkembangan ilmu-ilmu humaniora dan sosial, demokrasi, HAM, dan sebagainya sebagai bid‘ah, konsep Barat yang meracuni pemikiran Muslim, dan merupakan sesuatu yang asing dari pemikiran Islam murni.
Orientasi puritan juga menganggap bentuk pemikiran moral yang tidak sepenuhnya bergantung pada teks sebagai bentuk pemberhalaan diri, dan menganggap wilayah-wilayah pengetahuan humanistik, seperti teori sosial, filsafat, atau pemikiran spekulatif lainnya, sebagai “ilmu setan.” Ia juga menolak segala upaya untuk menafsirkan hukum Tuhan dari perspektif historis dan kontekstual, dan malah, menganggap mayoritas sejarah Islam sebagai bentuk perusakan atau penyimpangan dari Islam yang otentik. Hermeneutika dialektis dan tidak terbatas terhadap ilmu fikih mazhab dianggap sebagai pengotoran terhadap iman dan sharī‘ah.
Wahyu Setiawan. Dosen IAIN Metro