Damardjati Supajar: Prototipe Filsuf Jawa Kontemporer
tempo.co

Damardjati Supajar: Prototipe Filsuf Jawa Kontemporer

Oleh: Irfan Afifi

Jika mau menderet akademisi kita yang pakar filsafat, kita mungkin tak banyak mengalami kesulitan. Namun jika ditanya siapakah dari pakar-pakar tersebut yang benar-benar merupakan filsuf, mungkin kita boleh bersepakat bahwa Damardjati adalah salah satunya. Ia merupakan salah satu guru besar filsafat UGM yang bukan hanya berhenti pada tahap kepakaran filsafat, namun telah melahirkan gagasan filsafat orisinilnya sendiri, yang inspirasinya diambil dari khasanah filsafat Barat, Islam, tradisi mistisisme—khususnya Islam,—dan khususnya kearifan tradisi Jawa.

Saat membaca karya-karyanya, segera kita akan mengetahui, ia bukan hanya mengutip, mengikuti, maupun membebek, namun ia telah membangun gagasannya secara utuh dan kohern, yang nuansa dan gayanya menjadi bagian khas dirinya. Gagasan-gagasan orang lain bukan hanya untuk dia “kutip”, namun gagasan-gagasan tersebut ia dedah untuk membantu kerangka maupun bangun filsafatnya secara utuh. Selain itu, bagi pembacanya akan segera tahu, bahwa, sesuai dengan karakter filsafat Jawa, ia bukan hanya menjadikan filsafat sebagai cara berpikir (way of thingking), melainkan juga sebagai “laku” (jawa harfiah: perbuatan/jalan) hidup yang konsisten dan padu. Itu kenapa pikiran-pikirannya tak hanya “didengar” di forum-forum akademis-ilmiah. Filsafatnya berdengung dan menyebar di masyarakat kecil. Maka tak aneh, jika ada orang yang mengaku mahasiswa filsafat UGM saat ditanya orang, respon balik penanya: “Oh, muridnya pak Damardjati ya”. Damarjati Supajar telah menjadi ikon Filsafat UGM.

Damardjati lahir di lereng utara Gunung Merbabu, tepatnya di desa paling utara Kabupaten Magelang pada tanggal 30 Maret 1940. Desa kelahirannya bernama Nawangsari, yang juga merupakan judul salah satu bukunya. Pak Pajar, begitu sapaan akrab murid maupun rekannya di kampus, lahir dari keluarga lingkungan priyayi-santri Jawa. Ia menamatkan pendidikan awalnya di SD Losari Grabag, Magelang tahun 1953. Kemudian menamatkan sekolahnya di SMP Kanisius, Ambarawa 1956, lalu SGA Negeri I Semarang tahun 1959. Ia tak memutuskan segera menjadi guru, ia malah tertarik untuk mendalami ilmu lagi. Ia kemudian kuliah di Fakultas Filsafat UGM hingga tahun 1978. Meski begitu, sebenarnya ia tak hanya kuliah di Filsafat, ia juga sempat mendalami ilmunya di Fakultas Psikologi UGM yang terpaksa tak ia seleseikan. Selain itu ia juga pernah mengikuti Pra-S3 di Leiden University, Belanda (1986-1989) dan menamatkan pendidikan Doktornya di Filsafat UGM tahun 1990 dengan desertasi yang berjudul: “Konsep Kefilsafatan tentang Tuhan, menurut Alfred North Whitehead” (Damardjati: 2010).

Di Fakultas Filsafat UGM, Pak Pajar adalah salah satu dosen Jurusan Filsafat Timur. Selain dosen, dia juga pernah menjadi Ketua Jurusan, hingga berlanjut sampai mendapatkan gelar guru besar (Profesor). Spesialisasinya mengajar mata kuliah Filsafat Ketuhanan dan Filsafat Manusia. Meski begitu, ia juga dikenal luas oleh masyarakat lewat tulisan-tulisannya di media-media massa, maupun ceramah-ceramahnya di radio, televisi, maupun pengajian-pengajian lokal yang diadakan swadaya oleh masyarakat. Oleh karena kepakarannya, khususnya tentang Jawa, ia bahkan sempat menjadi Penasehat Spiritual Sultan Yogyakarta. Dari dialah kita tahu, bahwa kearifan budaya Indonesia, jika ditelusuri, digali, dan disistemasi secara serius, menawarkan sebuah gagasan maupun pandangan hidup (filsafat) yang tak kalah sophisticate dengan pandangan-pandang hidup Barat.

Membaca karya Damardjati seperti Nawangsari (1993), Ketuhanan yang Maha Esa dan Rukun Iman (2010), Filsafat Sosial Serat Santro Gendhing (2001), Mawas Diri (2001), Sumurupa Byare (2010), dan karya lain-lain, menyadarkan kita bahwa rentang masalah yang ditulis maupun digelutinya begitu luas, mulai dari Agama, spritualisme/mistisisme, kebudayaan, Islam, budaya Jawa, Politik, hingga pembangunan Nasional. Topik-topik masalah jika kita lihat dalam tulisan-tulisannya, sebenarnya dibahas dalam kerangka filosofis dan reflektif. Ia banyak memakai ide-ide para filsuf barat, pujangga Jawa, ataupun ajaran kebijaksaan dari serat-serat jawa, mistisisme Islam, mistisisme timur, maupun ajaran Agama (Islam) pada umumnya. Kalaulah boleh kita sebut, tokoh-tokoh yang gagasan ia sering sertakan dalam tulisannya adalah Aritoteles, Schopenhour, Alfred North Whitehead, Fariduddin At-tar, Ranggawarsito, Eric Fromm, Ouspensky, Yosodipuro, masih banyak lagi. Namun, kita tahu gagasan-gagasan tersebut ia pakai dalam rangka membangun pemikirannya secara mandiri.

Selain itu, kita harus ingat bahwa Damardjati bukanlah seorang “kutu buku” yang melulu membangun filsafatnya dari hanya membaca, melain juga menyerap saripati kebijaksanaan dari guru-guru “di jalan” dalam “laku” keilmuan (filsafat) nya. Maka jika ditanya siapa “guru” yang sebenarnya yang mendidik dan mempengaruhinya, kita akan sangat kesulitan mengatakannya. Dia dengan sangat tulus, bisa berguru—mengambil hikmah—dari anak kecil, kiai kecil di Pesantern, tokoh besar yang mengunjungi rumahnya, paguyuban spiritual yang pernah ia datangi, pengajian keagamaan, ataupun fenomena/kejadian yang ia alami dan kejadian yang ia amati. Kehidupan sendiri inilah “guru”nya. Hal inilah mungkin yang membuat filsafatnya tak berjarak dengan masyarakatnya, khususnya Jawa. Meski begitu, ada kekhasan dalam pemikirannya—entah itu di dalam tulisan maupun ceramahnya—yang oleh para pembaca maupun pendengarnya dirasa rumit dan “membingungkan”, namun juga serius, dalam, juga kocak. Ini juga membuat kita sering heran, kenapa dengan lontaran pikiran yang begitu rumit itu, (khususnya) para pendengarnya tetap saja antusias mengikuti ceramah-ceramahnya. Mungkin ini dikarenakan bahasa-bahasa kunci yang ia gunakan diambil dari khasanah lokal, selain cara bicaranya yang kocak.

Mencermati pemikiran filsafat Damadjati, kita akan disuguhkan pada sebuah gaya berbicara atau berfilsafat yang seolah “melompat-lompat”. Ini mungkin terkait dengan bangun logikanya yang tampaknya tidak umum. Pada cara bicaranya maupun tulisannya, kita akan menemui sederet sasmita (lambang), sanepa (metafora), dan sindiran yang penuh makna—seperti halnya tercermin dalam karakter bahasa jawa. Oleh karenanya, untuk memahami pikiran, pembaca tak boleh memaksakan logikanya, namun justru harus sabar menyelam dalam logika tulisan maupun ceramahnya yang khas.

Dalam menanggapi masalah-masalah yang ia sering bahas, entah itu budaya, spiritualitas, politik, agama, pembangunan, pancasila, dan lain-lain, Damardjati selalu menempatkan filsafat sebagai alat refleksinya. Ia memahami filsafat sebagai pengantar hikmah, Sistem hakikat (mencakup syariat, tarekat, makrifat, dan hakekat), sinoptik eksitensial (penglihatan menyeluruh atas keber-ada-aan alam-manusia), pandangan hidup/cara hidup, serta induk segala ilmu pengetahuan. Dengan pemahaman ini, filsafat menurutnya harus membantu/mengantarkan orang menuju kebijaksanaan/hikmah, lewat pemahaman yang hingga hakikatnya, dan penglihatan secara menyeluruh atas masalah-masalah mendasar hidup, yang dengan itu akan bermanfaat sebagai pandangan hidup maupun cara menjalani hidup (Damardjati: 2010; 6).

Dia sering mencontohkan dengan memberi pertanyaan: “Apakah warna daun itu hijau?” Menurut penglihatan yang biasa, daun itu memang dianggap berwarna hijau. Padahal menurutnya, jika kita mau melihat dengan luas, daun itu hanya memantulkan cahaya yang ditangkap oleh mata kita sebagai: hijau. Padahal kalau mau dilihat secara lebih luas lagi, bukankah cahaya itu secara hakiki tak hanya berwarna hijau, tapi berwarna merah, kuning, hijau, dan lain-lain. Pada akhirnya, penalaran ini akan mencapai bahwa cahaya itu “ada” berdasar adanya cahaya dari segala cahaya (yakni tuhan, Allah). Maka ia sering mengatakan bahwa alam semesta ini adalah manifestasi/epifani/tajalli dari ayat-ayat-Nya.

Titik pijak filsafat ini mengantarkan Damardjati dalam melihat hakikat keber-ada-an segala, yang dalam ilmu filsafat masuk dalam disiplin metafisika/ontologi (ilmu tentang hakikat keber-ada-an). Ia sampai pada kesimpulan bahwa hakikat segala sesuatu/semesta ini berstruktur Lahir-Batin, serta berproses Awal-Akhir. Pandangan ini dikuatkannya dengan dengan mendasarkan pada Filsafat Organisme/Proses seperti yang dikemukakan Alfred North Whitehead, yang memandang semesta segala ini sebagai kesatuan organis yang integral dan terus berproses. Menurutnya, kata lahir-batin berasal dari bahasa Arab, yang padanannya dalam bahasa Jawa: babar, gelar, gumelar (lahir), dan geleng, golong, gelung, gumulung, gumelang (batin). Lawan lahir bukan mati, melainkan batin. Jadi, mati dalam bahasa Jawa tidak berarti mati dalam bahasa Indonesia. Justru mati (jawa), berasal dari ati, p-ati, m-ati, ng-ati ng-ati, justru berkonotasi arti dengan “berdiri” (jumeneng/qiyam). Kalau yang dimaksud mati dalam pengertian berhentinya degup jantung dan tata pernafasan, istilahnya bukan mati melainkan layu/lelayu, layu/pralaya, loyo/alum, yang berkonotasi layu, alum, dan kurang cahaya (Damardjati: 2010; 11).

Dalam pemahaman Lahir-Batin dan Awal-Akhir, atau sepadan dengan konsep Jawa Kawula-Gusti, manusia sebagai hamba-Allah/Abdul-lah/kawula-gusti, yang mempunyai badan/lahir (sebagai mikrokosmos) dan jiwa/batin (sebagai makrokosmos) menangkap ayat-ayat (tanda-lambang)-Nya. Manusialah yang ditunjuk sebagai khalifatullah untuk me-“lahir”-kan yang “batin” dan mem-“batin”-kan yang “lahir”, yakni membaca ayat-ayat-Nya dalam rangka ke mahaan-Nya. Itulah perjanjian primordial manusia dengan tuhannya. Saat semua mahluk diminta bersujud kepada Adam, semuanya bersujud kepada Adam kecuali Iblis, karena menganggap Adam hanya berasal dari tanah, sedangkan ia dari api. Iblis terpaku pada ke-aku-an materialnya (api), dan tidak melihat bahwa Adam, ditunjuk, sebagai khalifah ditambah kemampuan plus yakni, “pengertian nama-nama segala” serta “tiupan ruh-Nya” (Damardjati: 2001; 47).

Damardjati melihat bahwa pemahaman manusia atas semesta tanda-tanda-Nya (seperti tercermin dalam kebudayaan), baru mencapai taraf teknologi, seperti perumpamaan “bahasa tongkat Musa”, namun belum mencapai pada taraf spiritual, seperti perumpamaan “bahasa ruh Isa”, apalagi menggabungkannya dalam satu kesatuan tindakan, seperti bahasa ahlakul karimah (ahlak mulia) Muhammad. Untuk memahami realitas kesegalaan Ayat-ayatnya, manusia harusnya meningkatkan derajat berpikir, dari semata-semata berpikir rasional (seperti dalam karya Aristoteles; Organon), atau berpikir empiris (seperti dalam karya Francis Bacon; Novum Oraganum), menuju pemahaman cara berpikir jenis ketiga (seperti dalam karya Ouspensky, Tertium Organum). Seperti sering ia kemukakan, “Titik itu tidak ada, kecuali dalam rangka garis. Garis tidak ada, kecuali dalam rangka bidang. Bidang tidak ada, kecuali dalam rangka ruang dan waktu. Ruang dan waktu tidak ada kecuali dalam rangka firman Allah” (Damardjati: 2010; 15).

Jadi untuk memahami semesta segala yang berstruktur lahir-batin dan berproses awal-akhir, orang seharusnya tidak disibukkan dengan laku penjumlahan, karena berapapun satuan nominal yang dijumlah tidak akan mencapai kualitas infinitum (tak terhingga), yakni kualitas keilahian. Satu-satunya jalan untuk menuju kualitas infinitum, dengan cara pembagian 0/nol, yang ia namai sebagai jalan istiqomah, jalan lurus. Berapapun satuan terminal eksistensial jika dibagi 0/nol maka hasilnya justru infinitum (tak terhingga). Inilah yang terkandung dalam kalimat syahadat: La ilaha illallah yang di dalamnya terkandung prinsip nafi (negasi: tidak ada tuhan), dan isbat (afirmasi: selain Allah). Nafi diwakili oleh prinsip pembagian 0/nol, sedangkan isbat diwakili oleh infinitum (Damardjati: 2010; 16). Seperti dalam ungkapan jawa: “sejatine ora ono apa-apa, kajaba Kang Kandha” (sesungguhnya tidak ada apa-apa, kecuali Yang Bicara).

Mungkin kita bisa memahami secara lebih sederhana, bahwa pencapaian pengetahuan tentang semesta-segala sebagai ayat-ayat-Nya (Allah), yang di dalamnya manusia satu-satunya mahluk yang punya kelebihan memahaminya, telah mencapai pada tahap ilmu pengetahuan empiris-rasional, namun belum bisa menangkap kualitas spiritual ayat-ayat-Nya menjadi persaksian syahadat La Ilaha Illallah dalam “laku” kawula-gusti. Manusia merupakan tali-wangsul (titik simpul/titik kembali) yang bisa mencapai kualitas Insan Kamil (manusia sempurna) dari laku bertahap: berfikir (tafakkur), berdzikir (tadzakkur), hingga sadar kosmis (tadabbur) akan lahir-batin dan awal-akhirnya semesta atau akan asal-tujuan hidup (sangkan-paran dumadi). Dari filsafat inilah Damardjati menjelaskan seluruh pandangannya.

Pustaka

Damardjati Supajar, Nawang Sari: Butir-Butir Renungan Agama, Spiritualitas, Budaya, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta, 2001.

Damardjati, Sumurupa Byar-e, Manyingkap Rahasia Awal-Akhir, Lahir-Batin, PSP UGM, Yogyakarta, 2010.

Damardjati, Ketuhanan Yang Maha Esa dan Rukun Ihsan, PSP UGM, Yogyakarta, 2010.

Ahmad Charis Zubair, Cuk Ananta Wijaya, dkk, Universitas Jagad Raya, Fakultas Kehidupan, Jurusan Jalan Lurus, PSP UGM, Yogyakarta, 2005.

Sumber: Fb Irfan Afifi

Irfan Afifi. Budayawan Indonesia, Murid Damardjati Supadjar

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *