Oleh: M.S. Arifin
Ketika pertama kali belajar menulis, kira-kira 13 tahun yang lalu, saya memulainya dari sastra. Ketika itu saya menulis cerpen, dan berhasil membukukan kumcer sendiri kendati dicetak sendiri. Setelah itu saya beralih ke puisi. Di masa-masa itu, sampai pertengahan masa di mana saya mengenyam studi di Mesir, hampir setiap hari saya menulis puisi. Mungkin ribuan puisi sudah saya tulis, dan puncaknya adalah terbitnya buku kumpulan puisi ‘Sembilan Mimpi Sebelum Masehi’. Di rentang masa menjelang akhir studi saya di Mesir, saya belajar kritik sastra, dan terbitlah buku kumpulan esai berjudul ‘Anatomi Puisi’.
Barangkali agak aneh jika sekarang saya hampir-hampir meninggalkan sastra secara de facto, dan serius bergelut di dunia pemikiran, lebih khusus filsafat. Namun keanehan itu justru akhir-akhir ini saya nilai sebagai anugerah. Demikian lantaran saya merasakan dampak yang tak langsung dari sastra yang pernah saya geluti ketika menulis pemikiran murni yang cenderung kaku, rigid, dan objektif.
Dalam dunia pemikiran, persinggungan antara sastra dan filsafat sesungguhnya amat erat. Biasanya, tradisi filsafat Prancis-lah yang dapat gelar demikian, karena kecenderungannya yang lebih dekat kepada bahasa. Namun saya juga tak kalah beraninya mengklaim bahwa filsafat Jerman dan Inggris, pun Anglo-Saxon, amat dekat dengan sastra.
Kedekatan yang saya maksud di sini bukanlah sesaklek kedekatan disipliner. Kedekatan itu adalah bahwa sastra merupakan alat untuk menyampaikan ide, dan ide tersebut tertuang melalui bahasa, atau sebut saja, kata-kata. Kata-kata senantiasa bersifat me-nyata-kan atau me-nyembunyi-kan. Dengan kata-kata kita me-nyata-kan gagasan, dengan kata-kata pula kita me-nyembunyi-kan latar belakang, motif, kesan, dan pesan dari gagasan.
“Jika gagasan adalah dari dan kepada manusia, maka sastra adalah juru bicaranya.”
Pada paruh pertama abad ke-20, Edmund Husserl gelisah dengan krisis sains Eropa lantaran mengabaikan sisi-sisi subjektivitas, melalui bukunya ‘The Crisis of European Sciences’, dan menganggap bahwa logika posivistik justru menjauhkan manusia dari dunia kehidupannya (Lebenswelt). Menjawab kegelisahan itu, Husserl mengetengahkan idenya tentang fenomenologi. Menjawab Husserl, dalam bukunya ‘The Art of Novel’, Milan Kundera menyatakan bahwa krisis ilmu humaniora di Eropa tak akan terjadi jika kita kembali kepada bapak novel modern, Minguel de Cerventes, dengan karyanya ‘Don Quixote’.
Sastra tidak pernah mengalienasi manusia dari dunia kehidupannya. Alih-alih hanya menganggap manusia sebagai makhluk rasional, sastra memotret seluruh bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia: afeksi, hasrat, ambisi, kegelisahan, kecemasan, dan seterusnya. Maka, filsafat akhirnya melunasi hutangnya kepada sastra dengan kemunculan mazhab eksistensialisme. Dan dari sinilah sastra dan filsafat memadu.
“Jika gagasan yang baik adalah gagasan yang diungkapkan dengan kata-kata yang proporsional, maka sastra adalah menu utamanya.”
Sastra yang baik adalah sastra yang diungkapkan dengan bahasa yang tepat, baik tepat dari segi pilihan diksi maupun tepat dari segi proporsi. Tak ada penambahan yang tak perlu, juga tidak ada pengurangan yang menganggu. Sebagian orang kadang menganggap bahwa karya sastra, sebut saja novel, terlalu bertele-tele, karena sesungguhnya ide yang ingin disampaikan itu sederhana. Betul demikian, novel memang terkesan bertele-tele, namun justru di situlah letak keindahannya.
Novel adalah tentang kehidupan manusia yang dimimesiskan ke dalam kata-kata, dan kehidupan di sini tidaklah sesingkat tarikan napas. Suatu keindahan adakalanya dilihat dari bagian-bagiannya, dan adakalanya juga dilihat dari keutuhannya. Melihat keutuhan gagasan saja tanpa memedulikan bagian-bagiannya akan merusak citra keindahan yang dibangun.
Membaca novel ‘Seratus Tahun Kesunyian’-nya Márquez dari inti ceritanya saja akan mereduksi keindahan di dalam alurnya. Kita akan kehilangan momen gembira, jenaka, sedih, jengkel, dan seterusnya, jika kita tak mau repot-repot menyusuri jalan berliku dalam alur yang membentang selama seratus tahun, atau selama beberapa generasi tersebut. Demikian pula yang terjadi dengan karya filsafat.
Suatu karya filosofis sesungguhnya dibangun dari satu premis umum yang penjelasannya bisa bercabang-cabang, bahkan cabang ini kerap memiliki ranting yang banyak tak terkira. Kita tentu tidak keberatan mengikuti alur argumentasi sang filsuf jika kita ingin memahami keutuhan karya itu. Bagi saya, membaca karya sastra dan karya filsafat tak ada bedanya. Jika kita ingin menggapai keutuhan sekaligus keindahan, kita harus sabar menelusurinya dari jalan utama ke jalan setapak, langkah demi langkah.
“Jika gagasan merupakan penggabungan dari konsep-konsep pilihan, maka sastra adalah jalan utamanya.”
Dalam karya sastra maupun karya filsafat, ukuran autentisitas tidak dinilai dari kuantitas: tebal atau tipis. Karya sastra seperti ‘War and Peace’-nya Leo Tolstoy yang super tebal itu sama autentiknya dengan ‘The Old Man and the Sea’-nya Ernest Hemingway yang tipis itu. Karya filsafat seperti ‘Phenomenology of Mind’-nya Hegel yang tebal itu sama autentiknya dengan ‘Tractatus Logico-Philosohicus’-nya Wittgenstein yang tipis itu. Ukuran autentisitas bukanlah ketebalan, melainkan gagasan yang konsep-konsepnya segar dan menantang.
Suatu pemikiran pasti dibangun dari konsep-konsep, dan konsep tak mengenal batas. Batas hanya berurusan dengan benda meterial, sementara konsep bukanlah benda. Konsep lahir dari jiwa atau pikiran, dan sepanjang masih ada pikiran, konsep akan terus berkembang. Deleuze & Guattari dalam ‘What is Philosophy’ menyatakan bahwa filsafat atau pemikiran dibangun dari konsep, dan sifat dari konsep itu sendiri adalah tanpa batas. Karena tak ada satu pun konsep yang tidak berangkat dari konsep lainnya dan seterusnya dan seterusnya.
Pun jika akhirnya konsep ini dikembangkan, ia akan mengantarkan kepada konsep lainnya dan seterusnya dan seterusnya. Secara ontologis dan epistemologis, sesungguhnya tak ada kuasa apapun yang bisa membatasi pikiran. Pikiran hanya mungkin dibatasi secara etis, misalnya, dalam agama di mana ada batasan untuk memikirkan sesuatu dengan koridor ‘nama Tuhan’ (Iqra’ bismirabbika).
Singkatnya, pemikiran tanpa sastra akan kehilangan: Sisi kedalamannya, sisi menariknya, sisi menghantamnya, dan yang tersisa hanyalah ‘bualan’ yang dibuat panjang-lebar seolah-olah ‘ilmiah, objektif, dan intelek’.
M.S. Arifin. Alumni Universitas Al-Azhar Mesir