Tipologi Pemikiran dan Gerakan Islam
panjimasyarakat.com

Tipologi Pemikiran dan Gerakan Islam

Oleh: Wahyu Setiawan

Fenomena keberagamaan manusia dalam wacana studi agama kontemporer dapat dilihat dari berbagai sudut pendekatan. Tidak semata terkait normativitas ajaran wahyu, tetapi juga dapat dilihat dari aspek historisitas pemahaman manusia terhadap agama. Aspek historisitas membincang interpretasi manusia sebagai individu atau kelompok terhadap norma agama yang dianutnya.

Pada aspek inilah tarik menarik dan pergumulan antar kelompok terjadi. Pertarungan wacana acapkali terarah pada persoalan untuk memperebutkan otoritas keagamaan dan hegemoni Islam yang dipandang paling otentik. Perebutan otoritas keagamaan ini sejatinya merupakan realitas sejarah pemikiran Islam.

Terlebih ketika dihadapkan pada pengambilan sikap terhadap perjumpaan antara tradisi dan modernitas (al-turāth wa al-ḥadāthah). Berupa dialektika warisan pemikiran Islam dan upaya adaptasi dalam kehidupan modern. Lebih kompleks ketika dikaitkan respons terhadap perjumpaan peradaban Islam dengan peradaban Barat. Pada satu sisi, Barat modern dipandang sebagai musuh yang harus dilawan karena adanya watak represif dan imperialis terhadap Islam, sementara di sisi lain dipandang sebagai model yang patut dicontoh dengan kemajuan-kemajuan yang dimiliki. Demikian pula penentuan sikap terhadap tradisi. Tradisi dipandang sebagai tempat bersandar untuk menegaskan identitas serta autentisitasnya dan pada saat yang sama nampak sebagai lorong panjang yang penuh stagnasi dan kemunduran.

Jika dicermati secara seksama, pertarungan untuk memperebutkan klaim kebenaran yang terjadi pada dasarnya bertitik tolak dari cara masing-masing kelompok menafsirkan, memahami, dan mendudukkan teks dasar keagamaan Islam (Al-Qur’an dan hadis) serta tradisi keagamaan Islam dalam kehidupan modern. Sebagian kelompok mendasarkan seluruh pengetahuannya tentang kebenaran pada Al-Qur’an dan sunnah. Sementara sebagian yang lain mendasarkan pengetahuannya pada nalar-rasional. Di sisi yang lain, ada juga kelompok yang mencoba memadukan dua kecenderungan di atas. Kelompok ini sering disebut atau mengklaim diri sebagai kelompok moderat meskipun dalam kenyataannya kelompok yang terakhir ini lebih dekat dengan kelompok pertama dan bersikap kontra terhadap kelompok kedua.

Dari sinilah agama dalam perkembangannya berubah menjadi identitas kelompok. Karena memang pada dasarnya agama memiliki dua sudut, yaitu: pertama, sudut asal-usul ilahi yang transenden-universal. Pada sudut ini, agama bersifat absolut mutlak; dan kedua, sudut penerima agama yaitu manusia sebagai penafsir agama yang relatif-terbatas dan meniscayakan keragaman. Terkait sudut penerima, respons dan sikap intelektual yang diperlihatkan dalam memandang dialektika agama dan modernitas melahirkan berbagai pola dan bentuk yang berbeda-beda.

Pada dasarnya, tidak terdapat keseragaman pendapat dalam melakukan tipologi gerakan atau pemikiran di dalam Islam. Keragaman pendapat tersebut membuat kesulitan tersendiri dalam upaya pemetaan gerakan atau corak pemikiran yang ada. Sehingga tipologi tertentu tidak sesuai atau menjadi tumpang tindih dengan tipologi lainnya. Apalagi ketika perspektif yang digunakan juga berbeda. Tipologi gerakan atau pemikiran Islam menjadi sesuatu yang bersifat cair. Hal ini memunculkan pertanyaan kriteria apa yang dapat menjelaskan karakteristik sebuah aliran dibandingkan aliran lainnya.

Adis Duderija menawarkan pertimbangan metodologis dalam penetapan aliran pemikiran atau gerakan Islam. Menurutnya ada empat faktor yang dapat dijadikan tolok ukur ketika berupaya melakukan pendefinisian atau membuat tipologi berbagai pendekatan interpretasi tradisi Islam. Keempat faktor tersebut adalah:

Pertama, melihat perbandingan asumsi metodologis, ontologis, dan epistemologis yang digunakan pada saat sebuah aliran atau gerakan melakukan konseptualisasi, penalaran, dan upaya interpretasi terhadap Al-Qur’an dan sunnah sebagai sumber otoritatif utama weltanschauung Islam.

Kedua, berbagai pertimbangan terhadap bagaimana perbedaan-perbedaan tersebut didudukkan dalam relasinya dengan tradisi intelektual yang lebih besar pada kontestasi interpretasi masa lalu dan masa sekarang terhadap kedua sumber tersebut.

Ketiga, keragaman interpretasi religius terhadap tradisi Islam –sebagaimana dinyatakan Kurzman– saling tumpang tindih, berjalin, dan harus tidak dianggap satu sama lainnya bersifat eksklusif atau secara internal homogen namun sebagai perangkat yang bersifat heurestic yang memberikan wawasan ke dalam wacana sejarah Islam.

Keempat, pendekatan yang digunakan terhadap modernitas dan epistemologinya.

Keempat faktor tersebut sebagai upaya identifikasi gambaran terkait ciri-ciri asumsi interpretasi masing-masing kelompok            yang memperlihatkan kecenderungan manhaj mereka dalam membatasi masing- masing komunitas interpretasi dan membedakannya dengan kelompok lainnya.

Tawaran Duderija dalam kajian pemikiran Islam sangat relevan dijadikan tolok ukur berdasarkan beberapa alasan.

Pertama, world-views dan identitas dari berbagai kelompok dalam Islam paling utama berdasarkan pada interpretasi mereka terhadap sumber-sumber pokok weltanschauung Islam, yaitu Al-Qur’an dan sunnah. Kedua sumber tersebut diakui sebagai ultimate points of reference dari masa lalu hingga sekarang. Ideologi setiap kelompok atau aliran dapat ditelisik melalui cara interpretasi dan world-views yang dibangun dari kedua sumber tersebut. Slogan kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah telah menjadi frasa dalam wacana Muslim kontemporer. Sepanjang pengalaman sejarah Muslim, frasa tersebut telah menjadi fundamen pertarungan ideologis bagi setiap kelompok dalam upaya interpretasi, definisi, dan cakupan sumber-sumber tekstual tersebut sebagai representasi dari kehendak Tuhan dan perintah Nabi. Begitu juga slogan ini sering digunakan untuk menyatakan posisi doktrinal, ideologis, atau geo-politik yang digunakan kelompok-kelompok Islam periperal dalam menghadapi hegemoni Barat.

Kedua, konflik ideologis di antara kelompok Muslim terkait legitimasi interpretasi terhadap Al-Qur’an dan sunnah yang diwariskan dari masa lalu muncul kembali dan telah menjadi jauh lebih intens dengan cakupan lebih luas melalui revolusi teknologi informasi dan komunikasi dengan melibatkan relasi Muslim dan Barat.

Ketiga, pertarungan wacana internal tentang “Islam otentik” semakin merebak terutama setelah peristiwa 9/11 dengan ditandai meningkatnya polarisasi batasan ideologis masing-masing kelompok.

Keempat, peningkatan tarik-menarik ideologis generasi muda Muslim dengan kelompok yang disebut sebagai Islam Puritan dapat menggerakkan kekuatan sosio-religius atau gerakan-gerakan politis yang memiliki potensi terhadap peningkatan rasa curiga, tensi, dan bahkan membuka konflik antara komunitas Muslim dan non-Muslim. Kemunculan kelompok- kelompok seperti al-Qa’eda, al-Ḥizb al-Taḥrīr, al-Muwaḥḥidūn dan al- Muhājirūn di kalangan umat Islam dalam demokrasi liberal Barat adalah manifestasi yang jelas, tidak hanya di negara-negara Muslim namun juga di Barat.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *