Oleh: Zaprulkhan
Istilah mistik berasal dari bahasa Yunani mystes yang berarti orang yang mencari rahasia-rahasia kenyataan. Dalam bahasa Inggris istilah mistik (mystic) bisa berarti gaib, melampaui pemahaman manusia dan misterius, serta dapat pula merunut kepada pelaku dalam mistisisme. Sehingga mistik secara luas berkonotasi seorang yang menyatakan bahwa ia telah mengalami atau menjalani pengalaman mistik dan memahami kebenaran-kebenaran di luar jangkauan pemahaman manusia secara intuitif.
Sedangkan mistisisme secara harfiah berarti pengalaman batin, yang tidak terlukiskan, khususnya yang mempunyai ciri religius. Dalam arti luas, ia juga dimengerti sebagai perjumpaan spiritual dengan Tuhan. Mistisisme juga merupakan keyakinan bahwa kebenaran terakhir tentang kenyataan tidak dapat diperoleh melalui pemahaman biasa, dan tidak pula melalui intelek, tetapi hanya melalui pengalaman mistik atau melalui suatu intuisi mistik yang non rasional.
Singkatnya, hakikat realitas tak dapat diungkapkan dan tidak dialami melalui pengalaman dan pemikiran biasa. Menurut para ahli mistisisme dalam Islam diberi nama tasawuf dan oleh kaum orientalis Barat disebut sufisme. Jadi istilah sufisme menurut para orientalis Barat secara khusus, dipakai atau dinisbahkan terhadap mistisisme Islam. Sufisme tidak digunakan untuk wacana mistisisme yang terdapat dalam agama-agama lain.
Hakikat Pengalaman Mistik
Yang dimaksud pengalaman mistik di sini adalah pengalaman spiritual, atau ruhaniah orang-orang arifin atau kaum sufi ketika berhubungan dengan eksistensi di luar batas dunia materi dan dunia nyata. Pengalaman tersebut bisa berbentuk hubungan dengan alam malakut (kejiwaan), alam jabarut (ruh) dan alam lahut (sifat-sifat ilahiyah). Kaum sufi kerapkali mengaku bahwa mereka telah menembus dunia ekstra dimensi, dunia transendental yang gaib, yang eksistensinya sangat berbeda secara diametral dengan realitas alam materi.
Akan tetapi pengalaman mistik tersebut seringkali diklaim sangat bersifat subjektif-spekulatif, sehingga hakikat pengalaman mistik dianggap tidak memiliki basis objektif-ontologisnya. Namun seperti ditunjukkan oleh Huston Smith, seorang ilmuwan, filosof, sekaligus ahli agama abad ini, bahwa ada dunia lain yang bersifat gaib yang berbeda dengan dunia material.
Huston Smith membuat hierarki level realitas yang tediri dari empat tingkatan: wilayah terestrial atau yang disebut dengan alam materi (the terrestrial plane), wilayah antara (the intermediate plane), wilayah kelestial (the celestial plane), dan wilayah tak terbatas atau wilayah ketuhanan (the infinite). Dalam telaah Huston Smith, seseorang dapat memasuki ketiga wilayah itu, selain wilayah terestial yang bersifat material atau gaib.
Menurut Mulyadhi Kartanegara, pengalaman mistik merupakan pengalaman riil manusia, sebagaimana pengalaman indrawi, mental maupun rasional, dan bahkan setiap pengalaman hidup manusia, tentu memiliki aspek subjektif dan objektifnya. Sebelum membicarakan bukti ontologis tentang pengalaman mistik lebih lanjut, akan dibahas terlebih dahulu pengalaman sehari-hari yang tidak bersifat fisik namun mempunyai relevansi dengan pengalaman ruhaniah, yaitu mimpi.
Tampaknya tidak begitu banyak yang menelaah dengan serius fenomena mental yang disebut mimpi, yang bisa memberi pemahaman yang lebih intens tentang pengalaman mistik. Sebagai salah satu pengalaman manusia, mimpi besifat subjektif, bahkan sifat subjektif pengalaman mimpi tersebut lebih jelas dibanding, misalnya, dengan pengalaman indrawi. Tetapi, mimpi sebetulnya tidak selalu bersifat subjektif, ada aspek objektifnya.
Mimpi dikatakan bersifat subjektif karena seseorang tidak pernah berbagi mimpi dengan orang lain, demikian pula sebaliknya. Namun dari sini tidak dapat disimpulkan bahwa mimpi tidak mempunyai basis ontologisnya yang objektif. Sebab, sekalipun setiap orang tidak pernah berbagi mimpi satu sama lain, dunia mimpi yang mereka alami masing-masing memiliki ciri-ciri yang universal, yang objektif.
Kenyataannya, siapapun yang bermimpi, ia tidak melihat objek-objek mimpinya dengan mata kepala, tetapi dengan “mata batin” yang bersifat non fisik karena pada saat bermimpi mata fisik sedang non aktif. Sifat dasar objek mimpi juga universal bagi setiap orang yang mengalaminya, yaitu mengambil bentuk citra fisik, tanpa ia sendiri memiliki fisikalitas; Bahkan keunikan mimpi yang universal adalah kemampuan seseorang berkomunikasi dengan siapapun kendati berbeda bahasa dan bertemu dengan orang-orang yang telah tiada (mati). Dengan alasan ini, mimpi bukan saja bersifat subjektif, tapi juga objektif.
Melalui analogi mimpi, kiranya cukup representatif untuk dapat memahami pengalaman mistik sebagai pengalaman intuitif (ruhaniah) yang sama-sama merupakan pengalaman di luar jangkauan pesepsi indrawi manusia. Pesoalannya, realitas alam malakut yang dialami oleh orang-orang sufi memang tidak bisa dideskripsikan secara tepat ke dalam bahasa yang rasional. Namun, justru ketakterlukiskanya (ineffability) inilah sebagai salah satu karakter universal dari pengalaman mistik.
Menurut William James, seorang filosof dan psikolog Amerika, orang yang merasakan pengalaman mistik tidak mampu mengungkapkannya ke dalam kata-kata dan kalimat secara memadai. Kualitas pengalaman itu harus dialami langsung dan tidak bisa diceritakan atau diterjemahkan kepada orang lain. Tak seorang pun yang dapat menjelaskan dengan tepat kepada orang lain yang belum pernah mengalami perasaan tertentu, bagaimana sifat atau nilai perasaan tersebut.
Bukan hanya William James, fenomena ini diakui pula oleh Karen Armstrong, seorang pengamat agama-agama dunia, khususnya agama-agama semitik (Abrahamic Religion). Dalam penelitian Armstrong, seseorang yang telah mengalami inisiasi atau ketersingkapan fenomena di balik wujud dunia material tidak akan mampu menuangkannya ke dalam kata-kata. Ketika ia mencoba membentangkan pengalaman itu ke dalam kata-kata, mau tidak mau ia telah mendistorsinya. Huston Smith menegaskan prinsip fundamental tersebut; jangankan secara faktual secara imajinatif pun tidak bisa melukiskan secara persis bagaimana eksistensi wilayah antara (alam spiritual) itu sendiri.
Hal ini membawa konsekuensi lebih jauh: pengalaman mistispun tidak dapat dituangkan ke dalam bentuk tulisan. Dalam sejarah teologi Kristen, fenomena tersebut ditunjukkan secara demonstratif oleh teolog Kristen ternama abad pertengahan Thomas Aquinas. Dikisahkan, ketika Thomas Aquinas telah selesai mendiktekan kalimah terakhir dari karya besarnya, Summa Theologiae, dengan sedih ia menelungkupkan kepala di atas lengannya. Saat juru tulisnya bertanya apa yang terjadi, Aquinas menjawab bahwa segala yang telah ditulisnya tampak tak berharga dibandingkan dengan apa yang telah disaksikannya.
Itulah alasannya mengapa dalam wacana sufistik, kaum sufi kerapkali menuangkan pengalaman-pengalaman spiritualnya ke dalam bentuk puisi, syair, aforisme atau ke dalam bahasa metaforis dan alegoris. Karena ungkapan-ungkapan tersebut, setidaknya dapat mewakili, mendekati atau memudahkan untuk memahami fenomena-fenomena mistis yang mereka alami.
Akan tetapi, ketakterkatakan dan ketakterlukiskannya eksistensi pengalaman ruhaniah secara memadai, bukan berarti realitasnya tidak ada. Hampir tujuh abad silam Ibn Taimiyah mengungkapkan sebuah kaidah filosofis: adamul ilmi laysa ilman bil adami. Maksudnya, sesuatu yang tidak bisa dicerna dan tak terpahami (tidak diketahui hakikatnya) pada tataran rasional dan kalimah-kalimah atau bahasa, bukan berarti realitas tentang sesuatu itu tidak ada. Hanya saja, pengalaman mistik besifat supraindrawi bahkan suprarasional sehingga tak terjangkau oleh kapasitas panca indra dan akal manusia.
Selain itu, karakteritik universal objektivitas basis ontologis pengalaman mistik adalah ketertiban (orderliness) dan keseragaman (uniformity) wacana-wacana yang diungkapkan oleh para mistisiskus dari zaman klasik hingga era modern. Fakta ini diakui oleh William James, R.M. Bucke da W.T. Stace. Pada umumnya, mereka telah mencapai konklusi bahwa karena keteraturan dan keseragaman pengalaman-pengalaman mistik, maka tidak mungkin bisa dibenarkan jika mistisisme diperlakukan sebagai halusinasi dan karenanya bersifat subjektif.
Para ahli ini sepakat bahwa dengan keteraturan dan keseragaman pengalaman mistik, menjadi alasan yang cukup untuk memandang mistisisme bersifat non subjektif dalam pengertian yang penting. Hal ini bisa dianalogikan dengan sebuah pulau yang belum pernah ditemukan, yang telah dilihat oleh sedikit orang, tetapi belum oleh kebanyakan orang. Semua paparan dan informasi yang diberikan oleh sedikit orang yang memiliki informasi ini mempunyai ciri keteraturan dan keseragaman. Sehingga pengalaman itu memiliki standar objektivitasnya sendiri yang valid.
Alasan sederhananya, tidak mungkin orang-orang yang berbeda masanya sepakat berbohong dan menghasilkan kebohongan yang seragam. Dengan cara yang sama, tidak masuk akal bahwa para mistikus, yang sangat dihormati karena integritas moral dan spiritualnya, akan sepakat berbohong dan merekayasa tentang pengalaman mistiknya, padahal jarak temporal dan geografis mereka sangat jauh dan tidak memungkinkan mereka untuk saling mengenal atau apalagi mengadakan kesepakatan apapun di antara mereka, termasuk persekongkolan untuk berbohong.
Sebenarnya dalam kajian psikologi modern (setelah Wiliam James), psikologi humanistik angkatan ketiga oleh salah seorang tokohnya yang sangat terkenal Erich Fromm, pengalaman mistik dianggap sebagai puncak perkembangan rasionalitas dimana segala prasangka dan asumsi yang masih menjebak pemikiran rasional terhapuskan. Meminjam frase Erich Fromm:
“Saya harus memberi catatan bahwa, sangat berlawanan dengan anggapan umum bahwa mistisisme adalah suatu jenis pengalaman keagamaan yang tidak rasional, ia justru mengetengahkan perkembangan tertinggi rasionalitas dalam pemikiran keagamaan. Sebagaimana dinyatakan oleh Albert Schweizer: “Pemikiran rasional yang bebas dari asumsi-asumsi berakhir dalam mistisisme.”
Statemen Erich Fromm di atas menggiring diskursus basis ontologis pengalaman sufistik mencapai puncak objektivitasnya. Secara filosofis, pengalaman mistik dapat dikatakan sebagai pengembaraan transkosmik, dimana seseorang menapaki tingkatan keberadaan (being) yang lebih tinggi melalui kesadaran terdalamnya sehingga membentuk kesadaran yang utuh. Dalam istilah filosofis Plotinus disebut jiwa yang universal atau total (universal or total soul).
Dengan demikian, pengalaman mistik mempunyai dasar ontologis yang riil. Sekalipun pengalaman tersebut bersifat abstrak dan tidak berbentuk materill seperti layaknya dalam dunia fisik, tidak berarti kenyataan itu tidak memiliki landasan objektif. Fenomena mistik yang dialami para filosof dan kaum sufi adalah nyata sebagaimana halnya alam fisik. Konsekuensinya, pengalaman-pengalaman mistik tidak bisa dianggap sebagai ilusi atau delusi, melainkan sebagai salah satu pengalaman sejati manusia, sebagaimana pengalaman lainnya baik indra maupun mental, karena didasarkan pada dunia yang riil. Hanya saja eksistensi pengalaman mistikal terjadi pada level pengalaman yang lebih tinggi (abstrak) di seberang pengalaman indriawi dan rasional.
Zaprulkhan. Dosen di IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung