Oleh: Zaprulkhan
Langit adalah ayahku
Bumi adalah ibuku
Dan bahkan makhluk kecil seperti diriku
Menemukan tempat hangat di antara keduanya.
Maka, apa-apa yang mengisi semesta
Kuanggap tubuhku
Dan apa-apa yang mengarahkan semesta
Kuanggap alamku.
Semua manusia adalah saudaraku, dan
Semua yang ada [di alam] sahabat-sahabatku.
Ungkapan yang ditampilkan Karen Armstrong di halaman awal sebelum pendahuluan ini berasal dari prasasti Ximing era klasik. Prasasti tersebut ingin mewartakan betapa akrabnya kehidupan para leluhur kita dulu dengan alam semesta. Alam semesta tidak dipandang sebagai benda mati yang bisa dengan leluasa dieksploitasi, tapi sebagai kolega yang hidup, bahkan sebagai pelindung sekaligus tempat berpijak manusia sepanjang nafas kehidupannya. Saat itu, alam semesta, seperti manusia, dilihat sebagai sesuatu yang sakral, sesuatu yang kudus yang tidak boleh dieksploitasi dengan sesuka hati.
Tapi kata Karen Armstrong, perspekif sakral atau kudus itu hari ini telah hilang berganti perspektif eksploitatif yang menyebabkan kehidupan bumi tempat kita berpijak menjadi rusak. Memang, iklim di bumi terus-menerus berubah dalam proses yang lambat sepanjang ribuan tahun, namun kini proses tersebut berlangsung semakin cepat. Temperatur global dan tinggi permukaan air laut naik dengan kecepatan mencengangkan dan ini sepenuhnya akibat aktivitas manusia. Kita tahu bahwa membakar bahan bakar fosil melepaskan karbon dioksida ke atmosfer, terperangkap di sana dan menyebabkan naiknya suhu bumi. Jika proses ini tidak dikendalikan, kehidupan manusia akan terancam. Kekurangan air akan membuat kita makin sulit untuk menghasilkan pangan. Sebagian wilayah akan menjadi terlalu panas, sementara kenaikan permukaan air laut akan membuat wilayah lain tidak bisa dihuni. Es kutub dan gletser kini telah mencair dengan cepat. Para ilmuwan telah menetapkan kenaikan suhu 1,5°C sebagai batas “aman” bagi pemanasan global. Jika suhu naik lebih tinggi, kehidupan manusia seperti yang kita ketahui akan menjadi mustahil.
Pada musim panas 2021, krisis lingkungan menunjukkan kegentingan baru. Suhu di Amerika Serikat dan Eropa Selatan telah mencapai tingkat tertinggi sepanjang waktu, mengakibatkan kebakaran hutan parah yang menghancurkan banyak wilayah. Pada waktu yang sama, Jerman dan Belanda mengalami banjir dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya, menimbulkan korban nyawa dan kerusakan luar biasa. Perubahan iklim bukan lagi sebuah kemungkinan yang mengejutkan, melainkan telah menjadi kenyataan menakutkan. Bencana itu hanya dapat dielakkan jika kita mengubah cara hidup kita.
Dalam tilikan Armstrong, krisis ini muncul akibat cara hidup modern kita yang meskipun dianggap sebagai prestasi hebat, mengandung banyak keburukan yang berakibat fatal. Kita mulai menyadari bahwa cara hidup kita sekarang, dengan segala kelebihannya, tidak hanya menghambat perkembangan manusia, tetapi juga mengancam kelangsungan hidup spesies kita. Bukan hanya harus mengubah gaya hidup, kita juga harus mengubah seluruh sistem kepercayaan kita. Kita telah merusak alam, memperlakukannya sebagai sumber daya semata, karena selama lebih dari 500 tahun terakhir kita telah mengembangkan pandangan-dunia yang sangat berbeda dari para leluhur pendahulu kita.
Pandangan eksplotatif ini tidak muncul bagitu saja, tapi memiliki akar teori historis dan basis filosofis pada awal abad modern. Diawali dengan filsuf tersohor Inggris, Francis Bacon yang mendeklarasikan pengetahuan adalah kekuasaan. Bacon mengimbau manusia untuk meninggalkan kebiasaan lama kaum pagan menghormati alam. Mereka harus mengendalikan dan menundukkan Bumi seperti yang telah diperintahkan Tuhan. Alam bukan lagi sebuah teofani, penyingkapan Sang Ilahi; alam adalah komoditas yang harus dieksploitasi. Jika Bacon menginspirasi energi dan arah sains baru, filsuf Prancis, Rene Descartes (1596-1650), menegakkan fondasi teoritisnya.
Ujaran masyhur Descartes “Cogito ergo sum” (“Aku berpikir, maka aku ada”), menurutnya, merupakan satu-satunya titik kepastian, yang tidak dapat disediakan oleh dunia di luar dirinya. Bagi Descartes, pikiran modern telah secara sengaja menarik diri dari alam; pikiran semestinya merupakan sebuah dunia yang tersendiri, otonom tak terpengaruh oleh dan terpisah dari segala sesuatu yang lain. Dan karena semesta material itu tidak bernyawa, tidak bertuhan, dan lembam, alam tidak bisa mengatakan apa pun kepada kita tentang Tuhan, sang realitas tertinggi. Dalam tulisan-tulisan Descartes, tak ditemukan sedikit pun ekspresi ketakjuban yang menjadi kekhasan dalam pandangan-pandangan tradisional tentang yang sakral. Bahkan, menurut Descartes, tugas sains adalah menyingkirkan penghormatan yang seperti itu.
Pada klimaksnya, etos rasional Descartes didukung oleh fisikawan dan filsuf Inggris, Isaac Newton (1642-1727). Newton juga berpandangan bahwa alam tidak lagi memiliki inti suci. Pada wajah alam semesta tidak ada lagi transendensi karena Tuhan ini tak lain adalah versi manusia ilmuwan yang lebih besar dan lebih berdaya, “Agen sukarela” yang “amat terampil dalam Mekanika dan Geomteri.
Menurut Armstrong banyak orang yang masih tidak memahami implikasi sepenuhnya dari konsepsi sekuler tentang alam. Mereka percaya bahwa sains Barat dapat membantu dalam mengendalikan banyak urusan secara efektif, tetapi mereka tidak selalu menyadari apa artinya ini bagi pemahaman mereka tentang yang sakral atau bahkan bagi masa depan Planet Bumi. Meski kita perlu mengurangi emisi karbon dan memperhatikan peringatan-peringatan dari para ilmuwan, kita perlu belajar untuk tidak hanya bertindak secara berbeda, tetapi juga berpikir secara berbeda tentang alam.
Kita perlu memulihkan penghormatan pada alam yang telah ditumbuhkan umat manusia selama ribuan tahun; jika kita gagal melakukan itu, keprihatinan kita pada soal lingkungan hanya bersifat dangkal. Kita harus secara sadar mengembangkan sisa-sisa hubungan primordial kita dengan alam dalam upaya gigih kita untuk menyelamatkan planet ini. Ini penting tidak hanya untuk kesejahteraan kita, tetapi juga untuk kemanusiaan kita.
Dengan alasan inilah, Amstrong menghadirkan kembali kebajikan dan kearifan tradisi keagamaan dan filosofis zaman aksial, seperti Konfusianisme dan Daoisme, Hiduisme dan Buddhisme, serta monoteisme Yahudi, Kristen dan Islam untuk kita jadikan perspektif dan panduan dalam melihat dan memperlakukan alam semesta dengan bijaksana. Dalam buku ini, Armstrong menayangkan kembali kearifan-kearifan klasik seperti wacana tetang mitos, alam yang sakral, pengurbanan, kenosis, rasa syukur, kaidah emas, ahimsa dan lingkaran-lingkaran konsentris.
Izinkan saya menyajikan sebagian kecil kearifan-kearifan tersebut ke hadapan Anda.
* * * * *
Mitos dan Logos
Menurut Armstrong, dalam sebagian besar sejarah manusia, ada dua cara berpikir, berbicara, dan memperoleh pengetahuan tentang dunia: mythos dan logos. Keduanya penting untuk memahami realitas: keduanya bukanlah hal yang bertentangan satu sama lain, melainkan merupakan modus-modus yang saling melengkapi untuk sampai pada kebenaran, dan masing-masing memiliki wilayah kompetensi khusus. Mitos berkenaan dengan apa yang dianggap tak berwaktu. Mitos melihat ke belakang, kembali ke asal mula kehidupan dan kebudayaan, serta melihat ke dalam, ke tingkatan paling dasar dari pengalaman manusia. Mitos berkenaan dengan makna, bukan hal-hal praktis. Manusia adalah makhluk pencari makna. Jika hidup kita hampa dari makna, kita mudah jatuh ke dalam keputusasaan, dan mitoslah yang mengantarkan manusia kepada kebenaran-kebenaran terdalam, memberi arti kepada hidup mereka yang fana dan rentan dengan mengarahkan perhatian mereka kepada apa yang abadi dan universal.
Mitos tidak bisa disampaikan melalui bukti rasional; wawasannya bersifat intuitif, mirip seni dan puisi. Lebih jauh lagi, mitos menjadi realitas hanya jika diwujudkan dalam ritual dan upacara, memungkinkan orang untuk memahami arus kehidupan yang lebih dalam. Tanpa amalan spiritual, kisah mitos tak akan masuk akal, bagaikan not-not musik yang tidak bisa dipahami oleh kebanyakan kita sampai ia ditafsirkan secara instrumental.
Kita hari ini lebih fasih dengan logos, yang sangat berbeda dari pemikiran mitos. Tidak seperti mitos, logos sesuai dengan fakta objektif. Logos sepenuhnya pragmatis: ini adalah cara berpikir rasional yang memungkinkan manusia berfungsi. Logos merupakan basis dari masyarakat modern kita. Kita menggunakan kekuatan logika ketika hendak melakukan sesuatu, untuk mencapai sesuatu, atau untuk membujuk orang lain menyetujui opini tertentu. Jika mitos melihat kembali ke asal-usul, logos terus maju ke depan, mengembangkan wawasan baru dan menciptakan sesuatu yang segar. Logos juga, terlepas dari baik dan buruknya, membantu kita untuk meraih kendali yang lebih besar atas lingkungan alami.
Tetapi, logos, seperti halnya mitos, memiliki keterbatasan. Logos tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang nilai tertinggi kehidupan manusia. Logos tidak bisa melipur lara kita. Logos bisa menyingkapkan fakta-fakta baru menakjubkan tentang semesta fisik dan membuat sesuatu bekerja secara lebih efisien, tetapi tidak bisa menjelaskan makna kehidupan.
Armstrong meminta kita harus membebaskan diri dari kekeliruan bahwa mitos tidak benar atau merupakan cara berpikir yang inferior. Kita mungkin tidak dapat kembali sepenuhnya pada persepsi pramodern, tetapi kita bisa memperoleh pemahaman yang lebih halus tentang mitos dari para leluhur karena mereka masih memiliki sesuatu yang berharga untuk diajarkan kepada kita.
“Kita membutuhkan mitos-mitos yang baik”, tulis Armstrong, “untuk membantu kita berjalan seiring dengan sesama manusia, dan bukan hanya dengan mereka yang sekelompok etnis dengan kita, yang sebangsa atau seideologi saja. Kita membutuhkan mitos-mitos yang baik untuk membantu kita menyadari pentingnya welas asih, yang menantang dan mentransendensi sikap egosentris kita yang terlalu mementingkan diri sendiri dan kesukuan. Dan, terutama sekali, kita membutuhkan mitos-mitos yang baik untuk membantu kita menghormati Bumi sebagai yang sakral sekali lagi, karena hanya jika ada revolusi spiritual yang menantang genius teknologis kita yang destruktif, barulah kita akan mampu menyelamatkan planet kita.”
* * * * *
Alam yang Sakral dan Kudus
Cendekiawan Konfusianisme, Fang Yizhi (1611-1671), menyimpulkan bahwa Barat “terperinci dalam penyelidikan material”, tetapi kekurangan dalam “memahami kekuatan fundamental (qi)”. Yang dimaksud Fang dengan qi merujuk kepada esensi dari wujud—sebuah kekuatan yang dianggap orang Cina sebagai “tak dapat diketahui”, yang “tersembunyi, dan merupakan lapisan pemersatu misteri-misteri”. Menurut Fang, ketika berhadapan dengan realitas tertinggi, manusia harus diam karena ia terletak di luar jangkauan konsep-konsep verbal.
Qi adalah “hal-hal” mendasar atau esensi dari alam semesta dan tidak sepenuhnya bersifat spiritual ataupun material; oleh karena itu, ia berada di luar kategori kita yang biasa. la tak terucapkan; sesuatu yang kita tidak bisa definisikan atau deskripsikan. Qi bukanlah Tuhan atau wujud apa pun; ia adalah energi yang meliputi seluruh kehidupan, secara harmonis mempertautkan tumbuhan, hewan, manusia, dan yang Ilahi serta memampukan mereka untuk mencapai pemenuhan potensi masing-masing.
Jika para Yesuit abad ke-17 melihat jurang antara manusia dan dunia ilahiah, di mana Tuhan dengan tenang memperhatikan umat manusia dari langit kesepuluh, orang Cina melihat kesinambungan. Secara bersama-sama, langit, bumi dan kemanusiaan membentuk suatu kontinum—tiga serangkai yang organik, holistik, dan dinamis. Cendekiawan Konfusianisme, Tu Weiming (l.1940), mendeskripsikan hubungan integral ini sebagai “antropokosmik”: tidak ada keterpisahan antara umat manusia dan kosmos, karena keduanya berbagi realitas yang sama.
Orang bijak konfusianisme, manusia yang disempurnakan, terintegrasi sepenuhnya dengan insan, Ilahi, dan alam. Jika di Barat moderm kita cenderung memisahkan yang sakral dari manusia, yang religius dari yang sekuler, dia memandang dirinya bukan sebagai makhluk, melainkan sebagai ko-kreator alam semesta. Karenanya, dia tidak akan menumbuhkan kehidupan yang “spiritual” murni, merenungkan Tuhan yang bersemayam di langit; sebaliknya, dia harus menaruh perhatian pada sesama, tanggap terhadap kebutuhan masyarakat, hidup selaras dengan alam sekitar dan dengan kosmos, yang keseluruhannya membentuk suatu kontinum dengan umat manusia.
Kita melihat keindahan dalam wanwu, yakni segala hal yang berada di alam semesta, dan ketika kita mencoba mendeskripsikan pohon, gunung, atau sungai, kita bergerak dari penampilan fisiknya ke vitalitas spiritual di jantungnya, dan akhirnya ke qi, yang meliputi segala sesuatu. Karena itu, kita harus memperlakukan seluruh wanwu, “hal-hal” yang ada di alam, sebagaimana kita sendiri ingin diperlakukan, karena kita berbagi daya hidup yang sama.
Begitu juga dengan Laozi pendiri Daoisme abad ke-4 SM, menghidupkan kembali pengertian kuno tentang Dao sebagai prinsip alam semesta yang suci dan pemikiran Hinduisme klasik tentang Rta sebagai sebuah penggerak sakral yang menyelubungi seluruh alam semesta. Adalah mustahil untuk mendeskripsikan atau mendefinisikan Rta, tetapi ia dapat dialami sebagai satu kesatuan sublim, yang mengalir dari dirinya sendiri lalu meluas, mencakup kosmos, manusia, dan dewa-dewa itu sendiri. Maka, setiap burung, hewan, atau bunga mengandung keilahian yang telah menciptakannya, dan segala sesuatu di dunia ini memiliki inti yang sakral.
Barat modern telah secara cermat mengembangkan pandangan dunia analitis, yang memisahkan materi dari psikologis dan spiritual, tetapi suku Arya memiliki visi yang lebih holistik dan secara estetik sadar akan kehadiran Rta di alam. llahi, karena itu, tidak terbatas pada surga di “lubuk dan langit yang jauh”; ia memenuhi keseluruhan realitas. Tak ada sesuatu yang murni material, melainkan segalanya termasuk manusia—disusupi potensi suci dan dipersatukan secara artistik.
Pertanyaannya: Bagaimana agar kita dapat menemukan kembali visi tentang alam yang sakral ini? Menurut Armstrong dengan mengubah persepsi kita tentang “Tuhan”. Alih-alih melihat “Dia” terbatas pada langit yang jauh, kita perlu berpaling pada pemahaman tentang Ilahi yang lebih tua ini dan masih menyebar luas sebagai kehadiran batiniah yang tak terungkapkan tetapi dinamis yang mengalir melalui segala sesuatu.
Jika kita membiarkannya memasuki kehidupan kita, alam dapat memengaruhi pikiran kita dan memberi pengaruh yang membentuk diri kita. Kita dapat memulainya dengan mengambil langkah-langkah sederhana, barangkali dengan duduk di sebuah taman selama sepuluh menit sehari, tanpa headphone atau telepon genggam, hanya melihat dan mendengarkan suara alam. Alih-alih mengambil foto lingkungan sekitar kita, kita memandang burung-burung, bunga-bunga, awan, dan pepohonan, dan membiarkan semuanya menjelaskan kesan di dalam pikiran kita.
Saat duduk mengamati lingkungan alam, kita harus membuat diri kita sadar tentang bagaimana burung-burung dan dedaunan, awan dan angin, selaras sehingga kita bukannya melihat sejumlah objek yang berbeda, melainkan satu keseluruhan dimana setiap hal memiliki tempatnya yang sempurna. Jika kita mengembangkan pikiran yang “mengawasi dan menerima” dan menemukan fluiditas lingkungan alam, kita mungkin dapat memulihkan beberapa visi leluhur kita tentang alam yang sakral.
* * * * *
Pengurbanan dan Kenosis
Pengurbanan terjadi pada hampir seluruh tradisi-tradisi agama besar sejak era klasik hingga hari ini. Pengorbanan berada di jantung tradisi-tradisi agama memiliki tujuan transformasi spiritual bagi para penganutnya. Kata sacrifice (“pengurbanan”) berasal dari istilah bahasa Latin sacrificium, yang berarti “menjadikan kudus”, dan berbagi leluhur Latin yang jauh lebih tua dengan kata “sakral”. “Pengurbanan”, dengan demikian, tidak sekadar mengacu pada penyembelihan hewan kurban; makna harfiahnya adalah untuk menyucikan, untuk menjadikannya kudus. Penekanannya pada konsekrasi (penyakralan) atau divinisasi (pengilahian) atas suatu objek, hewan, atau orang.
Menurut Armstrong, kita harus melakukan reformasi sikap kita terhadap alam dan itu akan mencakup pengurbanan. Kita tidak bisa lagi menumpang pesawat terbang, menyetir mobil, atau membakar batubara dengan ketidakpedulian kita yang terdahulu. Jika kita menghendaki sebuah dunia yang layak, kita harus membangkitkan dalam diri kita rasa hormat yang baru terhadap alam, persis seperti sang pengurban belajar untuk menganggap domba yang biasa-biasa saja sebagai sesuatu yang suci. Kita tidak bisa menyelamatkan planet kita jika kita tidak mengalami sebuah perubahan radikal dalam pikiran dan hati, yang pastilah berat. Transformasi ini tidak bisa terjadi dalam semalam. Kita juga harus belajar untuk melihat semua yang ada di alam dengan rasa hormat, đan ini akan membutuhkan upaya berkelanjutan, sebuah perubahan autentik di dalam hati, disiplin, dan komitmen.
Selanjutya dalam ritual pengurbanan juga merupakan ekspresi klasik dari apa yang disebut orang Yunani sebagai kenosis, “pengosongan” diri. Sejak periode yang sangat awal, kenosis dipandang penting bukan hanya bagi kehidupan spiritual manusia, melainkan juga bagi ketertiban seluruh dunia. Akan tetapi, meninggalkan ego kita bukan merupakan jalan yang populer di dunia modern. Sebaliknya, kita tampak lebih menghargai penegasan diri sebagai tanda kekuatan, keberanian, dan inteligensi di kalangan politikus, pebisnis, dan bahkan para pemimpin agama. Kaum environmentalis juga bersandar pada sikap garang, dan bahkan kekerasan, dalam kegigihan mereka untuk menyelamatkan kita dari bencana alam. Memang benar bahwa kita menghargai kenosis ketika kita melihatnya pada sosok populer tertentu, seperti Mahatma Gandhi, Martin Luther King, dan Nelson Mandela.
Kenosis, jika dipahami secara tepat, membebaskan kita dari kekangan destruktif dan egotisme buta. Kenosis membukakan pemahaman baru tentang diri kita dan persepsi segar tentang dunia di sekitar kita. Salah satu ekspresi pelepasan ego pada tradisi klasik, terdapat dalam ajaran Dao yang diajarkan oleh Laozi. Orang bijak dalam idealisme Dao, selalu menyelaraskan dirinya dengan alam melalui kenosis yang berkelanjutan.
Sementara akal bisa membuat kita sombong dan tidak fleksibel, dan nafsu bisa membuat kita agresif dan egois, idealisme Daois adalah bahwa kita meninggalkan ego kita dan meniru kenosis yang memanifestasikan dirinya di alam. Kita kemudian menemukan bahwa kenosis memberdayakan karena ia menyelaraskan kita dengan apa yang sebenarnya terjadi, alih-alih menempatkan diri kita berselisih dengannya. Tidak memiliki ego tidak berarti bahwa orang bijak tidak memiliki emosi; dia mengalami kemarahan dan kesedihan seperti yang lain, tetapi ada sesuatu yang tak dapat diganggu pada intinya yang memberinya kekuatan misterius.
Dalam pembacaan Armstrong, agama Islam juga mengajarkan kenosis. Pada abad ke-7 M, Nabi Muhammad Saw bukan hanya melakukan reformasi sosial, tapi juga suatu transformasi batin. Reformasi sosial tanpa transformasi batin hanya akan membuahkan perubahan dangkal. Bersama Sang Nabi, umat Islam harus menumbuhkan sikap kenotik, menyayangi kaum fakir miskin, membebaskan budak, dan berulang-ulang melakukan amal kebaikan kecil setiap hari, membersihkan hati dari keegoisan dan kesombongan.
Proses Kenosis ini, menurut Armstrong, bisa dilihat dalam salah satu ibdahanya yaitu dalam sholat. Yang paling penting, mereka harus berkumpul untuk melakukan shalat pada waktu-waktu yang telah dítentukan pada siang hari. Ini memberi jeda pada urusan sehari-hari mereka dan membantu umat Islam untuk mengingat bahwa Allah adalah prioritas utama mereka. Shalat ini mencakup gerakan bersujud, sebuah praktik yang sulit dilakukan oleh para bangsawan Makkah yang sombong, yang diminta untuk merendahkan diri ke tanah seperti budak.
Zapurlkhan. Dosen IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung