“Hal yang paling merata di dunia adalah akal sehat, sebab setiap orang merasa cukup memilikinya, sehingga orang-orang yang paling sulit dipuaskan dalam hal-hal yang lain pun sama sekali tidak menginginkan lebih dari pada yang ia miliki” (Rene Descartes)
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang memiliki akal sehat, dan dengan pendasaran yang dimiliki ini, ia mampu untuk bertanya. Ia mempertanyakan dirinya, keberadaannya, dan dunianya. Pertanyaan yang bersifat mendasar ini merupakan pertanyaan filosofis yang langsung bersentuhan dengan makna dan nilai hidup manusia.
“Siapa manusia itu?” merupakan pertanyaan yang paling mendasar dan paling utama dalam sejarah manusia. Segala pertanyaan yang menyangkut hal-hal lain, seperti tentang bumi, bulan, langit, udara, air dan atom, sel serta tentang Tuhan hanya relevan jika dikaitkan dengan manusia.
Bagi manusia, mengetahui siapa dirinya, dari mana asal usulnya, apa tujuan hidupnya, bagaimana ia menghayati hidup secara konsisten, memang merupakan masalah yang berbeda-beda. Akan tetapi semua pertanyaan ini merupakan satu kesatuan, yakni berkaitan dengan pemaknaan hidup serta nilai-nilai keberadaannya (Sardin Sihotang, 2009).
Selain paling mendasar, pertanyaan “Siapa manusia itu?” juga merupakan pertanyaan yang paling klasik. Sebelum Sokrates (469-399 SM) muncul di Yunani, pertanyaan itu sudah ada. Pada zaman itu sudah banyak pemikir berusaha untuk menjawab pertanyaan tersebut. Hanya saja sumber jawabannya tidak langsung dicari pada hakikat diri manusia itu sendiri, melainkan pada sesuatu yang berhubungan dengan dirinya. Dengan kata lain, pengertian tentang manusia dikaitkan dengan sesuatu yang ada di luar dirinya.
Dalam masyarakat Yunani, alam dipandang sangat dekat dengan manusia, sehingga untuk menjelaskan hidup manusia, alam dijadikan titik pijak. Dengan demikian pendekatan kosmologis digunakan untuk menjelaskan “Siapa manusia itu?”.
Para filsuf pra-Sokratik berpendapat bahwa manusia menyatakan dirinya ketika ia bertindak sesuai dengan aturan-aturan alam. Di sini harmoni dengan alam merupakan poin penting yang memberi makna bagi hidup manusia. Karena alam pikiran Yunani mula-mula mempersoalkan diri pada dimensi kosmologis sebagai pencarian yang esensial terhadap realitas.
Pada abad skolastik (pertengahan), pertanyaan mendasar sebagaimana diungkapkan di atas juga menjadi perbincangan bagi sejumlah pemikir Kristiani. Namun pendekatan mereka tidak lagi berpusat pada alam, tetapi berpusat pada agama. Para pemikir Kristiani mengaitkan nilai hidup manusia dengan hidup di akhirat. Ajaran-ajaran mereka berfokus pada hubungan manusia dengan Tuhan. Manusia adalah makhluk yang tidak berdaya di hadapan Tuhan. Ia tidak bisa selamat tanpa menjalin hubungan baik dengan Tuhan (Bertrand Russel, 2007).
Begitu juga dalam tradisi pemikiran filsafat Islam klasik, hakikat manusia selalu dipahami dalam hubungannya dengan Tuhan, hampir dapat dipastikan bahwa tanpa kehadiran Tuhan persoalan tentang manusia bahkan sama sekali sukar dipahami. Ibn Tufail misalnya, mengatakan bahwa manusia adalah ruh sekaligus materi itu sendiri, dua hal ini bersifat independen dan antara ruh dan materi memiliki substansi sendiri-sendiri, ini sangat mirip dengan pendapat Aristoteles tentang substansi benda-benda.
Lebih lanjut, Ibn Tufail mengungkapkan bahwa meski manusia terdiri antara ruh dan materi, dua hal ini tidak bisa berdiri secara sendiri-sendiri, dua hal ini harus disatukan agak ia bisa disebut sebagai manusia, dengan ini pengaruh Tuhan sangat lekat dalam proses penciptaan manusia. Antara ruh manusia dengan Tuhan bagaikan matahari dengan alam, semacam ada relasi cahaya dalam dua hal tersebut. Sebagaimana matahari selalu memancarkan cahayanya ke bumi, begitulah Tuhan selalu berkreasi dalam melakukan penciptaan. Pendapat Ibn Tufail tentang keberasalan ruh manusia, serupa dengan pemikiran Neoplatonisme.
Sebagaimana penjelasan di atas, ada berbagai cara mengawali penyelidikan tentang manusia. Kita dapat menentukan bagaimana cara orang memakai istilah ‘manusia’, atau dapat juga dengan melihat contoh-contoh tentang manusia dan berusaha menentukan apakah yang mereka miliki bersama. Di dalam masing-masing pendekatan tersebut terdapat kesukaran-kesukaran. Kita mungkin menaruh perhatian dengan mengatakan, sering orang menggunakan istilah tersebut dengan cara yang menyesatkan.
Pemberian makna terhadap pesoalan manusia bukanlah merupakan suatu persoalan yang mudah dan dapat dipastikan tidak akan pernah tuntas. Manusia adalah makhluk misteri yang terus menerus dipahami dengan berbagai macam cara, hampir semua tradisi dan peradaban mana pun di seluruh belahan dunia, pasti memiliki rumusan tentang manusia. Tetapi demikian, dengan secara terus menerus memahami manusia, maka itu merupakan sebuah langkah bagi terungkapnya sebuah kebenaran baru tentang hakikat manusia itu sendiri.
Pada zaman modern, perspektif antroposentris dipakai untuk membicarakan manusia. Sumber untuk menjawab pertanyaan Siapa manusia itu?” dicari dalam diri manusia itu sendiri. Dengan kata lain, nilai-nilai yang melekat pada manusia merupakan jawaban atas pertanyaan mendasar tersebut.
Filsuf-filsuf modern menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang tertinggi. Ia menjadi ukuran bagi dirinya sendiri serta ukuran dari segala hal, karena itu tidak ada hal yang lebih tinggi dan lebih luas dari manusia itu sendiri. Manusia bernilai karena ia manusia. Dengan demikian, tidak ada hal yang lebih esensial kecuali segala hal harus dilihat dari sudut pandang manusia.
Munculnya pertanyaan secara terus menerus tentang “Siapa manusia itu?” telah menandakan bahwa manusia adalah sebuah problem. Semakin manusia mendalami pengalamannya, semakin manusia menyadari bahwa dirinya sebagai problem. Manusia adalah subyek sekaligus obyek dalam memahami dirinya sendiri. Seorang filsuf eksistensialis menyatakan bahwa manusia adalah sebuah persoalan yang tidak akan pernah selesai (Gabriel Marcel, 2005).
Jika kemudian dikaitkan dengan situasi modern, mencari jawaban atas pertanyaan “Siapa manusia itu?” merupakan sesuatu yang mendesak, mengingat problem kemanusiaan yang selalu berkembang dan bersifat kompleks. Perkembangan dan kompleksitas masalah humanisme tidak terlepas dari hakikat manusia sebagai makhluk yang dinamis, misteri dan paradoksal.
Manusia disebut dinamis karena ia berkembang terus menerus dengan kebebasannya. Ia disebut misteri karena memang ia tidak pernah bisa dipahami definitif. Ia bersifat paradoksal, karena ketika ia semakin didalami, pengetahuan tentangnya semakin dangkal. Dengan kata lain semakin banyak kita mengupas hakikat manusia, semakin sedikit yang kita tahu tentangnya. Karena itu manusia adalah makhluk yang paling sulit dimengerti.
Terakhir, dalam kaitannya dengan manusia, Pramoedya Ananta Toer pernah mengungkapkan secara puitis dalam bukunya: “Tak ada yang lebih sulit dapat dipahami dari pada manusia, jangan anggap remeh si manusia, yang katanya begitu sederhana, biar penglihatanmu setajam mata elang, pikiranmu setajam pisau cukur, perasaanmu lebih peka dari pada dewa, pendengaranmu dapat menangkap musik dan ratap tangis kehidupan, pengetahuanmu tentang manusia tak bakal bisa kemput”.