Tak Adil, Kuda Beranak Sapi
cnnindonesia.com

Tak Adil, Kuda Beranak Sapi

Oleh: Nur Khalik Ridwan

Di masa lalu, pada masa Nabi Musa, Abu Nuaim al-Ashfihani menceritakan dari sumber yang bersambung kepada Ikrimah. Ada tiga hakim di sebuah kota yang dikenal adil di tengah masyarakat, lalu di antara mereka, satu hakim meninggal dunia terlebih dahulu. Satu hakim kemudian menggantikan posisi dalam memutus perkara, sehingga tetap ada tiga hakim di kota itu.

Hakim yang telah meninggal itu, memang sangat dikenal adil dalam memutuskan perkara, dan sebaik-baik ketika memutuskan, sehingga tidak ada yang mengingkarinya, karena keadilannya. Setelah kematian hakim yang adil, Allah mendatangkan makhluk kepada dua hakim yang tersisa melalui wasilah anak sapi. Makhluk yang dikirim itu menunggang kuda, yang melewati sebuah kampung. Di kampung itu ada sapi yang belum lama beranak dan tinggal di pinggiran kota, jauh dari tetangganya.

Makhluk penunggang kuda itu kemudian melewati di depan rumah pemilik sapi. Makhluk penunggang kuda memanggil anak sapi dengan kode tertentu, dan anak sapi mengikuti di belakang kuda. Jadilah anak sapi mengikuti kuda yang sedang berjalan dinaiki. Pemelihara sapi melihatnya dengan seksama, sambil tidak bisa berbicara apa-apa, dan geleng-geleng. Kemudian pemilik sapi itu mengikuti anak sapi yang berjalan mengikuti kuda. Lama-lama jalannya jauh. Pemilik sapi mulai berontak hatinya: “Anak sapiku bisa hilang kalau begini.”

Pemilik sapi kemudian mempercepat langkah dan menghentikan penunggang kuda: “Wahai hamba Allah yang baik, anak sapi itu milikku, dia mengikuti kudamu terus.” Penunggang kuda itu berkata: “Anak sapi ini adalah milikku, buktinya dia mengikuti kudaku terus menerus.” Pemilik kuda berdebat lama dengan penunggang kuda, hingga dia merasa kalah untuk meneruskan perkataannya. Pemilik sapi tidak pandai berdebat.

Pemilik sapi teringat hakim yang adil di kotanya, dia kemudian berkata:

“Kalau begitu harus ada hakim di antara kita.” Penunggang kuda berkata: “Ok setuju saja, siap.” Kedua orang itu kemudian membawa masalahnya kepada hakim di kotanya itu. Penunggang kuda telah mempersiapkan diri, di tangannya ada beberapa permata dan emas.

Di depan hakim, pemilik sapi berkata: “Pak hakim, sesungguhnya orang ini melewati kampungku, dia tengah mengendarai kudanya itu, lalu di depan rumahku dia memanggil anak sapiku, lantas anak sapiku mengikuti kudanya berjalan di belakangnya, namun dia menolak untuk mengembalikannya kepadaku. Ketika aku minta ank sapiku, dia menolak, katanya sapi itu miliknya, padahal anak sapi itu milikku, tidak lama sapiku baru melahirkan anak sapi pak hakim.”

Dua hakim yang tersisa, memperhatikan kuda dan anak sapi dengan sekasama. Dilihatnya anak sapi itu memang bersama kuda dan sangat akrab. Penunggang kuda itu, kemudian mendekati satu hakim, dan dengan sigap memberikan satu permata-emas kepadanya tanpa diketahui pemilik sapi. Penunggang kuda, berakata pelan: “Putuskanlah anak sapi ini milikku.” Pemilik kuda berkata lagi: “Coba lihat pak hakim, dia sangat akrab dengan kudaku.” Pemilik sapi kemudian membantahnya: “Putuskanlah bahwa anak sapi itu adalah anak sapiku.” Pak hakim berkata: “Bagaimana aku memetuskan hal seperti ini?” Penunggang kuda berkata: “Coba perintahkan kuda dan anak sapi untuk keluar dan berjalan, bagaimana akhirnya akan terlihat pak hakim.”

Hakim memerintahkan agar kuda dan anak sapi dikeluarkan ke pelataran dan diminta berjalan. Ternyata memang anak api itu ikut terus bersama kuda itu, dan sangat akrab. Hakim memutuskan, kalau begitu memang betul, anak sapi ini milik penunggang kuda.

Pemilik sapi protes: “Tidak bisa begitu pak hakim.” Penunggang kuda mendatangi hakim kedua, dan melakukan hal yang sama seperti pada hakim pertama. Hakim kedua memutuskan hal yang sama dengan hakim pertama. Kemudian hakim ketiga didatangi pemilik kuda dan pemilik sapi. Ketika pemilik kuda akan melakukan hal yang sama sebagaimana kepada hakim kesatu dan kedua, yaitu memberikan permata-emas, hakim ketiga bergeser.

Hakim ketiga adalah seorang laki-laki, dan ia berkata: “Aku tidak mau memutuskan kasus ini, aku sedang haid, hari ini tidak bisa.” Penunggang kuda dan pemilik sapi beringsut dan melihat dengan cermat apa yang akan terjadi. Penunggang kuda segera mendahului: “Subhanallah, bagaimana Anda laki-laki kok bisa haid, apa jadinya dunia ini pak hakim?”

Hakim ketiga menimpali: “Subhanallah, apakah ada kuda beranak sapi.” Semua terdiam. Akhirnya hakim ketiga memutuskan bahwa sapi itu bukan milik penunggang kuda. Dalam hal ini adil untuk diterima bahwa kuda tidaklah beranak sapi. Dalam hidup, banyak kasus seperti ini, dimana kuda justru menjadi beranak sapi. [Nur Khalik Ridwan, diolah dari Hilyatul Auliyaa’ wa Thabaqatul Ashfiyaa’).

Nur Khalik Ridwan. Cendekiawan Muslim Indonesia

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *