Kita barangkali cukup gembira merasakan kemajuan “media elektronik” yang begitu pesat dan telah memudahkan segala kebutuhan kita di hadapan informasi, dan ilmu pengetahuan menjadi murah meriah untuk diakses, dinikmati, dan memberikan semacam kunci jawaban atas segala peristiwa penting yang sedang terjadi tanpa melihat secara langsung fakta-fakta yang sedang terjadi jauh di suatu tempat atau di belahan dunia lain.
Media elektronik memberikan arti penting tentang betapa akses terhadap seluruh infomasi menjadi lebih instan, cepat dan tidak membutuhkan waktu yang begitu lama. Apa pentingnya kertas hari ini? Ketika seluruh fungsi dan kebutuhan tentangnya, sudah digantikan secara lebih memadai oleh media elektronik. Bukankah kita sedang menyaksikan kematian kertas dalam suasana berkabung dengan penuh kegembiraan ini? Suasana berkabung yang amat lain dan begitu berbeda dari peristiwa kematian seseorang secara fisik.
Diam-diam, kita telah meninggalkan kertas di belakang kita. Media elektronik adalah sebentuk peralihan fungsi yang sempurna atas kertas yang begitu lemah dan rapuh, sebuah benda material yang mudah hilang ditelan bumi, hangus dimakan api, terkikis oleh zaman, dan ruang dan waktu menghancurkannya secara bertubi-tubi. Kematian kertas adalah perayaan akan kemajuan, akan peradaban masa depan yang lebih mudah dan cepat.
Masalahnya nasib kertas ternyata tidaklah semuram itu, begitu banyak aktivitas manusia saat ini yang masih begitu mudah dijumpai dalam aksesnya terhadap kertas. Sebut saja kertas toilet, yang masih eksis dan memberikan arti penting tentang eksistensi toilet di samping air sebagai cara-cara kuno dalam disiplin pembersihan kondradi manusia. Tidak hanya itu, kertas tissue ternyata juga memiliki segudang fungsi yang tak kalang penting dengan fungsi kertas sebagai medium buku di masa lalu.
Para kapital pabrik kertas masih dapat bernafas lega, mereka dalam banyak hal tidak dapat dibodohi oleh arus zaman yang sekedar memandang “media elektronik” sebagai masalah kecil yang begitu mudah dipecahkan. Mereka menundukkan arus perubahan dan kemajuan zaman dengan mencari alternatif lain terhadap fungsi kertas. Kenyataannya, identitas manusia saat ini banyak terbelah di hadapan kertas dan media elektronik.
Industri kertas tampaknya tidak akan pernah mati, betapapun hebatnya teknologi informasi mengambil alih fungsi kertas di hadapan teks-teks. Kertas bukanlah satu-satunya medium yang hanya berfungsi memberi wadah bagi keberadaan teks. Karena ada begitu banyak kebutuhan material manusia yang berkaitan dengan kertas. Kematian kertas adalah mimpi utopis bagi media elektronik betapapun keberadaannya sudah tergantikan atas desakan kemajuan.
Namun demikian, ada beberapa hal penting yang perlu dicermati. Misalnya, hampir semua fungsi kertas terhadap teks telah digantikan oleh media digital. Itu artinya teks tidak lagi menjadi lebih sakral di banding sebelumnya. Ada satu anggapakan bahwa semakin kita dimudahkan oleh teknologi, semakin kita dimanjakan dalam hidup. Perilaku-perilaku kita menjadi jauh lebih berbeda dan rasa malas semakin menghantui ruang imajinasi.
Sekarang kita bisa melihat, kualitas membaca seseorang pasti lebih berkualitas ketika berhadapan dengan buku ketimbang e-book yang telah didigitalisasi. Orang cenderung malas membaca teks digital (lebih sering membaca secara tidak tuntas) dan lebih menjadikannya sebagai second opinion dalam mencari data-data kualifikatif, khususnya ketika berhadapan dengan pengetahuan.
Kita sebenarnya belum bisa pergi seutuhnya dari fungsi teks buku, yang barangkali sudah banyak kita tinggalkan. Fenomena atas kebangkrutan para penerbit buku (khususnya penerbit-penerbit minor/indi) tentang disfungsi buku yang dianggap sudah ketinggalaan zaman dengan medium baru berupa digital, ternyata ini bukan gejala alamiah, tetapi justru kehadiran “media elektronik” seakan mempertegas penyakit ketidakdewasaan kita dalam menyikapi pengetahuan.
Ada banyak sekali tren-tren baru ketika media elektronik ini mulai membanjiri kehidupan kita. Media massa yang mulai muncul sejak tahun 1920-an sebagai Pers yang mengfungsikan media cetak sebagai akses berita untuk kepentingan publik, hari ini telah digantingkan hampir sepenuhnya oleh media digital. Kebutuhan masyarakat “zaman now” terhadap akses informasi semakin mempertegas keberadaan media elektronik dan pada akhirnya media cetak juga mengalami kebangkrutan yang sama seperti banyak penerbit.
Orang semakin menjadi anti-pati terhadap media cetak, terhadap kertas yang tidak hanya mahal harga jualnya, tetapi juga setelah dibaca ia lalu tak lebih seperti sampah yang dapat mengotori atau memenuhi ruang, ia sama sekali tidak praktis dan tentu saja para generasi milenial mulai mempertanyakan logika berfikir atau “akal sehat” media cetak tentang apakah ia masih relevan untuk kita hari ini, bukankah media digital sudah segala-galanya? Murah dan tak perlu dibuang sia-sia.
Jika sudut pandang ini dipelihata secara meyakinkan, barangkali dua generasi yang akan datang melihat media cetak tak lebih dari mitos-mitos, sebuah kekeliruan dan kemajuan yang salah kaprah. Kertas benar-benar menjadi riwayat tragis bagi media komunikasi dan informasi pada generasi mendatang. Sudah tidak ada lagi cerita keagungan “jurnalis ideal” yang kerjanya bak seperti nabi, yakni sama-sama membawa pesan kebenaran.
Bukankah media elektronik sudah memutus mata rantai kode etik jurnalisme yang begitu kaku? Tikakkah kita menyadari betapa media informasi berbasis elektronik (bahkan media sosial) sudah semakin memperluas cakrawala atas nama “apapun boleh” dan “siapapun bisa menjadi jurnalis”, teks-teks berbasis kertas sudah begitu menjadi momok bagi generasi milenial dalam menentukan arah bagi kehidupan mereka.
Adakah sejakala kertas? Sebuah kesudahan, sesuatu yang telah ditinggal pergi dengan menyisakan teks-teks abstrak. Bukankah media digital tak lain adalah perayaan-perayaan akan kematian kertas? Sebuah kerapuhan masa lalu yang begitu mudah dilupakan, seperti anak yang baru lahir kemudian ditinggal kedua orang tuanya, dielu-elukan tapi menyudahinya dengan berkata hidup untuk dirinya sendiri.
Sebegitu tragiskah nasib kertas dihadapan teks-teks? adakah sesuatu yang tersisa? Bukankah budaya popular yang banyak berperan dalam membentuk citra “media elektronik” justru tampak begitu banal? Remeh-temeh, norak, angkuh, dan kehilangan substansi dihadapan sakralitas kertas dan teks-teks yang mensucikannya. Inikah satu kemajuan yang sedang kita hadapi?
Senjalaka kertas, jika memang bisa disebut demikian, adalah riwayat terakhir bagi penanda akan kekurangan kita. Sebuah era di mana kertas sudah kehilangan momentum naratifnya yang begitu menyejarah, agung, dan otoritatif. Teks telah dapat mudah diproduksi tanpa mempertimbangkan kebenaran-kebeneran. Bukankah perfikir tentang Tuhan tidak selalu berhasrat akan kebeneran? Narasi-narasi kecil telah menggantikan utopia masa lalu tentang arti kebeneran yang dianggap agung, kekeliruan-kekeliruan tidaklah selalu menjadi kesalahan yang harus diratapi.
Kertas bak modernisme yang telah lewat, meninggalkan kita dengan seluruh kesalahan yang dibebankan kepadanya, sebuah instrumen yang tak lagi memiliki arti penting di hadapan realitas. Apakah lalu masalah menjadi selesai, lalu di mana kita dapat meletakkan hakikat-hakikat yang melekat di dalam kertas, kekuatan-kekuatan historis yang diciptakannya, apakah banalitas menjadi suatu prioritas bagi tatanan akal sehat kita? Kertas masih menyisakan sesuatu yang terdalam bagi diri kita, bagi masa depan kita, dan bagi komunikasi yang esensial di atas pondasi kebenaran.