Disadari atau tidak, fenomena hoaks sebetulnya merupakan malapetaka yang dihasilkan dari sejumlah kebohongan dalam politik. Politik sendiri memang tidak identik dengan kebohongan, apalagi kejahatan, tetapi subjek-subjek yang berpolitik sangat mungkin berbohong, atau malah suatu keniscayaan dalam berpolitik.
Dusta itu satu level dengan berbohong, atau katakanlah sinonim. Tetapi hoaks, jauh melampaui kebohongan politisi. Bila subjek yang berpolitik identik dengan berbohong, maka dapat dipastikan akar dari tragedi hoaks itu tak lain berasal dari politik itu sendiri. Dalam soal politik, hoaks bisa dilihat sebagai taktis dan strategi perlawanan untuk menjatuhkan kekuasaan atau sekedar melawan musuh politik dengan cara-cara yang kotor.
Ada suatu peristilahan yang cukup terkenal di Indonesia, begini “seorang politisi boleh-boleh saja bohong, tetapi ia tidak boleh salah. Sebaliknya, ilmuwan boleh salah, tetapi tidak boleh bohong”. Ungkapan ini entah berasal dari mana, tetapi jika dipahami ulang, pembuat pernyataan ini barangkali lupa atau memang tidak tahu bahwa bohong itu, dalam berbagai bentuknya, adalah sebentuk kesalahan.
Di lain hal, dan ini yang umumnya sangat menyesatkan, seorang politisi seakan-akan tidak membutuhkan basis keilmuan. Padahal, senyatanya siapapun dan dalam tindakan apapun pastilah membutuhkan ilmu. Apalagi terkait dengan tugas dan wewenang seorang politisi dalam mengambil sebuah kebijakan.
Tanpa ilmu, seluruh kebijakan politik akan tampak tak berguna atau malah menyebabkan kerusakan yang mengakibatkan chaos. Karenanya, seorang politisi, betapapun tak harus seorang ilmuwan, harus selalu memiliki kedalaman ilmu pengetahuan. Bila ilmu dan moralitas adalah satu paket yang tidak bisa dipisahkan, maka sejumlah “politik dusta” dapat dipastikan berasal dari para politisi yang tak berpengetahuan. Bila hoaks levelnya lebih tinggi dari bohong , maka pembuat hoaks dan yang menyebarkannya pastilah orang-orang yang anti-kebaikan.
Menjadikan basis ilmu dan moralitas dalam konteks politik itu sangat diperlukan, agar politisi dapat menjalankan tugasnya secara baik dan benar, terlebih ia akan selalu hati-hati dengan berpikir mendalam dan komprehensif. Sehingga seorang politisi dapat terhindar dari berbuat kesalahan yang disengaja dan juga tidak perlu melakukan kebohongan.
Logika berbohong itu sangat sederhana, namun sangat menjerumuskan. Katakanlah begini, suatu kebohongan pasti membutuhkan kebohongan lain agar tidak diketahui oleh orang lain yang menjadi objek kebohongan. Karenanya, berbohong akan menyebabkan terjadinya sejumlah kebohongan lainnya yang satu paket dengan kesalahan. Jika dikumpulkan, akan terakumulasi betapa banyaknya kebohongan itu.
Politisi kelas teri yang pandai sekali berbohong dengan janji-janji manisnya, di mana bibirnya berlindung di balik gincu kepalsuan, umumnya sangat profesional. Mereka sangat mudah membangun narasi kenyataan padahal hanya khayalan dan fantasi belaka. Dengan kata lain, kebohongan dapat berubah menjadi sejenis kebenaran.
Oleh karenanya, suatu kebohongan yang dilakukan oleh politisi, pejabat, penguasa, atau penyelenggara negara dengan kekuasaannya yang besar, sebetulnya mengandung potensi daya kerusakan yang mencemar. Sebabnya, kebohongan memungkinkan adanya suatu perbedaan atau pernyataan yang bertentangan, suatu distorsi dan paradoks. Logika simpelnya, jika ada dua pernyataan tentang satu masalah, maka kemungkinannya hanya dua, semuanya salah atau hanya salah satu saja yang benar.
Seorang pemimpin yang berbohong kepada rakyatnya, pasti menganggap bahwa rakyat umumnya bodoh atau mudah dibodohi, sehingga persepsi itu akan menjadi mesin pabrik dalam menciptakan kebohongan-kebohongan baru. Hoaks sendiri bisa muncul dari anggapan ini atau malah tidak berkaitan sama sekali, tetapi dampaknya selalu lebih besar.
Rakyat yang lemah dan tak berdaya, dianggap tidak akan mampu menilai atau mengkonfirmasi kebohongan sebagai sebuah kebohongan. Mereka bukan hanya dianggap bernalar rendahan sehingga tak mampu memahami realitas, lebih dari itu, mereka senyatanya memang tidak mampu menjangkau jenis kekuasaan yang berbohong itu.
Para politisi pembohong pun sangat enteng menyikapinya, mereka hanya perlu menutupi kebohongannya dengan kebohongan yang lain dan tidak perlu untuk mengakui kesalahan yang telah dilakukan bila pada akhirnya mereka dijerat oleh penegak hukum. Ini sudah menjadi fakta kebenaran di tengah-tengah perpolitikan kita yang begitu banyak kedustaan.
Jika faktanya rakyat memang bodoh, seharusnya para pemimpin mendidik dan mencerdaskan, termasuk misalnya melakukan pendidikan politik yang optimal, bukan malah membodohi rakyat. Kebohongan itu sesungguhnya dapat menyebabkan ketidakberanian melakukan upaya pencerdasan. Apalagi jika rakyat sudah cerdas, para politisi dusta akan mudah ketahuan dan rakyat menjadi sadar bahwa dirinya adalah objek dari sejumlah kebohongan itu.
Kesadaran akan dunia politik, akan membuat rakyat anti-pati pada politisi, atau pemimpin, mereka sangat mungkin melakukan perlawanan atau demonstrasi maksimal. Dalam konteks pemilu misalnya, rakyat tidak akan memiliki lagi para politisi pembohong, sebab dari berbagai sudut, politisi dusta ini sebenarnya sumber dari segala sumber malapetaka.
Pada prinsinya, tugas seorang pemimpin politik adalah mendidik, agar semua warga negara dapat bahu membahu dalam memberikan kontribusi bagi kemajuan negaranya. Di negara yang besar seperti Indonesia, kerjasama dan sinergi sangat dibutuhkan dalam melakukan akselerasi kemajuan. Kalau kata Presiden Jokowi, “agar tidak tertinggal dengan negara-negara lain”, jadi antara kemajuan dan akselerasi harus berjalan secara beriringan.
Dalam berbagai cara dan memang tidak ada pilihan lain, politik dusta harus benar-benar dihentikan. Kita tak boleh hanya membebankan tanggungjawab besar ini kepada pihak yang berwenang saja, tetapi rakyat juga harus bergerak dan mengambil peran. Apalagi, kehadiran virus hoaks yang amat mematikan itu jelas-jelas memakan korban yang begitu tak terhingga, maka semuanya harus dihadang secara bersama-sama.
Baik politik dusta atau sejumlah hoaks di manapun keberadaannya, kesemuanya hanya bertujuan untuk membohongi rakyat belaka, tak lebih dari itu. Para pembohong itu sejatinya hanya ingin menghancurkan sendi-sendi moralitas bangsa dan memiskinkan rakyat melalui kekuasaannya yang korup. Jika politik dusta tak dibabat habis, akan menjadi suatu kekhawatiran bahwa masa Indonesia akan gelap, atau paling tidak menapaki jalan kemajuan yang begitu terlambat.