Oleh: Hasanudin Abdurakhman
Peneliti BRIN mengungkapkan bahwa 8 dari 10 profesor di Indonesia pernah menerbitkan makalah di jurnal predator. Penelitian dilakukan terhadap terhadap 158 profesor dari 18 PTN, PT Kementerian/Lembaga, dan PT Agama. Ada 158 profesor yang dijadikan sampel, dengan jumlah makalah yang diteliti sebanyak 4742 artikel.
Sebaran tertingginya berasal dari PT yang berada di Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Sedangkan bidang studi terbanyak adalah sosial humaniora, namun bidang teknik dan sains juga cukup tinggi.
Apa itu jurnal predator? Jurnal ilmiah umumnya diterbitkan oleh 2 jenis lembaga, yaitu asosiasi/komunitas ilmiah dan perusahaan. Komunitas ilmiah contohnya American Physical Society yang menerbitkan Physical Review, jurnal fisika yang bergengsi. Negara-negara maju punya asosiasi yang menerbitkan jurnal dengan reputasi bagus untuk berbagai bidang.
Ada pula perusahaan-perusahaan penerbit yang menerbitkan jurnal seperti Wiley, Elsevier dan lain-lain. Jurnal paling bergengsi Nature diterbitkan oleh Springer. Berbeda dengan asosiasi, perusahaan ini berorientasi mendapat keuntungan. Tapi mereka tetap menjungjung tinggi kredibilitas.
Jurnal ilmiah dikelola oleh terutama dewan editor. Para editor ini biasanya ilmuwan terkemuka di bidang masing-masing. Dulu saya mempublikasikan makalah di Synthetic Metals terbitan Elsevier. Editornya antara lain Hideki Shirakawa dan Alan McDermaid yang mendapat Hadiah Nobel Kimia tahun 2000.
Makalah yang masuk diseleksi oleh dewan editor, kemudian dikirimkan kepada para referee untuk ditelaah dengan teliti. Pada jurnal bergengsi seperti Physical Review, para referee akan menolak kalau dianggap tidak ada kebaruan dalam makalah. Di samping itu mereka juga memprioritaskan topik yang sedang marak diteliti.
Pada jurnal yang lebih rendah pamornya seleksinya semakin longgar. Nah, kemudian ada jurnal predator yang boleh dibilang tidak melakukan proses seleksi. Siapa pun yang kirim naskah akan dimuat, asal mau membayar.
Penerbitan makalah di jurnal predator di Indonesia menjadi marak ketika pemerintah menetapkan ukuran kinerja dosen/peneliti melalui paper yang mereka terbitkan di jurnal ilmiah atau dipresentasikan di konferensi internasional. Para dosen/peneliti yang tidak sanggup menerbitkan makalah di jurnal yang sahih karena riset mereka abal-abal, mencari jurnal predator.
Saya cukup sering terperangah melihat kolega saya pada dosen/peneliti yang menerbitkan makalah, misalnya di Bangladesh Journal of Physics. Kalau kirim ke jurnal Korea atau Jepang, saya maklum. Tapi kenapa ke Bangladesh? Ini masih lumayan sebenarnya. Bahlil kemarin menerbitkan makalah di jurnal tentang suku Kurdi, sedangkan makalahnya tentang kebijakan hilirisasi nikel.
Pernah pula saya iseng baca makalah yang dipamerkan kolega. Isinya apa? Kok tidak ada unsur risetnya? Cuma semacam artikel populer berisi narasi cerita saja. Entah kenapa itu bisa disebut makalah ilmiah.
Selain menerbitkan makalah di jurnal predator, para dosen/peneliti juga suka main konferensi-konferensian. Mereka memberinya nama konferensi internasional, biar bisa dipakai untuk mendapatkan poin untuk naik pangkat.
Konferensi internasional biasanya dihadiri oleh ilmuwan dari banyak negara. Bidang yang dibahas pun spesifik. Misalnya, yang pernah saya hadiri adalah International Conference on Synthetic Metals, yang membahas bahan-bahan sintetik yang bersifat konduktor atau semikonduktor. Spesifik banget, kan?
Saya dulu juga anggota Internatinal Association of High Pressure Science and Technology (AIRAPT) yang secara rutin menyelenggarakan konferensi. Yang paling bergengsi untuk bidang saya adalah International Conference on The Physics of Semiconductor Physics (ICPC). Saking besarnya konferensi ini memiliki beberapa konferensi satelit yang lebih kecil. Saya hanya pernah berkesempatan presentasi di konferensi satelit, dan nebeng nama sebagai penulis kedia di konferensi utama.
Nah, dosen/peneliti Indonesia suka membuat konferensi dengan mengundang satu dua ekor peneliti dari luar negeri lalu menyebutnya konferensi internasional. Pesertanya dari dalam negeri, ditambah segelintir peneliti dari negara tetangga. Karena sulit mencari peserta, topik konferensi dibuat seluas mungkin, jadi tidak spesifik. Jadilah ada konferensi bernama “Internatinal Conference on Science and Technology”. Yang dibahas apa, coba?
Begitulah Indonesia. Prinsipnya, kalau sulit mencapai level bermutu, carilah level yang sesuai mutu kita.
Hasanudin Abdurakhman. Cendekiawan Muslim Indonesia