Akhlak Dagang Nabi yang Jadi Dongeng
sahabat.pegadaian.co.id

Akhlak Dagang Nabi yang Jadi Dongeng

Oleh: Hasanudin Abdurakhman

Waktu kecil saya belajar di madrasah. Saya diajari tentang riwayat Nabi Muhammad. Di masa muda beliau berdagang kambing bersama paman beliau, Abu Thalib. Guru saya menceritakan soal akhlak mulia beliau. “Kalau ada kambing yang cacat, dia sisihkan, dan dia beri tahu kepada pembeli. Tidak beliau sembunyikan,” kata guru saya.

Di masa kecil itu saya sudah merasakan cerita tentang akhlak Nabi itu seperti dongeng. Perilaku dalam cerita itu aneh. Para pedagang di sekitar saya, yang biasa saya saksikan, adalah pedagang yang menutupi cacat barang dan mengurangi timbangan.

Sudah bukan cerita aneh kalau kita beli telur, sebagian ada yang busuk. Kita harus meneliti sendiri kalau mau mendapat mutu yang bagus. Penjual daging sering mengurangi timbangan. Mereka juga menyelipkan daging jelek ke daging yang kita beli. Meski kita sudah memilih yang bagus, ada saja cara mereka untuk memasukkan daging jelek.

Dengan pengalaman itu saya kaget ketika menemukan pedagang yang jujur itu. Bertemunya di Jepang. Di pasar saya membeli bawang bombai. Saya asal ambil saja, bayar, lalu saya masukkan ke keranjang. Tiba-tiba ibu-ibu (obachan) yang berjualan mengambil bawang dari keranjang saya. “Chotto, warui bubun ga arunde,” katanya. “Ini ada bagian yang jeleknya.” Ia tukar dengan barang lain.

Saya sadar karena saya semberono, dapat bawang jelek pun saya tidak akan kecewa. Tapi dia tidak mau. Dia tukar barang yang jelek tadi dengan yang bagus.

Berdasar pengalaman saya, semua pedagang di Jepang begitu akhlaknya.

Kenapa kok akhlak Nabi yang diceritakan guru saya tadi tidak jadi perilaku? Saya tidak bisa komentar panjang. Biarlah para ahli agama yang menjawabnya. Tapi saya melihat ada banyak ketimpangan antara konsep dan praktik.

– Konsepnya, kebersihan sebagian dari iman, tapi buang sampah sembarangan, WC-nya jorok, termasuk WC di masjid dan mushalla.

– Konsepnya “tepatilah janjimu”, tapi kalau janjian molor terus.

– Konsepnya “ada malaikan pencatat amal” tapi korupsinya kenceng.

Yang cocok konsep dengan praktik sepertinya cuma soal poligami saja.

Hasanudin Abdurakhman. Cendekiawan Muslim Indonesia

 

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *