Mengapa Kita Membutuhkan Feminisme Islam?
polemics-magazine.com

Mengapa Kita Membutuhkan Feminisme Islam?

Oleh: Omaima Abou-Bakr

Gagasan memperjuangkan hak-hak perempuan melalui seruan kepada nilai-nilai dasar Islam terwujud dalam seruan sejumlah penulis dan aktivis perempuan di kawasan Arab sejak akhir abad ke-19. A’isha Taymur (1840-1902), Malak Hifni Nasif (1886-1918), A’isha Abd al-Rahman (1912-1998), Hoda Sha’rawi (1879-1947), dan Nazira Zayn al-Din (1908-1976) – terlepas dari konteks, latar belakang sosial, dan sifat aktivisme mereka yang beragam – semuanya menyatakan tuntutan mereka untuk hak-hak perempuan dalam keluarga, dalam pendidikan, pekerjaan, dan partisipasi politik dalam kerangka dunia Islam.

Meskipun demikian, hasil awal yang mereka lakukan mungkin tidak memiliki cukup teori dan metodologi analisis sistematis untuk melakukan penafsiran ulang yang mendalam terhadap sumber-sumber Islam, khususnya untuk tujuan menciptakan paradigma baru pengetahuan tentang perempuan dalam Islam.

Dalam dua puluh tahun terakhir, gagasan tentang feminisme Islam, baik sebagai praktik sikap kritis maupun sikap ontologis, telah berkembang menjadi penerapan kesadaran feminis dalam memahami kesenjangan antara pesan asli Islam dan penerjemahan nilai-nilainya ke dalam kesempatan dan kemitraan yang setara di dunia, serta mempertimbangkan martabat manusia yang setara bagi perempuan dan laki-laki Muslim.

Lebih khusus lagi, gagasan tentang bentuk feminisme ‘asli’ atau ‘organik’ berarti menggunakan alat analisis feminis untuk menyaring ilmu-ilmu Islam—dari perspektif perempuan Muslim yang berkomitmen.

Pintu ijtihad (penalaran independen) harus dibuka untuk memudahkan mereka menghasilkan pengetahuan Islam untuk menghidupkan kembali dan menekankan keadilan gender, kesetaraan, dan kemitraan—sebuah pengetahuan alternatif bagi proses eksklusi dan rasa superioritas laki-laki yang kita temukan dalam sebagian besar wacana tradisional.

Terlepas dari efisiensi ilmiah para ulama klasik (cendekiawan agama laki-laki) dan upaya mereka dalam mematuhi syariat (Jalan yang diwahyukan Tuhan) dalam menyimpulkan hukum dan putusan, mereka adalah produk dari era dan budaya mereka sendiri, yang secara alami tidak menyadari atau tertarik untuk menetapkan status yang sama bagi pria dan wanita.

Oleh karena itu, sudah saatnya untuk memgembangkan pemikiran Islam dalam mengonseptualisasikan dan mengartikulasikan keadilan dan kesetaraan ini dalam status, kemampuan, dan peluang, serta mengaktifkannya dalam hukum dan budaya.

Dorongan utama di balik penelitian feminis Islam saat ini adalah jalinan perspektif perempuan dan posisi keimanan yang menganut doktrin Islam, menuju pengaktifan prinsip-prinsip ‘adil’ dan ‘wajar’ serta produksi pengetahuan yang peka gender dalam kerangka acuan Islam.

Selain mengkritik diskriminasi patriarki, tujuan utamanya adalah reformasi dan rekonstruksi. Proses tersebut memerlukan “pengambilan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang abadi, yang diabadikan dalam teks” untuk mengekstrak makna yang spesifik dan relevan, yang dengannya membangun “sistem reformasi hukum yang dapat diimplementasikan saat ini untuk status penuh perempuan sebagai agen moral di semua tingkat masyarakat manusia.”

Dengan kata lain, “keberhasilan jangka panjang proyek ini terletak pada kenyataan bahwa semuanya terjadi dalam Islam,” dan “alasan untuk perubahan berasal dari sumber Islam yang paling terpercaya dan dapat diandalkan – Al-Qur’an.”

Posisi sentral Al-Qur’an dan mandatnya sebagai agen moral bagi seluruh manusia mewakili dua pilar penting yang menjadi dasar proyek interpretatif feminis Islam. Khaled Abou El Fadl menjelaskan hubungan interaktif antara “dorongan moral keseluruhan pesan Al-Qur’an” dan “kejujuran moral pembaca.” Ia memberikan contoh salah satu keharusan moral umum yang dirujuk Al-Qur’an dalam QS. 4: 135, yaitu keadilan:

“Gagasan bahwa umat Islam harus menegakkan keadilan bahkan terhadap kepentingan pribadi mereka sendiri didasarkan pada gagasan bahwa manusia mampu mencapai tingkat keagungan moral yang tinggi. Sebagai agen, umat Islam diharapkan mencapai tingkat kesadaran moral, yang akan mereka bawa ke dalam hubungan mereka dengan Tuhan. Mengenai setiap kewajiban etis, teks Al-Qur’an mengasumsikan bahwa pembaca akan membawa rasa moral bawaan yang sudah ada sebelumnya ke dalam teks tersebut. Oleh karena itu, teks tersebut akan memperkaya pembaca secara moral, tetapi hanya jika pembaca akan memperkaya teks tersebut secara moral”.

Sebagaimana prinsip hermeneutika ini dapat dengan mudah diadopsi oleh para pendukung penelitian feminis Islam yang mengupayakan kesetaraan dan keadilan gender, tren terkini lainnya dalam studi dan penerapan hukum Islam, yang dilakukan oleh para sarjana progresif kontemporer, adalah peninjauan kembali konsep tradisional maqasid (tujuan atau maksud di balik putusan Islam). Seluruh buku Jasser Auda merupakan studi komprehensif tentang pembentukan teori hukum Islam ini dalam sejarah, tetapi juga tentang potensi pengembangan dan konseptualisasi ulangnya untuk memainkan peran dalam “kontemporarisasi” hukum Islam secara umum:

“Maqasid adalah…sekelompok tujuan ilahi dan konsep moral yang menjadi dasar hukum Islam, seperti keadilan, martabat manusia, kehendak bebas, kemurahan hati, kemudahan, dan kerja sama sosial. Dengan demikian, hal-hal tersebut mewakili hubungan antara hukum Islam dan gagasan tentang hak asasi manusia, pembangunan, dan etika saat ini”.

Ditambahkan pula pada hal di atas adalah keadilan dan kesetaraan gender. Memang, penerapan konsepsi maqasid al-shari’ah yang baru dan kontemporer ini pada isu gender dan hermeneutika feminis merupakan subjek artikel Adis Duderija tentang “hermeneutika Al-Qur’an non-patriarki” untuk tujuan mereformasi hukum keluarga Muslim.

Sumber: Diterjemahkan oleh Rohmatul Izad dari Teks berbahasa Inggris dalam pengantar buku berjudul Feminist and Islamic Perspectives yang diterbitkan oleh the Women and Memory Forum tahun 2013.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *