Sugesti: Inti Psikologi Massa
detik.com

Sugesti: Inti Psikologi Massa

Oleh: M S Arifin

Dalam tinjauan mistisisme, manusia memiliki empat onderdil: (i) jasad, (ii) ruh, (iii) sukma, dan (iv) angan-angan atau pikiran. Empat onderdil ini berpasangan satu sama lain. Jasad berpasangan dengan ruh, di mana jika ruh keluar dari jasad maka manusia mati. Sementara itu, sukma berpasangan dengan angan-angan. Ke mana angan-angan pergi (artinya memikirkan sesuatu), maka sukma akan selalu mengikuti. Karena angan-angan dan sukma tak berjasad, maka kita tidak bisa menyamakan perginya angan-angan dengan perginya jasad. Kita hanya bisa melihat fenomena yang timbul dari aktivitas tersebut, salah satunya adalah fenomena mimpi.

Fenomena mimpi, dalam tinjauan mistis, adalah fenomena keluarnya sukma dari tubuh, disertai dengan angan-angan. Gambaran-gambaran yang muncul dari mimpi sebenarnya adalah citra yang berasal dari pikiran. Dalam keadaan sedang terjaga, pikiran menangkap berbagai fenomena melalui panca indra. Tangkapan indrawi itu menimbulkan citra yang tersimpan dalam angan-angan (memori).

Psikoanalisis (setidaknya menurut Sigmund Freud) menganggap mimpi adalah manifestasi dari keinginan yang belum terwujud atau suatu jalur menuju alam tak sadar (unconciousness). Mistisisme memiliki penjelasan yang cukup detil mengenai mimpi. Oleh mistisisme, mimpi dibagi menjadi tiga: (i) bunga tidur, (ii) mimpi yang menipu (adhghotsu ahlam/ar-ru’ya al-kadzibah), dan (iii) mimpi yang benar (ar-ru’ya as-shadiqah).

Mimpi yang pertama adalah gambaran yang muncul dari aktivitas yang dilakukan manusia di saat terjaga, terbawa dalam mimpi dengan surah yang mirip dengan aktivitas tersebut. Mimpi yang kedua adalah mimpi di mana sukma bersinggungan dengan alam gaib (jin) sehingga menghasilkan berbagai gambaran yang merupakan akumulasi citra tak sadar dari alam pikiran. Mimpi yang ketiga adalah mimpi di mana sukma naik ke langit dan bertemu dengan malaikat pemberi mimpi (malaikat ar-ru’ya). Menurut mistisisme, hanya mimpi ketigalah yang dapat ditafsirkan.

Pada keadaan terjaga, sukma dan angan-angan selalu bersama. Sukma berfungsi untuk menjaga kesadaran manusia sedangkan angan-angan bertugas untuk mengarahkan kesadaran tersebut. Kendati sukma menjaga kesadaran manusia, namun sukma senantiasa mengikuti kemana angan-angan pergi.

Angan-angan yang perginya tak terarah akan disertai dengan sukma, dan dengan demikian kesadaran manusia akan menurun. Kita biasa menyebut fenomena ini dengan ‘melamun’. Jadi, pikiran adalah inti dari kesadaran manusia karena ia akan senantiasa diikuti oleh sukma.

Namun, pikiran tidaklah terisolasi dari dunia. Pikiran kita bukanlah tabula rasa. Ia mengitari benda (Kant) dan diitari oleh benda (Husserl). Jadilah pikiran itu mencipta dan diciptakan. Pikiran dipengaruhi oleh cara pandang, cara pandang dibentuk oleh paradigma. Dari mana datangnya cara pandang dan paradigma? Dari lingkungan, baik natural maupun sosial. Ini adalah tinjauan filsafat dan epistemologi.

Tinjauan ini ternyata tak akan lengkap tanpa menyebutkan psikologi, karena asal muasal lahirnya psikologi di Yunani berangkat dari teori epistemologi, baik dari Platon maupun Aristoteles. Pikiran manusia terikat erat dengan jiwanya (baca: sukma).

Kadang, pikiran kita dipengaruhi oleh endapan-endapan psikis dalam jiwa tersebut. Contohnya pengalaman traumatis yang terjadi di masa lampau menentukan sudut pandang dalam mengambil keputusan yang melibatkan pikiran. Tanpa sadar, sebenarnya bukanlah pikiran kita yang mengontrol jiwa, namun jiwalah yang mengontrol pikiran.

Jiwa kita punya kecendrungan menerima apa yang ia sukai dan menolak apa yang ia benci. Kadang pikiran tak dapat ambil bagian dalam pertimbangan apa yang baik bagi kita dan apa yang buruk. Sehingga diri kita hanya dikontrol oleh kesukaan dan ketidaksukaan. Alhasil, kemanfaatan dan kemudaratan hilang dari asas dalam bertindak.

Jika ditarik ke dalam bidang sosial, permasalahan di atas akan tampak lebih rumit. Setiap hari banyak sekali informasi yang datang kepada kita. Informasi-informasi itu kadang datangnya cuma selintas namun bertubi-tubi.

Kita mungkin tak begitu tertarik dengan suatu isu, namun karena tontonan kita menyuguhkan isu itu terus menerus, maka secara otomatis pikiran kita akan meresponsnya. Respons itu nyatanya tidaklah jernih. Pikiran kita tidak berusaha mencerna isu tersebut dengan mencari fakta-fakta yang ada. Belum sempat pikiran menyaring fakta, pengalamanlah yang akhirnya berbicara. Sayangnya pengalaman kita cenderung lebih menonjol yang negatif daripada yang positif. Dalam bahasa Hazrat Inayath Khan di bukunya ‘Hakikat Pikiran’:

“(…) pengalaman kita membuat kita senantiasa pesimistis. Semua kedurjanaan dan kejahatan yang kita jumpai dalam kehidupan selalu meninggalkan kesan pada diri kita, dan suatu saat membuat kita merasa bahwa segala sesuatu yang ada adalah kejahatan.”

Kita akan dengan entengnya menganggap pemimpin kita tidak becus karena kehidupan ekonomi kita sedang kocar kacir. Penilaian kita terhadap pemimpin kita akhirnya tidak berdasarkan fakta kinerjanya, melainkan ditautkan dengan pengalaman pribadi yang, lagi-lagi, berisi keburukan.

Menghadapi isu nasab, misal lain, kita tak benar-benar paham seluk beluk isu itu. Karena tak paham seharusnya pikiran yang sehat tidak bisa memutuskan (judgment). Namun pikiran kita disetir oleh pengalaman buruk, misalnya, suatu ketika pernah dikecewakan oleh salah satu habaib. Akhirnya yang terjadi adalah genelarisir. Itulah kerapuhan kita sebagai manusia. Pertama, kita rapuh karena pikiran seringkali kalah oleh perasaan (pengalaman). Kedua, kita rapuh karena kita lebih suka menggeneralisir perkara yang tak bisa dipukul rata.

Akhirnya, yang terjadi adalah kita mudah diombangambingkan oleh opini segelintir orang, tanpa sempat mengklarifikasi opini tersebut. Menurut tinjauan psikologi massa, kasus ini disebut sebagai ‘sugesti’.

Sugesti memainkan peranan inti dalam psikologi massa. Kenapa dalam sebagian kasus, fasisme itu diterima oleh sebagian besar kelompok meskipun ia memiliki ide yang merusak dan mengkhianati kemanusiaan?

Dalam ‘The Mass Psychology of Facism’, Wilhelm Reich menjawab bahwa suatu ide, sejahat apa pun ide itu, akan mudah diterima jika dilumrahkan begitu saja. Arti ‘dilumrahkan’ di sini merujuk kepada pembiasaan diri untuk menyaksikan aksi-aksi fasisme sehingga lambat laun akan dimaklumi. Pemakluman inilah hasil dari sugesti, suatu penanaman ide dari luar ke dalam pikiran manusia. Kasus fasisme hanya sedikit contoh. Teori tentangnya juga bisa diaplikasikan kepada kasus-kasus lain dalam keseharian kita.

Sebelum melangkah ke psikologi massa, Islam telah menanamkan rambu-rambu soal psikologi pribadi. Penanaman itu dimulai dari ‘dugaan’. Segala macam keputusan, baik negasi maupun afirmasi, dimulai dari baik dan tidaknya dugaan. Saking pentingnya dugaan, Tuhan sampai-sampai berkata bahwa Dia menuruti apa yang diduga hamba-Nya.

Kenapa Islam mengatur hal hingga sedetil ini? Jawabannya adalah karena sugesti berasal dari dugaan. Jika dugaannya baik, sugesti akan mengarahkan pikiran kita kepada hal yang positif. Tapi jika tidak, maka sugesti yang hadir adalah keburukan. Baik dan buruknya sugesti akhirnya menentukan sikap kita, baik sikap yang berupa keputusan teoritis maupun praktis.

Dalam masyarakat kita, penanaman sugesti buruk telah terjadi begitu rupa. Tak usah jauh-jauh dulu. Masalah lelembut saja kita tersugesti oleh lingkungan. Kenapa kita harus takut kepada lelembut, seperti pocong, kuntilakan, genderuwo dan seterusnya? Karena lingkungan kita mensugestikan itu. Bahkan film-film kita juga menggoreng sugesti tersebut begitu rupa. Alhasil, kita akan takut jika malam hari ingin keluar ke tempat yang dianggap angker. Sebetulnya, yang kita takutkan bukanlah alam realitas, melainkan alam pikir kita sendiri. Kitalah membuat takut diri kita sendiri.

Lantas, di tengah zaman yang serba menyuguhkan opini ini, apa yang harus kita lakukan untuk menyehatkan jiwa dan pikiran kita dari pengaruh sugesti buruk? Jawabannya, bagi saya, adalah dua hal: meditasi dan konsentrasi. Meditasi telah dilakukan oleh tokoh-tokoh hebat sepanjang sejarah yang tujuannya hampir sama: menampik pengaruh buruk dari luar dan dari dalam.

Seperti yang sudah disinggung di atas, kadang diri kita disetir oleh perasaan suka dan tidak suka. Untuk mengatasi itu, meditasi dibutuhkan agar pikiran kita menjadi jernih. Meditasi sendiri memiliki berbagai macam bentuk yang saya ringkas menjadi dua: meditasi praktis, dan meditasi ilmiah. Meditasi praktis biasa ditempuh dengan cara menyepi ke tempat-tempat tertentu, menghindari keramaian, untuk mengkonsentrasikan pikiran.

Kegiatan apa yang dilakukan dalam meditasi ini? Banyak. Sidharta Gautama bersila di bawah pohon Bodhi untuk menanggalkan keinginan duniawi. Nabi Muhammad menyepi ke Gua Hira untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Para sufi uzlah dan berpuasa untuk menekan hawa nafsu. Berbagai cara dapat dilakukan dalam laku meditasi ini yang pada intinya adalah untuk menjernihkan pikiran dari pengaruh internal (nafsu buruk) dan eksternal (opini destruktif).

Di zaman ini, kita amat sulit untuk mempraktikkan meditasi model di atas. Maka, solusinya adalah meditasi ilmiah. Bagaimana caranya? Rene Descartes dalam ‘Meditations of Firts Philosophy’ dan ‘Discourse on Method’ telah mebuat outline-outline yang bisa kita aplikasikan:

(i) tidak menerima sesuatu sebagai benar sebelum kita mengetahui bahwa ia benar,

(ii) membagi objek yang akan diuji ke dalam beberapa bagian sesuai dengan kemampuan,

(iii) menjalankan pikiran dengan teratur, memulai dari yang paling sederhana untuk kemudian melangkah ke yang rumit, dan

(iv) memeriksa dan mengulang-ulang secara utuh, memastikan bahwa tidak ada satu pun yang terlewatkan.

Dengan menjalankan metode di atas, di masa sekarang ini, kita tidak mudah diombang-ambingkan oleh opini dan sugesti. Kita juga tidak mudah gegabah dalam menghukumi dan memutuskan sesuatu. Biasanya orang yang telah dibekali dengan metode seperti ini akan cenderung diam jika dirasa tidak dibutuhkan untuk bicara. Ia akan lebih sering mendengarkan, mencari fakta, mencerna, menimbang, dan kemudian mengambil keputusan sendiri setelah ia merasa telah siap.

Sayangnya, sebagian besar masyarakat kita, terutama kelas bawah, tidak dibekali meditasi ilmiah ini atau bahkan tidak sempat. Sehingga dari setiap isu yang muncul di publik, masyarakat kelas inilah yang tertimpa dampak buruknya. Lihat saja isu-isu yang panas sekarang! Mulai dari polemik habaib sampai pemilu, siapa yang menjadi objek atau sasaran dari sugesti liar para pembentuk opini? Masyarakat kelas bawah!

Apabila meditasi amat sulit dilakukan, ada cara kedua yang disarankan oleh Inayath Khan, yakni konsentrasi. Konsentrasi artinya memusatkan pikiran ke satu objek. Tujuannya, bagi Khan, adalah untuk (i) menanamkan ide dalam pikiran, dan (ii) menghilangkannya. Karena konsentrasi merupakan pemusatan kepada suatu objek, maka seseorang bisa menghilangkan apa yang menggagu fokusnya dan menanamkan ide tentang objek tersebut menjelang pengambilan keputusan.

Orang yang terlatih untuk konsentrasi biasanya berpikiran dan berpemikiran yang matang. Ia tidak buru-buru dalam mengambil satu keputusan, melainkan selalu mengantisipasi pengacau internal dan eksternal yang menjadikan konsentrasinya terganggu.

Akhirnya, sugesti yang hadir dalam dirinya tidaklah disetir oleh pengalaman buruknya atau alam taksadarnya (unconciousness), melainkan benar-benar diilhami oleh pancaran dari olah batin dan olah akalnya. Manusia model inilah yang biasanya menjadi pionir sejarah. Para tokoh dunia acapkali di waktu yang sama adalah orang yang terberkati bakat konsentrasi yang tinggi yang seringkali juga dilengkapi dengan kemampuan meditasi yang memadai.

M S Arifin. Alumni Al-Azhar Mesir

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *