Oleh: M S Arifin
Kesimpulan para pengkaji bahwa kitab ‘Maqashid al-Falasifah’ Al-Ghazali merupakan ‘pengantar’ untuk kitab ‘Tahafut al-Falasifah’ diambil dari perkataan Al-Ghazali sendiri dalam mukadimah ‘Maqashid’. Redaksinya berbunyi demikian:
“Menghukumi rusaknya suatu aliran tanpa menguasai hakikatnya adalah mustahil, bahkan (bagaikan) memukul angin dengan tongkat. Maka saya berpandangan bahwa sebelum menjelaskan tentang kerancuan mereka (para filsuf), saya hadirkan terlebih dahulu penjelasan singkat nan menyeluruh tentang maksud-maksud (ajaran) mereka, baik disiplin logika, metafisika, maupun fisika, tanpa memilah antara yang benar dan yang keliru.”
Redaksi di atas kemudian dipahami sebagai upaya Al-Ghazali untuk memperkenalkan secara utuh namun singkat mengenai filsafat Paripatetik, sebelum nantinya ia hadirkan kerancuan pandangan para filsuf tentang 18 masalah ketuhanan dan 2 masalah fisika (ilmu jiwa) dalam ‘Tahafut’. Karena dipandang sebagai pengenalan atas mazhab Paripatetik, maka kemudian ‘Maqashid’ dianggap sama sekali tidak bisa mewakili pandangan Al-Ghazali. ‘Maqashid’ selamanya tidak pernah disitir mewakili pandangan Al-Ghazali itu sendiri.
Kesimpulan dari para pengkaji di atas tidak sepenuhnya tepat. Atas dasar apa? Dua hal bisa saya sitir di sini:
Pertama, mari kita lihat metode penulisan kedua kitab tersebut. ‘Maqashid’ adalah kitab yang berisi semua cabang filsafat Paripatetik, kecuali matematika. Tiap cabang dari filsafat itu, sebagai suatu pemikiran, memiliki tiga bangunan: (i) prinsip atau postulat, (ii) objek kajian, dan (iii) masalah atau problem pembahasan.
Misalnya, kita ambil prinsip ‘kemustahilan serial ananta’ (tasalsul). Prinsip ini membawahi seluruh objek kajian metafisika, yakni tentang wujud mutlak (being as being), dan objek kajian itu membawahi masalah yang diangkat semisal tentang potensi dan aktual. Jadi, Tuhan hadir dalam metafisika sebagai superposisi dari konsep atau prinsip logis atas objek. Lebih lanjut dapat pula dikatakan bahwa konsep itu lebih luas daripada objek, Tuhan misalnya.
Baca juga: Agama dalam Kebudayaan Jawa: Abangan, Santri, Priyayi
Sementara itu, ‘Tahafut’ lebih menitikberatkan pada masalah atau problem metafisika (18 masalah) dan fisika (2 masalah) yang dipandang oleh Al-Ghazali tidak sejalan dengan akidah Islam. Al-Ghazali menyerang para filsuf dengan membabibuta tanpa pijakan yang tunggal, bahkan seluruh aliran teologi Islam ia pakai asal dapat ditujukan untuk membantah pandangan para filsuf.
Jika sebelumnya dikatakan bahwa masalah ketuhanan adalah superposisi dari metafisika, maka menghantam satu masalah dalam metafisika tidak sama dengan meruntuhkan metafisika. Dengan begitu, Al-Ghazali tidak menafikan prinsip-prinsip metafisika Paripatetik. Malah bisa jadi Al-Ghazali mengambil beberapa prinsip tersebut untuk membangun metafisikanya sendiri yang sejalan dengan akidah Islam. Berarti ada benarnya jika dikatakan bahwa beberapa konten dari ‘Maqashid’ mewakili pandangan Al-Ghazali itu sendiri, di luar yang ia bantah dalam ‘Tahafut’.
Kedua, posisi Al-Ghazali di hadapan filsafat Paripatetik adalah tebang pilih. Orang biasanya salah sangka tentang ‘Tahafut’, bahwa di sana isinya adalah menghancurkan seluruh bangunan filsafat Paripatetik. Padahal Al-Ghazali sendiri menegaskan dalam mukadimah ‘Maqashid’ (dan juga diulangi dalam ‘Al-Munqidz’) bahwa:
- Matematika tidak ada yang bertentangan dengan akal, bahkan prinsip-prinsipnya tidak mungkin dibantah, dan toh tidak bersinggungan dengan akidah.
- Metafisika banyak bertentangan dengan kebenaran, dan kebenaran di sana sangat langka.
- Logika banyak berisi kebenaran, sementara kekeliruannya langka.
- Fisika berisi campuran antara kebenaran dan kekeliruan.
Menurut Sulaiman Dunya, Al-Ghazali tidak berhasil menunjukkan kesalahan yang langka dalam logika. Kitab-kitabnya tentang logika yang cukup melimpah itu, mulai dari ‘Mi’yar al-Ilm’, ‘Mihak an-Nadzar’, ‘Al-Qisthas al-Mustaqim’, sampai mukadimah ‘Al-Mustashfa’, tidak ada yang menyitir tentang kekeliruan dalam logika (Yunani).
Dalam metafisika, klaim Al-Ghazali bahwa kebenarannya sangat langka ternyata tidak terbukti dalam kertas. Isi persoalan metafisis yang dibantah Al-Ghazali dalam ‘Tahafut’ pun tidak menyentuh sampai 50 persen dari seluruh problem metafisika, bahkan hanya masalah cabang dari prinsip dan konsepnya. Bahkan kita masih buta soal apa saja kebenaran, kendati langka, yang diafirmasi oleh Al-Ghazali.
Oleh sebab itu, kajian tentang hal ini akan terus bergulir selagi pemilahan kitab-kitab Al-Ghazali belumlah final. Maksudnya, banyak sekali kitab Al-Ghazali yang secara jelas cocok atau bahkan mengutip masalah metafisika Paripatetik melalui kitab-kitabnya Ibn Sina.
Sulaiman Dunya dalam ‘Al-Haqiqah fi Nadzr al-Ghazali’ secara jelas menunjukkan bukti atas klaim ini. Misalnya, apakah benar bahwa kitab ‘Misykat al-Anwar’ dan ‘Ma’arij al-Quds’ adalah milik Al-Ghazali? Jika benar, maka tak bisa dielak bahwa isi dari kitab itu kebanyakan diambil dari ajaran metafisika Paripatetik, dari tradisi Aristotelian dan Neo-platonisme.
Baca juga: Pesantren dan Masa Depan Indonesia
Dalam masalah fisika, Dr. Mahmoud Qasim dalam kitabnya ‘Fi an-Nafs wa al-‘Aql li Falasifah al-Ighriq wa al-Islam’ menunjukkan banyak sekali kesamaan pandangan antara Al-Ghazali dengan tradisi filsafat Paripatetik tentang jiwa.
Qasim setidaknya mencatat kesamaan itu dalam beberapa masalah: (i) definisi jiwa, (ii) kesatuan jiwa, (iii) relasi antara jiwa dan badan. Kesamaan pandangan ini bahkan diambil dari kitab yang dalam pandangan mayoritas pengkaji memang sah disandarkan kepada Al-Ghazali semisal kitab ‘Faishal at-Tafriqah’. Dan semua kesamaan ini dapat pula kita temukan dalam kitab ‘Maqashid’.
Jadi, bagi saya, posisi ‘Maqashid’ sangatlah penting di antara kitab Al-Ghazali yang lain. Ia tidak sekadar kitab pengantar menuju ‘Tahafut’, namun justru lebih dari itu, merupakan filter atas apa yang ditolak dan yang diterima oleh Al-Ghazali berkenaan dengan mazhab Paripatetik. Dan, jika sebentar lagi kitab itu hadir dalam edisi bahasa Indonesia melalui tangan dingin Turats Pustaka, maka itu adalah harta karun tentang sisi lain Al-Ghazali yang belum terlalu dikenal oleh masyarakat Indonesia.
Sumber: Fb M S Arifin
M S Arifin. Alumni Al-Azhar Mesir