Forum Kerukunan Umat Beragama dan Resolusi Konflik atas Isu Agama
mansurasyarie.wordpress.com

Forum Kerukunan Umat Beragama dan Resolusi Konflik atas Isu Agama

Oleh: Mevy Eka Nurhazilah

Pendahuluan

Indonesia merupakan negara multikultural dengan 16.671 pulau, 1.340 kelompok etnis dan  718 bahasa. Hal ini menjadi alasan mengapa pengelolaan pluralisme dan multikulturalisme yang efektif sangat diperlukan. Jika ditinjau dari segi sejarah, masyarakat Indonesia beruntung karena para founding fathers memiliki visi yang jelas guna masa depan negara ini.

Sebelum kemerdekaan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mencapai kesepakatan mengenai Pancasila sebagai dasar negara dengan menghapus tujuh kata dari Piagam Jakarta. Tujuh kata yang dihapus tersebut berbunyi “kewajiban menjalan syariat Islam bagi para pemeluknya.” Momen ini sangat krusial dalam menentukan dasar negara di awal kemerdekaan.

Para pendiri bangsa bertekad menciptakan Indonesia merdeka dan visioner dengan mengedepankan kerukunan sekaligus keselamatan nasional sebagai prioritas utama. Kenyataan bahwa saat ini Indonesia merangkul keberagaman dan pengelolaan pluralitas adalah hasil dari usaha para founding fathers bangsa yang selalu mempromosikan persatuan.

Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)

Perbedaan budaya, ras, etnis, suku, bahkan agama di Indonesia sering kali memunculkan gesekan yang menyebabkan konflik maupun perpecahan antar masyarakat. Alhasil pada tanggal 30 November 1969, pemerintah mengambil langkah dengan menyelenggarakan musyawarah antar agama di Gedung Dewan Pertimbangan Agung (DPA) Jakarta. Pertemuan tersebut dihadiri oleh para pemuka agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu bahkan Budha.

Hasilnya adalah Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan, Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluknya.

Menteri Agama saat itu, Alamsyah Ratu Perwiranegara menawarkan tiga konsep trilogi. Pertama, kerukunan intern umat beragama. Kedua, kerukunan antar umat beragama. Ketiga, kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah.

Selanjutnya, ia membentuk Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama (WMAUB) guna mendukung konsep trilogi kerukunan. Trilogi tersebut masih menjadi landasan utama pelaksanaan kerukunan umat beragama di Indonesia. Selanjutnya, ketika Munawir Sjadzali menjabat sebagai Menteri Agama, ia membentuk Lembaga Pengkajian Kerukunan Antar Umat Beragama (LPKUB) di tiga kota yakni Ambon, Medan dan Yogyakarta.

Namun, WMAUB dan LPKUB dianggap milik kalangan elit karena model implementasinya yang bersifat top-down.

Pada prosesnya, Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri membentuk tim khusus beranggotakan dua orang di setiap perwakilan agama. tim tersebut melakukan 11 kali pertemuan. Hasilnya, perumusan Peraturan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PMB) No. 9 dan No. 8 Tahun 2006.

Pada PMB tersebut memuat tiga hal. Pertama, pedoman pelaksanaan tugas kepada daerah/wakil kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama. Kedua, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama (FKUB). Ketiga, pendirian rumah ibadah.

Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) adalah organisasi sosial keagamaan semi pemerintah. Artinya, institusi ini lahir dari PMB Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama No.9 dan No.8 di atas dengan tiga muatannya.

Aturan ini telah dilakukan oleh seluruh gubernur di Indonesia sesuai dengan regulasinya. Pertama, FKUB Sumatera Utara tercantum dalam PMB No.  dan 8 Tahun 2006; Surat Sekretaris Departemen Agama 2 Mei 2006; Peraturan Gubernur (Pergub) No.24 tanggal 19 Desember 2006 Tentang FKUB dan Dewan Penasihat FKUB Provinsi dan Kabupaten/Kota; SK GUBSU Nomor Tahun 188.44/598/KPTS/2017.

Anggota FKUB Sumatera Utara berjumlah 21 anggota sebagai representasi enam agama. Struktur anggotanya terdiri dari seorang ketua, dua wakil ketua, sekretaris, wakil sekretaris, dan 16 anggota.

Terdapat beberapa program kerja yang telah disusun oleh FKUB Sumatera utara. Pertama, dialog antar umat beragama. Kedua, mengadakan camp pada pemuka agama dan interfaith para pemuda lintas agama. Ketiga, membangun Literasi wasathiyah di Kalangan pemuka agama. Keempat, mengadakan pendidikan dan Latihan dalam upaya memahami agama. Kelima, kajian intern umat beragama. Keenam, sosialisasi peraturan perundang-undangan.

Kedua, FKUB Jawa Barat pada statusnya tertulis dalam Peraturan Bersama (PBM) No.9 dan 8 Tahun 2006; Pergub No. 36 tahun 2019 tentang pedoman pelaksanaan kerukunan beragama di JABAR, pendanaan FKUB JABAR oleh Pemprov; Pergub No. 220 Tahun 2019 tentang anggota FKUB JABAR, susunan pengurus 21 orang; Pergub No. 200 Tahun 2019 tentang Dewan Penasihat FKUB. Jumlah pengurus FKUB Jawa Barat adalah 21 orang dengan representasi enam agama dan Etnis Pasundan. Struktur pengurus terdiri dari ketua, dua wakil ketua, sekretaris, bendahara dan 16 anggota.

Terdapat beberapa program kerja FKUB Jawa Barat. Pertama, sosialisasi Peraturan Perundang-undangan. (Pemahaman yang masih minim, terutama PBM). Kedua, sosialisasi Peraturan Perundang-undangan. (Pemahaman yang masih minim, terutama PBM). Ketiga, diskusi publik/seminar/workshop mengenai isu aktual terkait kerukunan (Tahun kemarin). Keempat, dialog lintas agama disertai kreasi/inovasi menarik. Kelima, kunjungan silaturrahmi rutin antar tokoh dan lembaga agama. Keenam, menjalin kerja sama dalam proyek sosial dan kemanusiaan. Ketujuh, membangun proyek percontohan lingkungan toleransi. Kedelapan, melakukan pembinaan pada generasi muda lintas agama. Kesembilan, menampung dan menyalurkan aspirasi majelis agama/ormas keagamaan.

Ketiga, FKUB Provinsi Jawa Timur hadir karena Peraturan Bersama Menteri (PBM) Kementerian Agama RI No. 9 dan No. 8 Tahun 2006, sama halnya dengan FKUB di provinsi lainnya. Jumlah pengurus FKUB Jawa timur adalah 21 orang dengan representasi enam agama. Struktur pengurus terdiri dari ketua, dua wakil ketua, sekretaris, wakil sekretaris, bendahara dan 15 anggota.

Beberapa program kerja FKUB Jawa Timur adalah melakukan dialog dengan pemuka dan tokoh agama; menyalurkan aspirasi dalam bentuk kebijakan dari kepala daerah baik ditingkat desa, kabupaten, maupun kota; sosialisasi perundang-undangan terkait kerukunan umat beragama dan Islam moderat; membangun desa kerukunan dan melakukan kunjungan silaturahmi.

Kepemimpinan Kolektif Kolegial Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)

Berdasarkan PBM No. 9 dan No. 8 Tahun 2006 dan UU PNPS No.1 Tahun 1961 jumlah anggota FKUB terdiri dari 21 orang dengan perwakilan agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu masuk di dalamnya.

Secara realitas, ketua FKUB diambil dari agama mayoritas di dalam satu wilayah. Sedangkan, wakil ketua diambil sesuai dengan representasi agama lainnya. Kepemimpinan di FKUB ternyata ditentukan berdasarkan representasi umat yang diwakili oleh masing-masing agama. Demikian pula kepemimpinan dalam departemen FKUB lainnya.

Kepemimpinan kolektif kolegial menjadi pilihan terbaik bagi FKUB. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa di dalam FKUB terdapat berbagai individu dengan keyakinan agama yang berbeda. Mereka yang menjadi pengurus FKUB adalah menjadi representasi umat beragama di masing-masing wilayah.

Oleh karena itu, pilihan menggunakan pola kepemimpinan kolektif kolegial merupakan keharusan berbasis kepentingan dan situasinya. Meskipun kepemimpinan situasional itu rawan dalam konteks lingkungan sosialnya, dan memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan yang drastis, namun pola inilah yang relevan dengan organisasi sosial keagamaan di dalam FKUB.

Negosiasi merupakan kata penting di dalam kepemimpinan kolektif kolegial sebagaimana yang dilakukan oleh FKUB. Pada konteks negosiasi itulah terdapat prinsip agree in disagreement dan juga like in dislike.

Tidak ada keputusan yang benar-benar utuh benar dan juga tidak keputusan yang benar salah secara utuh. Makanya setiap keputusan yang dihasilkan di dalam FKUB selalu mengandung dimensi plus minus dan like in dislike. Artinya bahwa keputusan tersebut harus diterima sebagai produk negosiasi yang dilakukan secara terbuka.

Secara empiris, bahwa FKUB melakukan pengambilan keputusan secara terbuka, jika ada yang harus ditunda keputusannya maka akan ditunda untuk disepakati dan jika harus diputuskan berjalan maka juga harus dijalankan. Inilah sebabnya pengambilan keputusan di dalam kepemimpinan kolektif kolegial membutuhkan waktu yang panjang dalam pengambilan keputusan. Memerlukan keterbukaan, negosiasi, perundingan dan kompromi yang sedapat-dapatnya tidak terjadi dissenting opinion.

Pola Penyelesaian Masalah dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)

Jika mengamati kewenangan FKUB, maka sejauh yang bisa dilakukan adalah membangun kerukunan umat beragama dalam coraknya yang elementer sebab memang sebagai organisasi semi pemerintah, FKUB tidak memiliki kewenangan pada layer ketiga atau membangun kehidupan sosial ekonomi dan politik yang berkeadilan. Peran seperti ini hanya bisa dilakukan oleh pemerintah secara menyeluruh.

Sementara itu, pemerintah belum secara optimal dalam kerangka untuk melakukan pembangunan yang berkeadilan. Pada  kenyataannya masih terdapat kesenjangan ekonomi yang relatif tinggi, masih terdapat ketidakadilan hukum, dan masalah-masalah lain yang dapat menjadi penyebab terjadinya konflik horizontal.

Artinya, pendekatan multilayers tidak bisa digunakan sepenuhnya untuk menjelaskan peran FKUB di dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah-masalah di dalam kehidupan beragama. Sejauh yang bisa dilakukan adalah bagaimana membangun kesepahaman di antara para tokoh agama agar mereka dapat menjadi agen di dalam upaya membangun kerukunan umat beragama.

Pada tataran pemahaman beragama berbasis pada dialog ternyata juga hanya sampai pada level elit agama atau kaum agamawan, tetapi mestinya harus sampai kepada masyarakat luas. Dialog agama pada level grass-rote.

Dialog seharusnya menghasilkan kesepahaman untuk membangun pro-eksistensi dan bukan co-eksistensi. Dialog agama seharusnya menghasilkan kesepahaman untuk saling memahami dan bukan hanya saling mengerti. Memahami bahwa ada perbedaan yang harus dihormati dan persamaan yang harus menjadikan kerja sama.

Pada konsepsi yang lebih luas disebut sebagai “boutique multiculturalism” atau multikulturalisme butik, yaitu dialog agama yang sebagaimana pajangan pakaian di dalam etalase, yang dipajang yang bagus tanpa cacat padahal di dalamnya ada hal-hal yang masih belum selesai. Jika sebuah dialog dirajut dalam humanitas, maka dipastikan tidak terdapat dialog yang coraknya hanya bagus di depan tetapi bopeng di dalam.

Relevansi Penyelesaian Masalah Keagamaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)

Tidak ada pilihan bahwa di antara Gerakan yang bisa dilakukan oleh FKUB adalah pada dimensi membangun kesepahaman di antara elit agama melalui FKUB dengan strategi dialog. Sejauh yang bisa dilakukan adalah melalui dialog. FKUB belum bisa bergerak lebih kuat misalnya mempengaruhi kebijakan pemerintah daerah dalam merumuskan strategi pembangunan yang berkeadilan.

Konsepsi strategi multilayers dalam membangun kerukunan belum bisa dilaksanakan. Sejauh-jauhnya baru sampai tahapan membangun kesadaran atas para pimpinan agama. Bahkan dialog berkesetaraan untuk para jamaah atau anggota masyarakat beragama pun belum bisa dilakukan. Jika itu dilakukan sebatas di dalam lingkaran jamaah, misalnya jamaah gereja, masjid, vihara, dan sebagainya.

Sebagai organisasi yang mengusung perwakilan antar pemeluk agama, maka sebenarnya FKUB merupakan organisasi yang sangat strategis. Setiap perwakilan agama di FKUB dapat memberikan masukan secara seimbang atau setara dalam forum pertemuan atau rapat untuk membahas masalah-masalah keagamaan masyarakat Indonesia.

Oleh karena itu sesungguhnya pemerintah daerah memberikan “kewenangan” yang lebih optimal bagi FKUB untuk berkiprah secara lebih maksimal.

Kesimpulan

Secara garis besar penelitian di atas menjelaskan bahwa dialog keberagamaan melalui FKUB sudah menjadi bagian tidak terpisahkan di dalam kerja-kerja FKUB. Dialog merupakan kata kunci baik di dalam kegiatan preventif jika diketahui terdapat potensi konflik di antara umat beragama. Selain itu juga menjadi instrumen penting di dalam menyelesaikan masalah keberagamaan. Dialog dilakukan di kala semua informasi yang terkait dengan masalah sudah mencukupi untuk dijadikan sebagai materi atau konten dialog. Ketercukupan informasi tentu akan sangat membantu di dalam proses identifikasi faktor-faktor penyebab sebagai basis bagi pengambilan alternatif penyelesaian masalah.

Sumber: Nursyamcentre.com

Mevy Eka Nurhalizah. Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *