Oleh: Mun’im Sirry
Sebenarnya saya ingin melanjutkan tulisan sebelumnya dan menjelaskan tentang konteks historis rasionalisasi Islam di zaman modern. Namun, saya teringat kata-kata Ibnu Khaldun soal “campuraduk” sebagaimana saya tulis sebelumnya. Jadi, saya tunda dulu tulisan lanjutannya.
Bagian yang saya ingat dari “Muqaddimah” Ibnu Khaldun ialah ketika dia mengatakan bahwa para mutakallimun belakangan (muta’akhirun) kerjanya mencampuradukkan permasalahan kalam dengan filsafat. Kesan saya, Ibnu Khaldun memang agak kritis terhadap ilmu kalam karena dianggapnya memasuki perbincangan yang bukan wilayahnya.
Pertama, dia membedakan antara mutakallimun awal dan belakangan. Sulit menentukan kapan dua periode (awal dan belakangan) itu bisa dipisahkan. Ibnu Khaldun tidak menyebutnya secara eksplisit. Sepertinya Ghazali dianggap teolog Muslim yang memulai campuraduk kalam-filsafat tersebut. Sejujurnya saya tidak tahu pasti.
Yang saya tahu ialah Ibnu Khaldun mengaitkan kemunculan mutakallimun belakangan (thariqah muta’akhirin) dengan menyebarnya ilmu logika (mantiq). Ketika ilmu mantiq dijadikan alat pengukur (mi’yar) berargumen, maka mutakallimun belakangan mulai mengambil jalur berbeda dari metode para mutakallimun awal, dengan mencomot pandangan para filosof terkait hal-hal fisik (thabi’iyyat) dan metafisika (ilahiyat).
Namun, Ibnu Khaldun mengingatkan cara-kerja filsafat dan kalam itu berbeda. Jika boleh saya simpulkan dari dua judul dalam Muqaddimah-nya, yakni “ilm al-kalam” dan “ilm al-ilahiyat”, Ibnu Kaldun membedakan begini: Sementara filsafat bertujuan mencari kebenaran, kalam bermaksud mencari pembenaran.
Yang dimaksud “pembenaran” di sini ialah, pertama “mengasumsikan kebenaran doktrin-doktrin keimanan” (yufridhu al-aqa’id shahihah) dan (kemudian) “mempertunjukkan bukti-bukti dan argumen-argumen” (yastanhidhu al-hujaj wa al-adillah). Ini yang dalam tulisan sebelumnya saya sebut “justifikasi after-the-fact” atau “pembenaran post eventum” itu.
Coba saya terjemahkan beberapa kalimat dari Muqaddimah-nya, di bawah judul “ilm al-ilahiyat.” Ini kalimat Ibnu Khaldun setelah dia mengatakan bahwa kaum mutakkalimun belakangan mencampuradukkan masalah ilmu kalam dengan masalah filsafat (khallatha al-muta’akhkhirun min al-mutakallimin masa’il ilm al-kalam bi-masa’il al-falsafat):
“Apa yang diperbincangkan para mutakallimun dengan membangun argumen-argumen (rasional) bukanlah untuk menginvestigasi kebenaran. Sebab, upaya membuktikan (dan menyingkap) kebenaran tentang sesuatu yang tidak diketahui sebelumnya merupakan wilayah/kerja filsafat. Penggunaan argumen rasional (di kalangan mutakallimun) semata-mata untuk menyokong doktrin keimanan dan mazhab para salaf, serta untuk menolak syubhat (keraguan) ahli bid’ah yang menganggap pandangan mereka itu rasional.”
Baca juga: Paradigma Islam Progresif
Jika disederhanakan, poin Ibnu Khaldun ialah kerja para filosof itu untuk menyingkap kebenaran, sementara para mutakallimun menyusun argumen rasional untuk membenarkan apa yang dianggapnya benar. Jadi, jelas perbedaan antara mencari kebenaran, dan mencari pembenaran!
Kalimat terakhir dalam kutipan di atas juga menjelaskan kenapa para mutakallimun menekankan argumen rasional. Yakni, karena orang-orang yang dianggap heretik (ahl al-ilhad) menggunakan argumen rasional dalam mempersoalkan doktrin-doktrin salaf. Saya kutipkan lagi deh supaya lebih jelas:
“Satu-satunya faktor yang mendorong para mutakallimun (menggunakan argumen rasional) ialah karena pandangan kaum heretik yang menolak akidah salaf dengan argumen inovatif. Jadi mereka menolak kaum heretik dengan jenis argumen yang sama.”
Jadi, kalau kita lihat sebagian pelajar ilmu kalam gampang mengkafirkan orang-orang yang berpandangan berbeda, memang begitulah watak ilmu kalam. Sebuah diskursus teologis yang dibangun untuk membentengi doktrin dari setiap gugatan. Dan para penggugat akidah ortodoksi diposisikan sebagai ahli bid’ah atau ahl al-ilhad.
Mungkin itulah sebabnya Ibnu Khaldun tampak gerah dengan sepak-terjang kaum mutakallimun. Walaupun mengakui manfaatnya, dia berterus-terang mengatakan ilmu kalam tidak lagi relevan. Saya kutipkan lagi paragraf terakhir dari judul “ilm al-kalam” dalam Muqaddimah-nya:
“Secara umum, perlu diketahui bahwa ilmu ini – yakni ilmu kalam – sudah tidak lagi dibutuhkan (ghairu dharuri) bagi pelajar saat ini. Sebab, kaum heretik dan ahli bid’ah telah lenyap. Melalui karya dan tulisan, para ulama ahlus sunnah telah memberi kita proteksi terhadap mereka.”
Saya tidak seradikal Ibnu Khaldun. Bagi saya, ilmu kalam – dan ilmu-ilmu tradisional lainnya – monggo dipelajari. Tapi ingat: Kita sekarang hidup di zaman berbeda. Ilmu-ilmu tradisional tersebut perlu direaktualisasi dalam konteks dunia modern.
Man-teman, silakan baca Muqaddimah Ibnu Khaldun, terutama dua judul yang saya sebutkan itu. Jika saya salah, mohon dikoreksi. Perhatian istilah-istilah kunci, seperti “ikhlatatha”, “ikhtilath”, “yakhtalithun” untuk menggambarkan kegemaran para mutakallimun mencampuradukkan. Perhatikan pula kritk-kritik Ibnu Khaldun terhadap ilmu-ilmu tradisional dalam konteks dinamika sosial di zamannya.
Sumber: Fb Mun’im Sirry
Mun’im Sirry. Dosen di Universitas Notre Dame Amerika Serikat

