Secara doktrin, Islam mengajarkan bahwa manusia pertama yang tinggal di bumi adalah Nabi Adam, hal ini telah diterangkan secara jelas dan meyakinkan dalam kitab suci Al-Qur’an dan Hadits. Namun demikian, ada perbedaan mendasar antara Islam dan ilmu pengetahuan perihal siapa sesungguhnya manusia pertama yang ada di bumi?
Misalnya, teori evolusi mengatakan bahwa manusia pertama yang ada di bumi adalah manusia purba, sebagaimana umum diketahui bahwa teori evolusi mengajarkan manusia yang ada di bumi sekarang ini merupakan keturunan dari Homo Sapiens, yakni spesies manusia purba yang diperkirakan hidup dua ratus ribu tahun yang lalu.
Perbedaan dalam memahami asal-usul manusia ini memang tampak membingungkan. Sebab, sains telah membuktikan secara meyakinankan bahwa teori evolusi itu benar adanya. Semantara di saat yang sama umat Islam wajib meyakini bahwa Nabi Adam lah manusia pertama.
Sebagai umat Islam, mana yang harus didahuluan dari perbedaan tentang asal-usul manusia di atas? Tentu, tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Kita perlu hati-hati untuk menjawabnya agar tidak terjebak pada pertentangan dua model kebenaran yang berimplikasi pada kesalahan dalam memahami asal-usul manusia.
Menurut M. Quraish Shibab, seorang pakar tafsir di Indonesia, beliau mengatakan bahwa untuk memahami lebih dahulu mana antara Nabi Adam dan manusia purna kita hendaknya memahami secara cermat apa-apa yang diterangkan dalam Al-Qur’an.
Misalnya, Al-Qur’an menceritakan tentang kejadian manusia, tetapi sebelum Al-Qur’an menceritakan tentang kejadian manusia, yakni Nabi Adam, di bumi ini sudah ada makhluk-makhluk lain. Pertanyaannya, siapa makhluk lain itu?
Dalam pandangan M. Quraish Shihab, boleh jadi makhluk lain yang diterangkan dalam Al-Qur’an itu adalah manusia purba, kendati keterangan yang jelas tentang itu tidak ditemukan. Kemudian, ketika Al-Qur’an berbicara tentang manusia pertama, ia hanya mengatakan bahwa manusia diciptakan dari tanah, lalu ada proses dan proses akhirnya dihembuskan ruh, maka itulah yang disebut manusia. M. Quraish Shihab menambahkan bahwa boleh jadi proses kejadian yang dijelaskan Al-Qur’an itulah yang disebut sebagai manusia modern.
Baca juga: Paradigma Agama dan Sains
Yang pasti, Al-Qur’an tidak menjelaskan apa yang terjadi setelah tanah dan sebelum ditiupkannya ruh. Bisa diilustrasikan misalnya, ada huruf alfabed dari A sampai Z, nah Al-Qur’an ketika menceritakan kejadian manusia seolah hanya menceritakan A (dari tanah) lalu langsung menuju Z (ditiupkan ruh), padahal antara huruf A ke Z masih ada banyak rentetan huruf.
Mengacu pada ilustrasi di atas, Al-Qur’an tidak menjelaskan bagaimana proses dari A ke Z, hal itu seolah terjadi secara tiba-tiba dan langsung. Tentu, dari segi penalaran manusia, ini sama sekali tidak mungkin dan tidak masuk akal.
Bila ditanya, benarkan teori evolusi? Jawabannya, Islam tidak menjelaskan secara pasti apa itu teori evolusi, terutama menyangkut proses penciptaan dan kejadian manusia, sebab itu semua ada di wilayah ilmu pengetahuan dan hanya sains saja yang menjelaskan secara gamblang dan jelas.
Jadi, bila teori evolusi bisa dibuktikan secara objektif melalui perangkat metode ilmiah, maka asal-usul manusia dari manusia purba tidak bisa dikatakan bertentangan dengan Al-Qur’an. Sebab Al-Qur’an hanya mengatakan proses kejadian manusia dari tanah ke ditiupkannya ruh. Boleh jadi, di luar itu ada proses evolusi yang begitu panjang, yang tidak diketahui manusia.
Sehingga terhadap perbedaan pandangan di atas, tidak perlu dipertentangkan antara Islam dan teori evolusi, keduanya sama-sama mengandung kebenaran. Bila ingin menolak teori evolusi, maka harus ditolak dari sudut ilmu pengetahuan, tidaklah mungkin menolak teori evolusi hanya berdasar pada agama, sebab agama lebih merupakan keyakinan ketimbang pembuktian. Sementara sains lebih ke pembuktian terlebih dahulu sebelum akhirnya diyakini.
Para ulama Islam juga telah banyak yang memberikan jawaban yang bijak terhadap permasalahan ini, yakni tidak mempertentangkan antara Islam dan teori evolusi. Malahan, banyak yang menerima teori evolusi sekaligus menerima pula keterangan dalam Al-Qur’an.
Misalnya Ibn Khaldun, beliau meyakini bahwa ada evolusi dalam proses kejadian manusia, kendati Ibn Khaldun tidak mempertentangkannya dengan Al-Qur’an. Ia lebih meyakini teori evolusi pada tataran ilmu pengetahuan dan menerima begitu saja kebenaran yang terkandung dalam Al-Qur’an. Sebab, dua-duanya pasti mengandung kebenaran, kendati dengan kadar dan ukuran yang berbeda-beda.
Pingback: Mengedepankan Peradaban “Ilmu”, bukan Peradaban “Sosok” - Islamadina