Dalam tradisi pemikiran Yunani, istilah hermeneutic dapat ditemui dalam Peri Hermeneias atau De interpretatione karya Aristoteles dan Politikos, Epinomis, Definitione, dan Timeus karya Plato (429-347 SM). Dalam Definitione, Plato secara tegas menyatakan bahwa hermenutika artinya “menunjukkan sesuatu” yang tidak terbatas pada pernyataan, tapi meliputi pembicaraan linguistik secara universal, penterjemahan, interpretasi, dan retorika.
Platon dalam karyanya berjudul Timeus mengaitkan hermeneutika dengan pemegang otoritas kebenaran, yaitu bahwa kebenaran hanya dapat dipahami oleh ‘nabi’. Nabi di sini maksudnya adalah mediator antara Tuhan dengan manusia.
Secara etimologis, kata ‘hermeneutika’ (Inggris: hermeneutic) berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti ‘menafsirkan’. Kata benda hermeneia secara harfiah dapat diartikan sebagai penafsiran atau interpretasi. Dalam mitologi Yunani, ada tokoh yang namanya dikaitkan dengan hermeneutika, yaitu ‘Hermes’.
Menurut mitos itu, Hermes digambarkan sebagai sosok yang mempunyai kaki bersayap, dan populer dengan sebutan Mercurius dalam bahasa latin. Tugas Hermes adalah menginterpretasikan pesan-pesan dari dewa di Gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti manusia. Fungsi Hermes dalam ranah interpretasi sangat signifikan, sebab bila terjadi kesalahfahaman tentang pesan dewa-dewa maka konsekuensinya akan fatal bagi umat manusia.
Setelah masa Platon dan Aristoteles, hermeneutika kemudian dikembangkan oleh Stoicisme (300 SM) sebagai ilmu interpretasi alegoris, yaitu metode memahami teks dengan cara mencari makna yang lebih dalam dari sekedar pengertian literal. Metode ini selanjutnya dikembangkan oleh Philo Alexandria (20 SM-50 M), seorang Yahudi yang dianggap bapak alegoris. Metode alegoris ini kemudian ditransmisikan ke dalam teologi Kristen.
Namun, pentransmisian ini ditentang oleh mazhab literal yang berpusat di Antioch. Menyadari tajamnya perbedaan dua konsep tersebut, seorang teolog dan filosof Kristen Augustine (354-430 M) mencoba mengompromikan keduanya dengan mengambil jalan tengah, yakni dengan memberi makna baru kepada hermeneutika dengan memperkenalkan teori tentang simbol (semiotik).
Teori ini diproyeksikan untuk mengantisipasi munculnya kesewenang-wenangan interpretasi alegoris terhadap teks Bible dan pemahaman terlalu literal. Hermeneutika terus berkembang dalam teologi Kristen, terutama pada masa penggabungan filsafat Aristoteles dengan doktrin-doktrin Kristiani yang dilakukan Thomas Aquinas (1225-1274 M).
Dalam teologi Kristen, Van A Hervey menegaskan bahwa “karena perdebatan dalam soal hermeneutika inilah akhirnya mengakibatkan timbulnya dua kelompok Protestan Liberal dan Kristen Ortodok”. Secara embriologis, hermeneutika tidaklah berasal dari tradisi pengkajian Bible, tetapi metode asing yang diadopsi untuk menghadapi teks-teks Bible.
Pada era modern, perkembangan hermeneutika beralih dari wilayah teologi menjadi metodologi pemahaman. Periode ini merupakan periode keemasan yang tak lepas dari hasil analisis brilian Schleirmacher mengenai ‘pemahaman’. Ia bermaksud membingkai hermeneutika menjadi seni penafsiran yang dapat diterapkan pada teks apapun, baik dokumen hukum, teks keagamaan, atau karya sastra.
Hermeneutika adalah alat yang digunakan terhadap teks dalam menganalisis dan memahami maksud serta mengampakkan nilai-nilai yang dikandungnya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa ia adalah cara kerja yang harus ditempuh oleh siapapun yang hendak memahami suatu teks, baik yang terlihat nyata dari teksnya, maupun yang kabur, bahkan yang tersembunyi akibat perjalanan sejarah atau pengaruh ideologi dan kepercayaan.
Karena itu, hermeneutika saat diterapkan menjadikan penerapnya bagaikan menggali peninggalan lama atau fosil yang hidup atau berada ratusan tahun yang lalu, bahkan lebih. Dengan demikian, persoalan pokok yang secara umum dibahas melalui hermeneutika adalah teks-teks sejarah, kebudayaan, dan agama.
Ada banyak perbedaan teori dan pendapat dalam konteks tujuan dan lapangan pembahasan hermeneutika, sepanjang sejarah kemunculan istilah itu, teori hermeneutika didapati memiliki perbedaan yang cukup mendasar. Setiap periode mempunyai pandangan yang sedikit atau banyak berbeda dengan periode yang lain. penjelasan yang dilakukan oleh Hermes, sosok yang disebut di atas, dinilai oleh beberapa pakar mencakup tiga bentuk.
Pertama, mengungkap apa yang dalam pikiran melalui kata-kata dalam rangka mengampaikannya pada sasaran yang dituju. Kedua, penjelasan rasional menyangkut hal-hal yang masih samar agar maksudnya dapat dipahami dengan jelas. Ketiga, menerjemahkan ke bahasa yang dipahami oleh sasaran. Kemudian dalam perjalanan hermeneutika, bentuk-bentuk ini berkembang beraneka ragam yang tidak mudah untuk dikemukakan atau disimpulkan.
Karena sejarahnya yang panjang itu dan keanekaragaman obyeknya serta perbedaan pendapat para pakar, maka definisi hermeneutika pun, sebagaimana obyek bahasannya, berbeda-beda pula. Ada yang menyatakan bahwa hermeneutika adalah ilmu penafsiran kitab suci, atau ilmu penafsiran teks, ada lagi yang merumuskannya sebagai kaidah-kaidah pemahaman teks, atau metod menghindari kesalahpahaman, dan lain-lain.
Pada pakar membagi hermeneutika dalam tiga ragam. Pertama, teori hermeneutika yang menitik beratkan bahasannya pada metodologi. Kedua, filsafat hermeneutika yang fokus bahasannya adalah menelusuri status ontologis dari upaya pemahaman. Ketiga, hermeneutika kritis yang menekankan bahasannya menyangkut upaya membuka penyebab-penyebab distori dalam pemahaman.
Paling tidak ada empat aliran dalam tradisi hermeneutika. Pertama, aliran konvensional atau klasik, yang dipelopori oleh Friedrich Schleirmacher dan Wilhelm Diltheiy. Kedua, aliran moderat, aliran ini berpendapat bahwa penafsiran terus berkembang. Ia adalah dialog terus menerus antara penafsir dan teks, oleh sebab itu tidak memungkinkan adanya pengetahuan substansi atau pemahaman maksud pengarang.
Ketiga, aliran ekstem, menekankan kendati ada kesungguhan dan keluasan wawasan penafsir, namun sangat diragukan ia dapat mencapai makna asal dari teks untuk diamalkan, karena semua penafsiran bersifat kemungkinan dan relatif . Keempat, aliran kritis, menyatakan bahwa melalui pengamatan kritis, penafsir akan mampu menjadi lebih sadar dan dengan demikian dia akan lebih berhasil memelihara diri dari tumpukan pengaruh ideologi, budaya, dan adat istiadat masyarakat yang memengaruhi sang penafsir, hanya saja dalam pandagan Habermas keterbebasan dari ini sering kali tidak wujud dalam kenyataan.
Menurut Fransisco, walau bagaimanapun, hermeneutika modern memiliki keterbatasan. Sebagai pendekatan rasional ia mengandaikan sikap rasional penggunanya. Kesulitan akan dijumpai ketika hermeneutika harus berhadapan dengan modus-modus interpretasi dalam agama yang menolak pendekatan rasional.
Hermeneutika memperlakukan kitab-kitab suci, seperti Al-Qur’an dan Al-Kitab sebagai sebuah teks seperti teks-teks lain. teks-teks sakral itu lalu juga dipahami dalam konteks-konteks sosio-historis mereka. Di sini hermeneutika menghadapi masalah yang tidak mudah. Umat beragama menghadapi teks-teks sakral mereka sebagai wahyu Ilahi.
Ada kecenderungan kuat di antara umat beragama untuk menentang analisis sosio-historis atas isi kitab suci mereka, karena mereka meyakini isi kitab suci mereka itu bersifat “Ilahi, abadi, melampui batas-batas kemampuan manusiawi untuk menentukan apa yang telah diwahyukan oleh Allah”.