Merayakan maulid Nabi merupakan salah satu praktik budaya Islami di kalangan umat Islam, dikatakan budaya karena maulid sendiri tidak menjadi bagian dari ajaran Islam, tetapi ia adalah kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan sebagai wujud dari kecintaan umat kepada Nabi. Karena maulid ini bukan ajaran Islam, banyak di antara umat Islam tidak setuju dengan adanya maulid. Misalnya, mereka yang melarang perayaan maulid ini, biasanya mendasarkan diri pada pendapat imam Ibnu Taymiyyah dengan mengatakan bahwa maulid Nabi termasuk perkara bid’ah dan tidak boleh dilakukan.
Tulisan ini akan mencoba mengurai pendapat Ibnu Taymiyyah tentang masalah maulid tersebut. Dalam penelusuran saya, Ibnu Taymiyyah ternyata tidak pernah melarang perayaan maulid, justru beliau menganggap bahwa maulid termasuk perkara kebaikan yang sangat dianjurkan dalam Islam.
Dalam kitab Haulal Ihtifal Bidzikri Al-Maulidin Nabawi Asy-Syarif karya As-Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki disebutkan bahwa Ibnu Taymiyyah berkata; “Sebagian orang mendapatkan pahala atas peringatan maulid, dan juga setiap hal yang baru yang dilakukan oleh sebagian orang, entah karena meniru orang-orang Nasrani dalam peringatan kelahiran Isa as atau karena kecintaan dan penghormatan terhadap Nabi saw. Allah akan memberi pahala kepada mereka atas rasa cinta dan kesungguhan tersebut bukan atas bid’ah-bid’ah yang dilakukan”.
Perkataan Ibnu Taymiyyah ini jelas mengandung unsur-unsur anjuran karena menjurus pada satu argumen bahwa siapapun yang melaksanakan maulid Nabi, maka ia akan mendapatkan pahala atas apa yang dilakukannya. Bahkan ketika perayaan maulid itu atas dasar meniru golongan kaum Nasrani yang juga memperingati kelahiran Nabi Isa, maka orang tersebut tetap mendapatkan pahala maulid.
Di sini, titik tekan kebolehan maulid yang dimaksud oleh Ibnu Taymiyyah adalah atas dasar kecintaan kepada Nabi. Pertanyaannya, adakah umat Islam yang merayakan maulid tidak atas dasar kecintaan kepada Nabi? Saya kira hampir tidak ada. Setiap perayaan maulid, di manapun dan kapanpun, selalu dilakukan atas dasar kecintaan kepada Nabi, dan tidak ada maksud untuk membuat-buat perkara baru dalam hal agama.
Selanjutnya, Ibnu Taymiyyah mengatakan, “ketahuilah bahwa sebagian dari amal (maulid) itu ada yang mengandung kebaikan karena terdiri dari berbagai amal yang bersifat syar’i dan di dalamnya juga terdapat keburukan karena mengandung berbagai bid’ah, maka ia bisa disebut buruk jika dilihat dari sisi adanya bid’ah yang merupakan penyimpangan secara keseluruhan dari agama. Hal ini adalah seperti kondisi kebanyakan kaum munafik dan fasik”
Maksud dari perkataan ini adalah, bahwa di dalam perayaan maulid terkandung dua hal sekaligus, yakni kebaikan dan keburukan. Tapi sisi kebaikan ini tidak bisa digugurkan oleh keburukan secara keseluruhan lantaran maulid tidaklah menyerupai tindakan-tindakan kaum munafik dan fasik. Perayaan maulid juga tidak bertujuan untuk melakukan penyimpangan terhadap agama, justru dalam perayaan maulid itu tercermin kecintaan yang mendalam terhadap agama Islam yang diekspresikan melalui perayaan kelahiran Nabi.
Meski begitu, Ibnu Taymiyyah sendiri tidak mau melakukan maulid karena menurutnya, maulid ini lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Tapi Ibnu Taymiyyah tidak mengingkari orang-orang yang ingin melakukannya dan justru mempersilahkannya sampai mengatakan bahwa siapapun yang merayakan maulid, maka dia akan mendapat pahala besar dari Allah SWT.
Ibnu Taymiyyah berkata, “adapun memuliakan maulid Nabi dan menjadikannya sebagai sebuah perayaan tahunan telah dilaksanakan oleh banyak orang dan mereka akan memperoleh pahala yang besar dan penghormatan mereka kepada Rasulullah saw. Sebagaimana telah saya ketengahkan kepada engkau, bahwa perkaya yang dianggap buruk oleh sebagian orang mukmin yang berpendirian tegas terkandang dianggap baik oleh sebagain orang lainnya”.
Pandangan Ibnu Taymiyyah ini sekaligus mengindikasikan bahwa perkara apapun yang dilakukan oleh umat Islam, khususnya hal-hal baru yang tidak ada dalilnya secara pasti, selama perkara itu lebih condong kepada kebaikan ketimbang keburukannya, maka umat Islam tetap dibolehkan melakukannya. Dengan catatan, hal itu dilakukan atas dasar kecintaan kepada Islam dan bukan bertujuan untuk membuat hal-hal baru yang menyimpang.
Dengan demikian, tidak ada alasan bagi siapapun untuk mengatakan bahwa Ibnu Taymiyyah menolak secara mutlak keberadaan maulid. Justru beliau mempersilahkan bagi siapa saja untuk melakukannya. Dan, beliau juga meyakini bahwa maulid termasuk perkaya kebaikan yang ada ganjaran pahala di dalamnya.