Keraton dan masyarakat Yogyakarta merupakan sistem politik pemerintahan dan kehidupan di Jawa yang menggunakan perpaduan antara Islam dan budaya Jawa. Keraton Yogyakarta menjadi salah satu sistem simbol identitas masyarakat Jawa pada umumnya dan masyarakat Yogyakarta pada khususnya, identitas ini berupa sistem kultur yang terdiri dari cara penghadiran diri atau representasi, pemaknaan dan penghayatan hidup, cara pandang hidup, serta nuansa kehidupan batin. Sampai saat ini Keraton Yogyakarta mempunyai peranan yang penting sebagai faktor penentu dalam dinamika kehidupan masyarakat Yogyakarta.
Sikap kebatinan masyarakat Yogyakarta terhadap ketuhanan ialah pasrah, sumarah, menyerahkan diri, nerima, ikhlas dan sabar. Selain itu masyarakat Yogyakarta juga memiliki kepercayaan-kepercayaan terhadap sesuatu yang ghaib, baik itu makhluk halus, dewa, maupun kekuatan-kekuatan ghaib. Kepercayaan yang banyak di kalangan masyarakat Yogyakarta ialah adanya makhluk-makhluk halus atau roh-roh halus, baik yang merugikan maupun menguntungkan. Oleh karena itu mereka berusaha untuk melembutkan hatinya dengan cara melakukan ritual atau upacara tertentu.
Salah satu tradisi Islam yang khas Jawa di Yogyakarta adalah grebeg maulud. Tradisi ini dirayakan setiap tahun sekali untuk memperingati acara Maulud atau hari kelahiran Baginda Nabi Besar Muhammad Saw. Bila melihat praktik dari perayaan tradisi ini, garebeg maulud sangat khas mencerminkan perpaduan antara nilai-nilai Islam dan kejawen, artinya di dalam upacara grebeg, terkadung semangat Islam sekaligus membawa unsur-unsur Jawa.
Dalam tradisi grebeg mulud, ada nilai-nilai Islam yang di simbolkan dalam wujud fisik seperti pakaian, sesaji dan gunungan. Beberapa masyarakat ternyata ada yang belum begitu paham bahwa di dalam tradisi garebeg ada nilai-nilai Islam yang memiliki filosofi yang sangat mendalam.
Secara umum jika mendengar kata sesaji cenderung akan berpikir ke arah yang negatif. Namun ketika tahu bahwa sesaji ternyata memiliki makna filosofis yang berkaitan dengan nilai Islam, maka mereka membenarkan bahwa sesaji memang ada makna dan filosofinya. Masyarakat memaklumi itu, selama sesaji tidak diserahkan kepada makhluk ghaib dan semacamnya melainkan hanya sebagai simbolis.
Walaupun sesaji masih menjadi tradisi Keraton, masyarakat kebanyakan sudah tidak melakukan ritual-ritual menggunakan sesaji. Namun sebagian masyarakat Keraton khususnya daerah Panembahan sebagian dari mereka menerapkan tradisi apeman keliling, tradisi tersebut dilakukan saat bulan ruwah, akan tetapi tradisi ini bukan mereka persembahan sebagai sesaji, yang seperti dilakukan nenek moyang terdahulu, namun sebagai pelestarian kebudayaan meskipun dengan cara yang berbeda.
Masyarakat bisa menerapkan nilai-nilai positif yang ada di salam sesaji dan tidak di salah gunakan untuk hal-hal yang negatif. Misalkan dengan menerapkan makna filosofi dari simbol apem, ketan dan kolak dalam kehidupan sehari-hari, selalu memohon ampun kepada yang maha kuasa karena sebagai manusia kita tidaklah luput dari kesalahan, dan saling maaf dan memaafkan antar sesama.
Makna simbolik yang melekat pada pakaian peranakan yang dipakai oleh para abdidalem sangat bisa di terapkan dan di aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam kegiatan beribadah. Rukun Islam dan Rukun Iman yang di simbolkan ke dalam bentuk pakaian peranakan secara tidak langsung telah di terapkan di kehidupan masyarakat sekitar Keraton. Walaupun itu juga tergantung masing-masing pribadi yang menanggapinya. Namun secara umum masyarakat sekitar Keraton telah menerapkan nilai-nilai Islam tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Gunungan grebeg merupakan unsur yang paling menonjol dalam tradisi grebeg di Keraton Yogyakarta. Gunungan memiliki makna, filosofi dan nilai-nilai Islam yang sangat mendalam, sehingga bagi masyarakat khususnya sekitar Keraton merasakan dampaknya. Bagi masyarakat yang paham dan mengerti apa sebenarnya filosofi yang terkandung di dalam gunungan pasti bisa mengambil hikmah dan bisa di terapkan di kehidupan sehari-hari.
Bagi mereka yang tidak begitu paham dengan filosofi sebenarnya juga percaya bahwa unsur-unsur yang ada di dalam gunungan semua ada makna dan filosofinya. Namun masih sangat di perlukan sosialisasi yang jelas dari pihak Keraton untuk memberi pengertian dan pendidikan terkait dengan nilai-nilai atau filosofi Islam yang terkandung di dalam gunungan grebeg.
Nilai-nilai Islam berupa rukun Islam dan rukun iman sudah diterapkan oleh masyarakat. Karena itu termasuk kewajiban yang telah ditetapkan oleh ajaran Islam. Namun masih ada yang belum bisa dilaksanakan oleh beberapa masyarakat yaitu rukun Islam yang ke 5. Karena memang rukun Islam yang ke 5 atau haji adalah di peruntukkan bagi orang yang mampu. Sedangkan masyarakat sekitar Keraton adalah mayoritas dari kalangan menengah. Walaupun begitu, penulis melihat bahwa masyarakat sekitar Keraton adalah masyarakat yang agamis dan memiliki banyak tokoh-tokoh agama.
Editor: Rohmatul Izad