Memakai wewangian, membakar kemenyan dan buhur merupakan sesuatu yang sunah, baik dilakukan ketika menziarahi kubur atau dalam kesempatan lain, selama dilakukan dengan niat yang baik dan tidak melanggar syariat. Sunah juga meletakkan benda yang masih basah atau memercikkan air di atas kubur.
Dalam Nihayatuz Zain, Syaikh Nawawi Banten menerangkan:
“Disunahkan meletakkan sesuatu yang basah di atas kubur, semisal pelepah kurma dan wewangian, karena benda-benda itu akan memohonkan ampun kepada mayat, selama masih basah. Orang lain tidak boleh mengambil benda itu selama belum kering. Bila telah mengering, dia boleh mengambilnya, sebab orang yang meletakkan sudah tidak mengindahkan benda yang telah mengering… Sedangkan bagi orang yang meletakkan, jika benda yang ia letakkan hanya sedikit, seperti satu atau dua daun kurma, maka ia tidak boleh mengambil daun itu. Sebab daun itu telah menjadi hak mayat. Namun jika benda yang ia letakkan banyak, dia boleh mengambil benda itu untuk diletakkan di atas kuburan lain”.
Keterangan tersebut sesuai dengan keterangan Nabi Muhammad yang diriwayatkan Ibnu Abbas:
“Suatu ketika Nabi melewati sebuah kebun di Madinah atau Makkah. Lalu beliau mendengar suara dua orang yang sedang disiksa dalam kuburnya. Nabi SAW. kemudian bersabda: “Keduanya disiksa. Mereka disiksa bukan karena melakukan dosa besar”. Lalu bersabda lagi: “Ya! Yang satu tidak memakai penutup ketika kencing (air seninya tidak dibersihkan), dan yang lain karena dia melakukan adu domba”. Lalu Nabi meminta pelepah kurma, dan membelahnya menjadi dua, kemudian meletakkan di atas kubur masing-masing. Para sahabat bertanya. Wahai Rasulullah! Kenapa kau lakukan ini? Nabi saw. menjawab: “Semoga Allah meringankan siksa keduanya, selama pelepah ini belum kering”.
Dalam hadits lain disebutkan:
عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ: أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم رَشَّ عَلَى قَبْرِ إبْرَاهِيمَ ابْنِهِ، وَوَضَعَ عَلَيْهِ حَصْبَاءَ
“Diriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya: Sesungguhnya Nabi SAW. memercikkan air di atas kubur putranya, Ibrahim, dan meletakkan kerikil di atas kubur tersebut”.
Menurut penjelasan Syaikh Sulaiman al-Bujairomi dalam Bujairomi Khotib, sebaiknya air yang dipercikkan berupa air yang suci dan dingin. Tujuan dari memercikkan air dingin adalah tafa’ul (pengharapan baik) agar kubur yang ditempati mayat juga menjadi dingin. Air yang dingin itu bahkan sunah dicampur dengan sedikit wewangian, semisal aroma mawar, karena malaikat rahmat menyukai aroma yang wangi.
Yang perlu diperhatikan, jangan sampai menanam pohon atau menyiram air di atas kubur, cukup dipercikkan saja. Apabila akar atau air itu sampai mengenai mayat, maka hukumnya haram. Namun jika tidak sampai mengenai, sebagian ulama ada yang menghukumi makruh, dan ada yang meghukumi haram.
Dalam kesempatan lain, memakai wewangian juga disunahkan, karena pada dasarnya Nabi sendiri menyukai aroma wangi dan sering memakainya. Dalam masalah Imam Ja’far disebutkan, “Membakar dupa atau kemenyan ketika berdzikir, membaca al-Qur’an atau di majelis-majelis ilmu mempunyai dasar dalil dari hadis, yaitu sesungguhnya Nabi Muhammad SAW. menyukai aroma wangi, menyukai minyak wangi, dan beliau pun sering memakainya”.
Sedangkan penggunaan wewangian yang diharamkan adalah penggunaan yang tidak sesuai dengan ajaran syariat. Semisal untuk mengundang setan, untuk sesaji, atau yang lain. Dalam hal ini Syaikh Ihsan Muhammad Dahlan Jampes menjelaskan:
“Termasuk bid’ah yang pertama adalah tipu daya setan terhadap orang awam, yaitu meminyaki pagar dan tiang rumah dengan wewangian, atau mengagungkan mata air, pohon, atau batu dengan mengharap kesembuhan dan terlaksananya hajat-hajat tertentu. Keburukan-keburukan tersebut sangat jelas dan tidak perlu diperjelas lagi”.
Wallahu A’lam bish Shawab.

