Tradisi Ziarah Wali Pitu di Pulau Seribu Pura
x.com

Tradisi Ziarah Wali Pitu di Pulau Seribu Pura

Oleh: M.N Prabowo Setyabudi

Berziarah ke makam tokoh yang dikeramatkan telah menjadi tradisi budaya di kalangan masyarakat muslim di Indonesia, khususnya di Jawa. Tradisi berziarah ada yang dilakukan secara individual, ada juga yang dilakukan secara rombongan atau berjamaah. Bahkan kini budaya ziarah berjamaah semakin hari tampak semakin diminati, terutama oleh kalangan muslim tradisionalis.

Di kalangan penggiat spiritual tertentu, seperti dalam komunitas tarekat, berziarah menjadi kelaziman. Tidak hanya sebatas di dalam negeri, sebagian mereka bahkan sampai ke tanah suci atau makam-makam para nabi untuk berziarah. Tradisi ziarah makam wali juga seringkali dikemas dalam bentuk “wisata religi” atau “ziarah wali”. Dengan kata lain, praktik keagamaan ini telah menjadi salah satu komoditas pariwisata.

Sebagaimana masyarakat di Jawa mengenal ziarah “Walisongo”, di pulau Bali atau juga dikenal dengan Pulau Seribu Pura kini ada fenomena ziarah “Wali Pitu”. Istilah ini mengacu kepada tujuh orang penyebar Islam di Pulau Bali yang dianggap memiliki kekeramata dan kewalian.

Dari ketujuh orang wali itu, empat di antaranya berasal dari kalangan keturunan Arab bergelar Habib, dua orang digelari Syaikh, dan satu di antaranya tokoh lokal dari aristokrat Jawa bergelar Raden. Mereka adalah: Habib Umar bin Maulana Yusuf al-Maghribi, Habib Ali bin Abu Bakar al-Khamid, Habib Ali bin Zainal Abidin al-Idrus, Habib Ali bin Umar Bafaqih, Syaikh Yusuf al-Baghdi, Syaikh Abdul Qadir Muhammad, dan Raden Amangkuningrat (dikenal sebagai Mas Sepuh).

Kuburan mereka kini dikeramatkan dan diziarahi banyak orang. Menariknya, kebanyakan peziarah yang datang justru berasal dari Jawa, dan bukan dari muslim setempat.

Makam “Wali Pitu” ini diperkenalkan dan dipopulerkan oleh tokoh muslim Bali bernama Toyyib Zaen Arifin. Ia dikenal sebagai “penemu” makam Wali Pitu. Bahkan ia juga membuat Manakib Wali Pitu atau Manakibu Sab’atil Auliya, semacam kisah perjalanan hidup ketujuh tokoh tersebut.

Proses munculnya tradisi ziarah Wali Pitu ini, mulai dari penerimaan ilham, awal penemuan, pembuatan manakib, menjadi ritual dan tradisi haul (peringatan kematian) dan peziarahan, hingga bagaimana tradisi itu bersinggungan dengan tradisi budaya setempat yang notabene adalah pemeluk agama lain, merupakan rangkaian proses sosial-budaya yang kompleks. Proses spiritual bagaimana Arifin menemukan makam tersebut juga merupakan pengalaman spiritual yang bersifat personal (spiritual experiences) yang menarik untuk diikuti. Selain itu, munculnya budaya ini tentu mengundang pro dan kontra, baik dengan pemeluk agama lain, maupun dengan kaum muslim sendiri, terutama kalangan muslim modernis.

Syaifudin Zuhri mengamati fenomena budaya ziarah “Wali Pitu” yang sedang tumbuh itu dan menelitinya dalam sebuah disertasi di Universitas Humboldt. Menjadi persoalan utama yang diangkatnya adalah: “Bagaimana Wali Pitu itu ditemukan, dipopulerkan (‘dipasarkan’ kepada khalayak?), dialami, dan dikontestasikan?” di masyarakat.

Buku hasil penelitiannya ini tidak bermaksud mengulas figur para tokoh wali tersebut secara mendetail, melainkan meneliti budaya ziarah sebagai sebuah objek kajian disiplin antropologi dan sosiologi. Juga tidak semua situs makam ia jadikan penelitian mengingat beberapa keterbatasan. Ia menuangkan hasil penelitiannya secara sistematis dalam enam bab buku setebal 300 halaman ini. Tak tanggung-tanggung, buku ini masuk dalam salah satu seri terbitan khusus oleh Leiden University Press (2022).

Penulisnya membagi diskusi menjadi dua bagian utama. Bagian pertama membahas tentang budaya ziarah secara umum di masyarakat, yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat, terutama di kalangan masyarakat tradisional di Jawa.

Selain itu, penulis mengulas tentang proses bagaimana Toyyib Zaen Arifin menemukan makam Wali Pitu tersebut, sehingga di dalamnya mengandung empat persoalan yang dapat didiskusikan, yaitu mengenai penciptaan otoritas (terkait kewalian), penanaman memori (memperkenalkan kewalian kepada masyarakat), kanonisasi (penulisan sejarah wali), dan branding (mempopulerkan) kepada masyarakat. Selanjutnya penulis mendiskusikan aspek yang saling terkait di dalam ziarah Wali Pitu, yaitu antara kepentingan keagamaan dan kepentingan pariwisata, karena bagaimanapun, ziarah Wali Pitu sekarang telah menjadi komoditas ekonomi melalui pariwisata berbalut “wisata religi”.

Pada bagian kedua, penulis membahas secara khusus terkait aspek konflik “otoritas” dan “otentisitas” seputar ziarah makam wali, sebagai bagian dari dinamika pasca munculnya situs makam wali tersebut. Sebab, tidak semua orang menerima dan meyakini begitu saja hadirnya situs makam wali tersebut, sehingga klaim-klaim kewalian dan kekeramatan harus dinegosiasikan ketika menghadapi batas-batas keyakinan orang lain.

Tiga tempat situs ziarah yang ditelitinya menciptakan dinamikanya tersendiri dari sisi klaim otoritas dan otentisitas. Pertama ia menunjukkan kondisi di sekitar makam Ali Bafaqih di Loloan, Bali Barat, yang memunculkan beberapa negosiasi antar kelompok masyarakat terkait keyakinan akan kewalian dan simbol-simbol keagamaan yang lain, mengingat kondisi masyarakat Muslim di sana yang cenderung eklusif.

Selanjutnya, ia menunjukkan kondisi di sekitar kampung Candikuning, makam Habib Umar bin Maulana Yusuf al-Maghribi, yang bersinggungan dari kelompok muslim yang didominasi kelompok modernis sehingga menciptakan negosiasi antar sesama muslim terkait status kewalian dan kekeramatan.

Fenomena tak kalah unik disajikan di bagian akhir, yang terjadi di kampung Seseh Bali Selatan, dimana makam Raden Amangkuningrat terletak berdampingan dengan pura yang sama-sama disakralkan oleh masyarakat Hindu setempat, sehingga kegiatan harus berbagi tempat antara peziarah Muslim dan peziarah Hindu, dan menciptakan relasi antar agama dan hibriditas budaya tertentu.

Sebagaimana banyak tulisan antropologi selalu menarik dari sisi detail kisah dan cerita emiknya. Ulasan ini tentu hanya menyentuh permukaan saja, sehingga pembaca akan menemukan cerita yang lebih detail ketika membaca buku ini secara langsung. Sejauh ini, belum ditemukan edisi buku ini dalam bahasa Indonesia.

Dari sisi kajian akademik, buku ini sangat menawarkan banyak kebaharuan, karena menunjukkan sebuah praktik Muslim tradisional tertentu yang masif terjadi, bukan di Jawa, tetapi justru di tengah masyarakat yang notabene mayoritas beragama Hindu. Juga ditunjang dengan analisis penulisnya yang tajam sebagai peneliti sekaligus praktisi.

Buku ini juga menunjukkan contoh bagaimana sisi sakralitas dan provanitas bertemu, menyingkap beberapa aspek profan di balik sesuatu yang dianggap sakral dalam sebuah kegiatan agama yang berbalut “wisata religi”. Wallahua’lam.

M.N. Prabowo Setyabudi, Peneliti pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Jakarta

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *