Oleh: Nadirsyah Hosen
Kitab Suci seringkali menyampaikan petunjuknya dalam bentuk keindahan sastra, baik dari pilihan diksi, ritme, struktur maupun gaya pembahasannya. Ini terkadang menyulitkan bagi para pembacanya. Yang mereka bayangkan Kitab Suci itu isinya runtut, jelas dan tegas seperti bunyi undang-undang ataupun berisi rumus kehidupan seperti rumus matematika yang begitu rumusnya diterapkan langsung keluar hasilnya.
Ternyata Kitab Suci bukan kitab sejarah meski membahas kisah masa lalu, bukan kitab sains meski membahas fenomena alam semesta, bukan kitab pidana meski membahas berbagai hukuman, dan bukan pula kitab layaknya disertasi doktor yang runtut dan sistematis pembahasannya.
Kenapa Tuhan memilih menurunkan wahyuNya dalam bentuk prosa?
Pernahkah Anda melihat kawan Anda yang tiba-tiba mendadak romantis dan menulis puisi cinta padahal gak pernah blas mengenal siapa itu Rumi, Kahlil Gibran, Sapardi, Rendra atau bahkan Sudjiwo Tejo?
Lantas anehkah Anda ketika Tuhan sudah mendeklarasikan diri-Nya sebagai Dzat yang Maha Pengasih dan Penyayang lantas memilih puisi dan prosa untuk mengungkapkan kasih sayang-Nya dalam Kitab Suci?
Semakin halus dan lembut perasaan Anda, semakin puitis hidup Anda. Apalagi dengan Tuhan yang ar-Rahman dan ar-Rahim. Ini alasan pertama.
Alasan lainnya adalah bentuk prosa bukan saja ekspresi kasih sayang Tuhan, tapi juga cara Tuhan merengkuh berbagai makna di Kitab Suci dalam satu tarikan nafas pembacanya. Bahasa sastra itu bahasa yang inklusif, merangkul berbagai makna tersirat dan tersurat, serta membuka ruang tafsir.
Mereka yang ingin mendapatkan jawaban instan dengan membuka Kitab Suci akan terkejut. Kitab Suci tidak bisa dipahami secara apa adanya (harfiah), apalagi hanya dengan membaca terjemahannya. Ada konteks ayat, sebab turunnya ayat, ada makna umum dan makna khusus, ada relasi antara satu ayat dengan ayat lainnya, dan ada metode untuk memahami ayat yang seolah saling kontradiksi.
Dan ajaibnya Tuhan memilih sastra sebagai cara merengkuh semua kerumitan pesan Kitab Suci itu.
Alasan ketiga: Ketika utusan Tuhan hadir dan menerima wahyu, yang dihadapi adalah masyarakat jahiliyah yang keras kepala dan keras hatinya. Bagaimana Tuhan melembutkan hati mereka? Hampir setiap hari mereka dihidangkan ayat dari Kitab Suci yang dibawa malaikat Jibril, dimana ayat-ayat itu mengandung keindahan sastra yang penuh pesona.
Sekeras apapun hati mereka, ketika ayat suci bercorak keindahan sastra setiap hari turun dari langit, menghujam kalbu mereka, gak pakai lama…hati mereka menjadi luluh. Tak aneh Kitab Suci ini bukan sekadar petunjuk (hudan) tapi juga obat (syifa) bagi cangkir jiwa mereka yang kosong dari cinta.
Kasih,
Kita pun bisa membuat puisi yang menjadi kitab kehidupan:
“Let me lie on your chest for a while, not just a poem but I’ll write a whole poetry book with your heartbeats.”
(Biarkan ku rebahkan kepalaku di dadamu sejenak, bukan cuma sebaris bait, tapi akan ku tulis lengkap kitab puisi dengan debar detak jantungmu)
Sumber: FB Nadirsyah Hosen
Nadirsyah Hosen. Dosen di Melbourne Law School