Muslim Tionghoa di Masa Kolonial
islami.co

Muslim Tionghoa di Masa Kolonial

Konon, masyarakat Muslim Tionghoa memiliki kontribusi penting dalam menyebarkan Islam di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Tetapi boleh dikata mereka tak pernah bisa melepas statusnya sebagai “yang minoritas di dalam minoritas”.

Muhammad Ali (2007:42), dalam Chinese Muslims in Colonial and Postcolonial Indonesia, menyebutkan, Muslim Tionghoa memiliki orientasi keagamaan yang beragam. Seperti terekspresikan dalam literatur lokal, kecenderungan itu terbagi menjadi tiga, yakni kejawen atau mistisisme Jawa, Islam ortodoks, dan Islam politik.

Kecenderungan pertama direpresentasikan oleh Serat Tasawuf, atau risalah mistik. Dalam catatan Republika (2012: 12), berjudul Cina Muslim dan Runtuhnya Republik Bisnis, menyebutkan, terdapat berbagai sumber literatur seperti Kawroeh Agami Islam, Sjair Ilmoe Sedjati, dan Sjair Nasehat. Buku-buku ini mengajarkan tentang agama Islam dengan mengadopsi ide-ide Jawa. Kedua buku yang terakhir telah mengalami editing ulang yang dilakukan oleh Tan Koen Swie, dan dikaitkan dengan Kyai Kiem Mas selaku anggota keluarga Han yang memeluk Islam dengan bumbu sinkretisme Jawa.

Kecenderungan kedua ditunjukkan dalam karya Sjair Tjioko dan Petjoen. Tidak ada yang tahu siapa pengarang dua karya ini. Yang pasti, buku ini berisi kritik atas kepercayaan takhayul masyarakat Tionghoa. Dalam tradisi Cina, Cioko sering disebut sembahyang rebutan yang merupakan upacara memberi makan arwah terlantar. Usai sembahyang, masyarakat berebut makanan yang menjadi sesajen. Sedangkan Petjoen, adalah pesta air untuk memperingati bunuh diri penyair Qu Yuan.

Kecenderungan ketiga Muslim Tionghoa adalah berpolitik. Ini terlihat dari karya Kho Tjieng Bie yang berjudul Sjair Serikat Islam. Kumpulan puisi ini diterbitkan di Batavia pertama kali pada 1913.

Jelas, keragaman dalam religiusitas memperlihatkan Muslim Tionghoa telah sedemikian berbaur dengan penduduk lokal. Tiga kecenderungan ini merupakan gambaran umum tentang masyarakat Muslim Tionghoa di Nusantara, terlebih di Pulau Jawa. Bahwa dalam kelompok sekecil apa pun, mereka selalu terpecah ke dalam tiga golongan.

Tionghoa yang datang ke Jawa, Muslim atau bukan, adalah pedagang dan secara bertahap menjadi pemukim mapan di sepanjang pantai utara Jawa dan Sumatera. Mereka menjadikan Jawa sebagai batu loncatan menuju Timur Tengah. Ketika Belanda datang ke Pulau Jawa kali pertama, interaksi Tionghoa dan pribumi telah mapan. Tionghoa tidak hanya terkonsentrasi di kota-kota pelabuhan, tetapi juga di desa-desa dan menjalin hubungan timbal balik tanpa konflik.

Sumber Republika (2012: 4) menyatakan, integrasi Tionghoa Muslim dan no-Muslim dengan masyarakat pribumi menjadi faktor penting perkembangan kota-kota di Jawa dan tumbunya pusat-pusat aktivitas ekonomi. Sejarawan Denys Lombard menunjukkan banyak bukti sebelum Jan Pieterszoon Coen tiba di Pulau Jawa, di mana masyarakat Tionghoa di Jawa terdiri atas dua kelompok; pemeluk Islam dan memegang kepercayaan lelulur.

Di Banten misalnya, Tionghoa yang memeluk kepercayaan leluhur tinggal di permukiman eksklusif. Sementara Muslim Tionghoa berbaur dengan penduduk lokal demi kenyamanan peribadah. Pada dekade berikutnya, situasi serupa berkembang di sepanjang pantai utawa Pulau Jawa dan membentuk Sino-Javanese Muslim Culture. Sepanjang abad 16-17, populasi Tionghoa Muslim terus meningkat dan memainkan peran penting.

Sebagai minoritas dalam minoritas, sebenarnya Muslim Tionghoa relatif tidak diperhitungkan oleh kolonial. Belanda hanya sempat khawatir  dengan pertumbuhan Muslim Tionghoa setelah pembantaian 1740. Mereka menyebut Muslim Tionghoa sebagai Getornden Chineezen atau orang Cina yang telah berubah, dan menempatkan di antara Chineezen dan pribumi.

The Encyclopedia of Chinese Overseas (1998: 172) mencatat, konversi masyarakat Tionghoa ke Islam terus terjadi sampai penghujung abad ke-18. Di Batavia, Surabaya, Madura, dan kota-kota lain di Jawa, etnis Tionghoa melakukan potong taucang (kuncir), menanggalkan celana komprang, dan mengenakan pakaian pribumi.

Padahal, Tionghoa non-Muslim harus membayar pajak jauh lebih mahal dari pribumi karena statusnya sebagai orang asing, sedangkan Tionghoa yang telah masuk Islam diidentikkan Belanda sebagai pribumi. Akibatnya, pendapatan “pajak kepala” ke kas pemerintah kolonial jadi menurun. Belanda akhirnya bertindak cepat dengan mengeluarkan regulasi baru yang melarang keras konversi dan pembauran dengan penduduk pribumi.

Belanda menuduh konversi dilakukan etnis Tionghoa untuk menghindar pajak yang tinggi dan mendapatkan akses berdagang lebih luas. Sebagai Chinezen, orang Tionghoa hanya bisa berdagang di lingkungannya. Sementara itu, etnis Tionghoa yang terlanjur memeluk Islam dan berbaur dikeluarkan dari permukiman pribumi dan dikembalikan ke permukiman Tionghoa. Wijk (permukiman) Tionghoa dipecah menjadi dua; Muslim dan non-Muslim dengan masing-masing dipimpin seorang kapten.

Namun demikian, beberapa tahun sebelum perang Jawa, populasi Muslim Tionghoa di Batavia dan kota-kota lain di Jawa mengalami titik paling rendah. Saat perang Jawa, tepatnya tahun 1827, Belanda melakukan reorganisasi permukiman etnis Tionghoa dengan menghapus posisi kapten Muslim Tionghoa. Situasi menjadi lebih sulit bagi Tionghoa, ketika Pangeran Diponegoro melakukan kebijakan nonkompromi kepada seluruh etnis Tionghoa.

Raden Ayu Yudakusuma, salah satu panglima Pangeran Diponegoro, secara terus-menerus menyerang etnis Tionghoa; tidak peduli Muslim atau bukan. Serangan terhadap Tionghoa harus dilihat sebagai strategi perang. Pangeran Diponegoro melihat Tionghoa sebagai sumber dana dan logistik bagi Belanda dan harus dihancurkan. Strategi ini nyaris berjalan dengan sempurna.

Menurut The Siauw Giap (1999: 54) dalam Islam and Chinese assimilation in Indonesia and Malaysia, Perang Jawa menyebabkan Tionghoa yang telah menjadi Muslim kembali ke kepercayaan leluhur. Sampai abad ke-20, posisi Muslim Tionghoa terus memudar. Mereka terserap kembali ke dalam masyarakat induk dan menjadi Tionghoa seutuhnya. Kalaupun ada Tionghoa yang dengan sadar memeluk Islam, mereka tidak lagi disebut peranakan, tetapi mualaf. Pribumi tidak sepenuhnya bisa menerima mereka. Bahkan, menjadi mualaf abusive word karena pribumi tetap mencurigai mereka.

Terkait Perang Jawa, Pangeran Diponegoro mungkin tidak benar-benar menjalankan kebijakan nonkompromi terhadap Tionghoa. Banyak prajuritnya yang terlibat sejak awal perang berasal dari etnis Tionghoa, memeluk Islam, dan telah menjadi Jawa. Ong Tae Hae, seorang petualang Cina abad ke-19 dalam laporannya menemukan banyaknya etnis Tionghoa yang menanggalkan identitas mereka, mengenakan pakaian Jawa, memeluk Islam, dan belajar Alquran.

Terlepas dari pro kontra apakah Muslim Tionghoa beralih kembali ke kepercayaan leluhurnya pada abad ke-19, namun jelas bahwa abad ini menandakan menurunnya jumlah penganut Muslim Tionghoa di Nusantara, dan penurunan ini berlanjut hingga abad ke-20. Penulis juga meyakini, catatan The Siauw Giap berjudul Islam and Chenese assimilation in Indonesia and Malaysia, telah memberikan cukup bukti yang valid bahwa sampai abad ke-20, Muslim Tionghoa terus memudar.

Benny G Setiono (2000: 61), dalam bukunya berjudul Tionghoa dalam Pusaran Politik, menyebutkan bahwa di awal abad ke-20, istilah “bangsa” menjadi begitu populer di Jawa. Masyarakat Tionghoa secara umum terpecah ke dalam tiga kelompok orientasi; Kelompok Sin Po yang pronasionalis RRT, Chung Hwa Hui (CHH) pro-Belanda, dan Partai Tionghoa Indonesia (PTI) pronasionalisme Indonesia. Pertanyaannya, di mana posisi Muslim Tionghoa?

Kata “bangsa” umumnya menimbulkan kebingungan di kalangan Muslim Tionghoa. Situasi ini dipersulit dengan kerusuhan anti-Tionghoa di Kudus tahun 1918. Lebih menyulitkan lagi ketika Semaoen, tokoh kiri Serikat Islam (SI), memberi penekanan kepada kata “bangsa”. Bahwa, menurutnya, pribumi yang tambah miskin dan miskin melihat mereka yang kaya khususnya masyarakat Tionghoa sebagai bangsa lain. Pribumi yang miskin akan selalu memperlihatkan kebencian kepada orang lain yang kaya. Mereka yang miskin dipersatukan oleh ras dan agama.

Fakta ini menunjukkan bahwa tidak ada gerakan nasionalis yang mencoba memasukkan Tionghoa, Muslim dan non-Muslim, sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Bahkan, pengunduran diri Tjipto Mangoenkoesomo dari Partai Nasional Indonesia (PNI) juga bisa dilihat dalam konteks ini. Namun, kebingungan itu relatif hanya milik masyarakat Tionghoa di Pulau Jawa. Di wilayah lain seperti Sumatra, masyarakat Tionghoa tak banyak bergulat dengan persoalan identitas kultural dan kebangsaan.

Terlapas dari itu semua, fakta bahwa saat ini begitu sedikit jumlah Muslim Tionghoa, sebagian besar disebabkan oleh gaya trategi perang yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa di abad ke-19, dan menjadi semakin memudar sampai pra-kemerdekaan Indonesia. Meski sebelum kemerdekaan identitas kebangsaan mereka dipertanyakan, baik masyarakat Tionghoa yang Muslim atau pun bukan, tetapi sejak kemerdekaan Indonesia, mereka secara sah menjadi bagian dari masyarakat Indonesia hingga sekarang.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *