Oleh: M.N. Prabowo Setyabudi
Sebagai buntut dari serangan bom di Paris dan Saint-Denis yang menewaskan 130-an orang oleh sekelompok bersenjata anggota ISIS pada 13 November 2015, beberapa tahun belakangan terjadi diskusi untuk menjawab apa dan mengapa terorisme itu terjadi? Dua sarjana Perancis yang selama ini mengamati persoalan Islam dan radikalisme, Gilles Kepel, sarjana politik penulis Jihad: the trail of Political Islam (2003), dan Olivier Roy, sarjana sosiologi penulis The Failure of Political Islam (1992), saling mengemukakan argumen menjawab apakah Islam sendiri menjadi akar persoalan.
Perdebatan kedua islamolog itu adalah seputar akar persoalan apa itu islam radikal, dan bagaimana peran Islam di dalam radikalisme. Keduanya mewakili dua pandangan mainstream yang bertentangan di Barat dalam melihat hubungan Islam dan radikalisme.
Argumen dan perdebatan mereka diyakini tidak hanya memiliki implikasi untuk Eropa dan Timur Tengah, tetapi juga Asia yang memiliki populasi Muslim yang besar. Argumentasi Kepel, yang banyak mengamati fenomena dunia Arab, mengerucut pada substansi yang ia sebut “radikalisasi Islam” (radicalization of Islam).
Menggunakan pendekatan strukturalis, ia meyakini bahwa dalam persoalan radikalisme, individu tidaklah berperan; sistemlah, dalam hal ini sistem agama, yang lebih dominan; persoalannya terletak pada sistem agama; agama, dalam hal ini Islam, telah terradikalisasi dan menjadi akar persoalan kekerasan; Islam dengan sistem ideologi dan politik di dalamnya sendiri, Islam politik salafi radikal seperti ISIS dan al-Qaeda, yang menjadi sumber segala persoalan.
Itu pula yang diyakininya terjadi dengan beberapa kelompok muda Muslim-militan jihadis di Perancis yang selama ini berada di di balik serangan terror di Perancis, dan gerakan politik jihadisme yang mengancam dunia Barat. Ia juga menyatakan, munculnya terorisme bertepatan dengan munculnya generasi ketiga Muslim secara bersamaan di Prancis dan apa yang dia sebut sebagai “gelombang Jihad ketiga.” Pandangan Kepel ini sering diasosiasikan mewakili cara pandang dominan selama ini dalam teori radikalisme Barat.
Sementara Olivier Roy, yang banyak mengamati fenomena Islam di Asia Tengah, dengan cara pandang sosiologis mengemukakan substansi yang sebaliknya. Ia melihat kekerasan radikalisme sebagai “gejala sosial”, bahwa yang terjadi adalah sebentuk “islamisasi radikalisme” (islamization of radicalism) karena para pelaku teroris itu hanya menggunakan Islam sebagai kedok untuk membungkus tindakan radikal, artinya menggunakan sampul Islam untuk menutupi kejahatan.
Menurutnya, persoalannya tidak terletak pada agama, dan ideologi agama tidak terlalu berperan signifikan dalam kasus jihadisme. Persoalannya terletak pada struktur sosial di luar agama, kegagalan kohesi social, aktualisasi diri yang dilegitimasi oleh hasrat keagamaan yang meluap. Problem esensialnya bukanlah ISIS, melainkan pada masyarakatnya.
Roy lebih tertarik dengan pendekatan “horisontal behaviouristik” untuk melacak penyebab spesifik keterlibatan individu dan lingkungan sosialnya yang membawanya pada radikalisme. Identifikasi proses radikalisasi diperlukan agar bisa mengambil kebijakan preventif lebih tepat. Hasil pengamatannya menunjukkan tindakan radikal itu lebih mengarah pada trayek personal daripada komunitas.
Di sinilah tampak terorisme sebagai pemberontakan kaum muda yang mengalami kegalauan identitas atas kondisi masyarakatnya, yang diartikulasikan dengan narasi mulia Islam tentang jihad. Merekalah, para pemuda pemberontak, yang kemudian diinstrumentalisasi oleh ISIS untuk tujuan strategis.
Para radikalis, yang umumnya dari kelompok migran dan pemeluk baru agama, kemudian tertarik pada bentuk Islam Salafis, kelompok konservatif yang umumnya menolak budaya di Eropa, yang tertarik pada kekerasan modern yang jauh dari konsepsi jihad tradisional. Gagasan kelompok tersebut jauh dari konsepsi politik Islam –sebagaimana dibayangkan Kepel–, dan lebih banyak didorong oleh “imajinasi” daripada pemikiran rasional tentang politik Islam.
Roy melihat aksi-aksi terror yang utamanya dilakukan para imigran dari Asia dan Afrika, tampak sebagai pemberontakan generasi muda Eropa daripada sebagai fenomena ideologis. Generasi muda imigran yang disebut “generasi kedua” dan “generasi ketiga” imigran yang menghadapi budaya sekuler di Eropa, menghadapi “deteritorialisasi” baru, rasa frustasi dan tekanan sosial dan psikologis berhadapan dengan dunia Barat yang kosmopolitan, mayoritas non-Muslim, sama sekali berbeda dengan keyakinan mereka, dan bertahan dalam suasana perasaan sebagai minoritas yang kalah.
Para generasi muda itu menghadapi gagap budaya di tengah budaya urban yang baru dan ruang yang lebih kosmopolitan. Mereka mengalami keterasingan dari masyarakatnya, dan sampai batas tertentu mengalami “ketercerabutan dari akar budayanya sendiri”. Akibat dari inferioritas kompleks di tengah budaya non-Muslim, mereka melarikan diri untuk disengagement of culture and religion, dan mencari relasi sosial yang lebih eksklusif sesama identitas agama. Gagal berasimilasi dengan kebangsaan baru, agama menjadi satu-satunya penanda identitas mereka, diikat oleh rasa solidaritas agama universal dan perjuangan ummah. Mereka kemudian mengalami perasaan “kelahiran kembali” (born again), dengan berbagai ekspresi keagamaan yang lebih mirip gerakan neo-fundamentalis.
Dominasi sekular yang kuat di satu sisi, dan ketidakmampuan mewujudkan ide-ide politik mereka, menjadikan mereka melakuan cara-cara ekstrim dan meniti jalan kekerasan dan mencari umat baru, new ummah, dalam jaringan Islam global. Dalam imajinasi mereka, kemudian, budaya Eropa harus disterilkan dari seluruh unsur budaya non-Islami yang tidak sesuai dengan keyakinan mereka. Mereka kemudian terbuai oleh ide-ide politik Islam (islamisme) jihadisme dan Islamic state. Namun, upaya politik mereka yang selalu gagal membuat mereka semakin militan.
Akar dari semua itu, pandangan Roy mengenai radikalisme tampak ada labirin sosial-budaya yang tebal. Dalam fenomena radikalisme, ada spektrum kekerasan, tetapi juga pada hulunya, adalah persoalan sosiologis yang kompleks. Alex S. Wilner, misalnya, menulis bahwa transformasi personal menjadi radikal di Eropa sangat dipengaruhi faktor sosio-politik, karena kegagalan dalam integrasi sosial-politik beberapa kelompok Muslim, pengalaman diskriminasi, viktimisasi, dan xenophobia, kegagalan untuk berasimilasi dan membaur secara wajar dengan penduduk senegaranya, sehingga mereka mencari rekan yang senasib dan membuat asosiasi kecil yang eklusif daripada masuk dalam komunitas bangsa.
Fenomena “islamisasi radikalisme” di Perancis, dengan demikian, mencerminkan sebentuk aksi reaksi atas konflik yang terjadi dalam masyarakat urban yang tidak dapat membaur, sehingga mengundang aksi terorisme dan menjadikan agama sebagai pelarian.
Analisis sosiologis, geografis, dan politis Roy menolak persepsi popular di Barat tentang Islam, bahwa Islam dipersepsikan sebagai kekuatan terpadu untuk merebut negara di Asia dan Arab; bahwa Islam adalah kekuatan negatif yang ada di balik persoalan-persoalan besar dunia; bahwa diperlukan perang territorial untuk melawan para terroris; bahwa sedang berlangsung upaya yang massif untuk membangun kesatuan ummah, dan lain sebagainya.
Fenomena radikalisme Eropa yang banyak diaktori oleh kaum imigran (tidak semuanya, belakangan muncul aktor dari kelompok non-imigran) tampak sebagai pemberontakan generasi muda yang “nihilistik”, tidak mempedulikan apa-apa lagi untuk mewujudkan “imajinasi” mereka.
Dengan demikian, jika seturut dengan argumen sosial Olivier Roy, pertama, radikalisme bukanlah (utamanya) fenomena keagamaan; kedua, radikalisasi tidak muncul dari aktivisme politik; ketiga, radikalisasi tidaklah mencerminkan konsentrasi yang nyata terhadap apa yang terjadi dengan umat Muslim yang lain di Timur Tengah atau di mana saja; keempat, radikalisasi tidak tumbuh dari fundamentalisme agama, misalnya salafisme; kelima, radikalisasi tidak benar-benar berakar dari ideologi; radikalisasi bukan respon dari marginalisasi sosio-ekonomi. Ini adalah problem “generasional”, generasi kedua dari imigran yang sedang memberontak di tengah masyarakat urban Eropa.
M.N. Prabowo Setyabudi, Peneliti pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Jakarta