Mengurai kembali sejarah Majapahit mulai dari runtuhnya hingga munculnya kerajaan-kerajaan Islam di bumi Jawa, membuat kita menemukan berbagai peristiwa penting yang menakjubkan. Intrik politik, strategi perang, perluasan wilayah, hingga pertarungan budaya, merupakan peristiwa penting yang secara tidak langsung telah membentuk suatu peradaban baru di bumi Nusantara. Warisan kebudayaan Majapahit tidak hanya bisa dilihat dari segi arsitektur, tetapi juga dalam ranah politik, sosial, budaya, dan ekonomi.
Kekuasaan Majapahit yang membentang hampir ke seluruh wilayah Nusantara sebenarnya turut andil dalam membentuk kebudayaan Indonesia. Di ranah politik, ketika Nusantara dipersatukan kembali dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), gagasan warisan Majapahit muncul dalam konsep kepemimpinan nasional. Seperti adanya semboyan Bhineka Tunggal Ika, tidak lain adalah kata mutiara yang dirangkai oleh Empu Tantular, seorang pujangga Majapahit pada abad ke-13 M.
Di kemudian hari, kedatangan Islam yang telah berhasil menggantikan posisi Majapahit, juga menjadi warna tersendiri dalam dinamika sejarah Nusantara. Pasalnya, sejak Islam menduduki bumi Nusantara, kerajaan-kerajaan Hindu-Budha seakan kehilangan marwahnya. Islam kemudian berhasil menjadi imperium baru yang sangat mengagumkan.
Menurut Muhlisin (2015), Majapahit dalam dinamika sejarah Nusantara menempati posisi yang sangat penting. Majapahit telah membawa harum bumi Nusantara ke berbagai belahan dunia, terutama kawasan Asia Tenggara. Kemegahan Majapahit dan kekuatan militer di bawah kepemimpinan Patih Gajah Mada membuat Majapahit disegani bangsa-bangsa asing. Karenanya, tidak salah bila Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar Indonesia, sangat mengagung-agungkan kejayaan Majapahit.
Meskipun, sejak berdirinya, Majapahit banyak mengalami pasang surut. Seperti kerajaan atau dinasti-dinasti lainnya, dinamika sejarah Majapahit tidak bisa lepas dari berbagai gejolak sosial-politik saat itu. Tercatat, sejak Raden Wijaya mendirikan Kerajaan Majapahit, telah terjadi berbagai pemberontakan, di antaranya; pemberontakan Rangga Lawe (1292 M), pemberontakan Lembu Sora (1200 M), pemberontakan Nambi (1316 M), pemberontakan Kuti (1319 M), Perang Bubat (1357 M), dan Perang Paregreg (1404 M).
Terlepas dari berbagai pemberontakan maupun peperangan yang terjadi sejak berdiri hingga runtuhnya, Majapahit merupakan kerajaan yang memiliki pengaruh besar di Nusantara. Kekuasaannya yang begitu luas dan terbagi menjadi 14 daerah bawahan secara tidak langsung turut andil dalam pembentukan kebudayaan Indonesia. Hal ini bisa dilihat berdasarkan corak kondisi sosial, politik, dan budaya.
Namun demikian, pasa masa akhir kejayaan Majapahit, terutama setelah kekuasaan Wikramawardhana, Majapahit diliputi oleh perang antar keluarga raja. Di mana perang ini membuat Majapahit kehilangan beberapa daerah bawahannya. Selain itu, penyebaran Islam yang semakin pesat dan disertai dengan munculnya kerajaan-kerajaan Islam membuat Majapahit semakin kehilangan pamornya.
Akibat konflik internal kerajaan yang berkepanjangan dan proses Islamisasi mengalami perkembangan yang masif dan sistematis, lama-kelamaan Majapahit runtuh total. Mengenai keruntuhan Majapahit ini sebetulnya telah banyak dikaji dan dikemukakan oleh para ahli sejarah. Sebagian di antara mereka mengatakan bahwa Kerajaan Majapahit runtuh pada tahun 1478 M. hal ini didasarkan pada sebuah kronogram atau candrasengkala yang berbunyi “Sirna Ilang Kretaning Bumi”, yang berarti “Sirna Hilanglah Kemakmuran Bumi”. Menurut para ahli, candrasengkala ini sebenarnya bukan gambaran dari keruntuhan Majapahit, melainkan menggambarkan gugurnya Bhare Kertabumi, raja ke-11 Majapahit, oleh Girindrawardhana.
Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai kapan tepatnya Kerajaan Majapahit runtuh, peristiwa runtuhnya Majapahit setidaknya didahului oleh beberapa peristiwa penting. Peristiwa-peristiwa itu antara lain, perang saudara antarkeluarga raja, hilangnya kekuasaan pusat di luar daerah sekitar ibu kota Majapahit, dan penyebaran agama Islam yang sejak 1400-an berkembang pesat di Makala dan diikuti dengan munculnya kerajaan-kerajaan Islam yang kemudian menetang kedaulatan Majapahit. Pada titik ini, penulis akan lebih fokus pada bagaimana peran Islam dalam prosesi runtuhnya Kerajaan Majapahit.
Ketika Islam masuk dan berkembang pesat di Samudra Pasai dan Malaka, penduduk Majapahit yang tinggal di pesisir banyak yang beralih ke agama Islam. Hal ini disebabkan, Pantai Utara selain sebagai tempat pertemuan berbagai macam kebudayaan, juga kurang mendapat pantauan dari pusat kerajaan.
Slamet Muljana (2005) menuturkan, sebagaimana juga dipaparkan oleh Purwani dalam “Ensiklopedi Kebudayaan”, banyak di antara penduduk pesisir yang memeluk Islam berakibat pada tumbuhnya perkampungan pendatang dan juga perkampungan Islam. Disadari atau tidak, adanya perkampungan baru itu telah menggusur urat nadi perekonomian di Majapahit. Perekonomian di daerah pantai, secara perlahan-lahan beralih ke tangan pendatang. Hal ini sangat jelas berpengaruh terhadap proses hancurnya Majapahit.
Seiring dengan semakin sirnanya pamor Majapahit, kota-kota besar di daerah pesisir dikuasai oleh para pedagang Muslim. Di mana para saudagar-saudagar itu kemudian membawa bandar-bandar dagang baru yang dapat menyaingi bandar dagang dari Majapahit. Misalnya seperti daerah bernama Bintaro atau Demak (dulu bernama desa Glagah Wangi), merupakan salah satu daerah pesisir yang menjadi pesaing berat bandar dagang Majapahit. Banyak para pedagang dari berbagai negara yang berkumpul di Demak untuk berdagang. Kemudian menetap di sana dan menyebarkan Islam di daerah itu.
Pada masa Raja Kertabhumi memerintah Majapahit (1474-1478 M), Demak dipimpin oleh seorang Adipati yang beragama Islam, yaitu Raden Patah. Raden Patah adalah putera Raja Kertabhumi dari istri Cina, yang diasung oleh Arya Damar. Di kemudian hari, Demak di bawah kepemimpinan Raden Patah menjadi daerah yang cukup maju, dan dikenal oleh kalangan pedagang, baik dari dalam maupun luar Nusantara.
Dalam perkembangannya, orang-orang Islam yang bermukim di Demak dipersatukan oleh Raden Fatah dan berhasil menjadi satu kekuatan besar bagi Kadipaten Demak. Kekuatan itu meliputi militer, pemerintahan politik, dan bidang perekonomian. Kekuatan besar ini lalu menjadi modal bagi Demak untuk melepaskan diri dari cengkraman Majapahit. Dalam perkembangan selanjutnya, Demak yang mendapatkan bantuan dari daerah-daerah pesisir seperti Jepara, Surabaya, Kudus, dan Banten secara terang-terangan memisahkan diri dari Majapahit.
Sejak tahun 1478 M, Demak menjadi kerajaan yang berdiri sendiri dan bercorak Islam. Raja pertamanya adalah Raden Fatah, yang bergelar Sultan Sri Alam Akbar. Selama kurang lebih tiga tahun, Raden Fatah telah menorehkan prestasi luar biasa besar. Sang Raja beserta para pengikutnya berhasil menguasai Semarang. Pada tahun 1517, Demak menyerbu Majapahit dan berhasil memutus hubungan antara Majapahit dan Portugis. Pada penyerangan berikutnya, sekitar tahun 1527, Demak berhasil menghilangkan Majapahit dari Bumi Nusantara.