Muhammadiyah merupakan salah satu ormas Islam terbesar kedua di Indonesia setelah Nahdlatul Ulama. Organisasi ini didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada tahun 1912, tiga belas tahun lebih awal dari berdirinya Nahdlatul Ulama.
Sejak awal berdirinya, organisasi ini memusatkan diri pada gerakan pemurnian ajaran Islam dibarengi dengan gerangan sosial keagamaan yang berorientasi pada pengembangan sistem pendidikan modern dan bergerak di bidang sosial-kesehatan. Itulah kenapa Muhammadiyah menjadi salah satu organisasi yang paling maju dalam mengembangkan pendidikan dan kesehatan.
Model pemurnian ajaran Islam di Muhammadiyah bertitik tolak pada banyaknya praktik keagamaan kala itu yang dianggap tidak mengindahkan syariat Islam dan banyak praktik-praktik takhayul dan bi’dah yang dianggap bertentangan dengan Islam. Sehingga mereka merasa berkewajiban memberangus segala bentuk takhayul di masyarakat dan berbagai model praktik bid’ah.
Dengan bertitik tolak pada pemurnian ajaran Islam ini, Muhammadiyah mengembangkan model keagamaan yang bersifat egaliter. Artinya, secara individual mereka menganggap semua umat Islam setara dan tidak ada yang lebih unggul dari yang lainnya. Dari pemahaman ini, mereka menolak segala bentuk pengkultusan atau mengagung-angungkan secara berlebihan terhadap ketokohan.
Berdasarkan cara pandang egaliter inilah, di Muhammadiyah tidak mengenal habib. Bagi mereka, semua orang punya derajat sosial dan martabat yang sama di sisi Allah, tanpa harus membeda-bedakan. Kendati ia keturunan Nabi, harus disikapi secara sama, yakni saling menghormati secara tidak berlebih-lebihan.
Terlepas dari polemik habaib yang akhir-akhir ini memanas, model habib secara khusus hanya dikenal di kalangan NU atau Nahdliyin. Dalam tradisi NU, gelar ‘habib’ sering digunakan untuk menghormati keturunan Rasulullah Saw. Gelar ini sering diberikan kepada individu-individu yang dianggap memiliki garis keturunan langsung dari Rasulullah atau dari keluarganya yang terhormat, seperti Sayyid atau Syarif.
Namun, di Muhammadiyah tidak mengenal atau lebih tepatnya menganut gelar habib. Sebagaimana dikatakan di atas, organisasi ini memiliki pendekatan yang lebih egaliter dalam Islam dan menekankan pada ajaran Islam yang lebih universal. Oleh karenanya, mereka tidak menggunakan gelar-gelar yang berhubungan dengan keturunan Nabi, baik dari istilah Sayid maupun habib.
Tiadanya habib di Muhammadiyah karena sejak dulu Muhammadiyah tidak suka mengkultuskan orang, baik orang itu masih hidup atau sudah mati. Dari sini pula kita bisa memahami kenapa Muhammadiyah enggan berziarah kubur, karena hal itu dianggap salah satu bentuk pengkultusan terhadap kuburan yang berpotensi menyalahi akidah Islam. Inilah model ajaran Islam yang dipraktikan oleh Kiai Ahmad Dahlan.
Kendati harus diakui bahwa Muhammadiyah sebetulnya tidak sekaku yang dibayangkan. Sebab, pada masa awal-awal berdirinya, Muhammadiyah masih sangat kuat berkarakter kultural. Organisasi ini berdiri di lingkungan pusat peradaban dan kebudayan Jawa, sehingga tidaklah mungkin bagi mereka untuk menghilangan semua jenis kebudayaan Jawa. Mereka hanya akan menghilangkan hal-hal yang bertentangan secara tegas dengan syariat Islam.
Model kekakuan Muhammadiyah dalam beragama dapat dilacak sejak adanya pengaruh Salafi-Wahhabi yang terjadi pada tahun 1930-an, ketika itu banyak orang Indonesia yang belajar di Makkah dan kembali ke Indonesia sebagai Wahhabi dan, secara perlahan banyak mempengaruhi model dakwah Muhammadiyah.
Meski pengaruh Wahhabi ini mulai surut dan banyak ditentang oleh elit-elit Muhammadiyah sendiri, tetapi organisasi ini sudah terlanjur dianggap memiliki banyak kemiripan dengan Wahhabi. Terlepas dari itu semua, bahwa Muhammadiyah merupakan organisasi Islam yang khas Indonesia, ia lahir dan tumbuh di Indonesia dengan mengamalkan nilai-nilai yang bercorak keindonesiaan.
Kembali ke soal habib, memang di Muhammadiyah tidak ada habib, tetapi mereka tetap akan menghormati kepada orang yang dianggap keturunan Nabi. Di organisasi ini hanya tidak dikenal panggilan habib, meski tetap hormat terhadap dzuriyah Nabi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tiadanya habib di Muhammadiyah hanya soal tiadanya panggilan habib atau tradisi pengkultusan tokoh. Di sisi lain mereka tetap menghormati dan mengikuti ajaran Islam dengan pendekatan yang berbeda dalam konteks sosial dan kelembagaan.
Sumber. Republika
Editor: Rohmatul Izad