Oleh: Muhammad Isbat Habibi
Islamadina.org – Di antara bait-bait hikmah yang diwariskan Imam Syafi‘i dalam Diwannya, terselip satu ungkapan yang harusnya menjadi perhatian setiap pencari ilmu. Beliau berkata:
إذا لم يزِدْ عِلمُ الفتى قلبَهُ هُدىً # وسيرتَهُ عَدلاً وأخلاقَهُ حُسْنا
“Apabila ilmu tidak menambah petunjuk pada hati seorang pemuda, dan menambah adil serta akhlak yang baik pada perjalanan pemuda tersebut.”
فبَشِّرْهُ أنَّ اللهَ أولاهُ فِتنَةً # تُغَشِّيهِ حِرماناً وتُوسِعُهُ حُزْنا
“Maka berilah kabar gembira kepadanya bahwa Allah telah memberinya cobaan, yang menutupinya dengan kehilangan dan meluaskannya dengan kesedihan.”
Syair ini menjelaskan bahwa ketika seseorang mencari ilmu, akan ada kemungkinan dia tidak hanya bakal mendapat ilmu saja. Mencari ilmu juga membuka kemungkinan ia mendapatkan hal lain, yang menurut imam Syafi’i saat seseorang tidak mendapatkannya akan merugi.
Inilah sebuah ketakutan yang dimiliki oleh para pencari ilmu, di mana kala ia telah memperoleh ilmu, ia tidak mendapatkan kebaikan yang lain, selain hanya paham akan ilmu yang di dapatkannya. Bahkan, tidak muncul cayaha petunjuk dalam dirinya, hingga membuat ilmu tersebut tidak mewujud sama sekali dalam prilakunya, bahkan tidak memberikan dampak sama sekali pada peningkatan kebijaksanaannya, seperti munculnya rasa adil dan lain sebagainya.
Hal yang ditakutkan ini biasa kita sebut sebagai nihilnya kebarokahan ilmu. Di mana ilmu, dalam imajinasi banyak orang, sebagai suatu kebaikan, tidak hanya akan membuat pemiliknya memahami ilmu itu saja, tapi juga akan menyebabkan tumbuhnya kebaikan-kebaikan yang lain. Bahkan, kebaikan itu bukan hanya untuk dirinya saja, tapi juga untuk orang-orang yang ada di sekelilingnya.
Ayyub ibn Musa ibn Ayyub, yang lebih dikenal dengan sebutan Abu al-Baqa’ al-Kafawi al-Hanafi, seorang ulama asal Kafah di wilayah Turki, dalam Kitab al-Kulliyyat memberikan definisi barakah sebagai berikut:
البركةُ: النَّماءُ والزِّيادَةُ، حسِّيَةً كانت أو معنويَّةً، وثبوتُ الخَيرِ الإلهيِّ في الشيءِ ودَوامُه، ونِسْبَتُها إلى الله تعالى على المعنى الثاني.
“Barakah adalah pertumbuhan dan peningkatan, baik yang bersifat lahiriah (indrawi) maupun maknawi (spiritual). Juga bermakna tetapnya kebaikan ilahi pada suatu hal dan terus berlangsungnya kebaikan itu, dan penisbatannya kepada Allah Ta‘ala adalah menurut makna yang kedua.”
Dengan demikian, “hal-hal lebih” yang juga didapat, ketika seseorang mendapatkan ilmu, merupakan sebuah barokah. Jadi, barokah bisa disimpulkan sebagai hasil atau manfaat yang tidak selalu sebanding secara logis atau linear dengan sebab yang tampak. Dengan kata lain, barokah merupakan pertumbuhan atau peningkatan yang bersumber dari kebaikan bersifat ilahi. Juga, pertambahannya tidak selalu proporsional dengan usaha manusia, karena mengandung unsur keberlanjutan dan limpahan dari rahmat Tuhan.
Sebab itu, wajar bila apa yang disaksikan oleh Atha’ bin Abi Rabah al-Makki al-Aswad, seorang tokoh tabiin yang dalam kitab ihya yang kemudian dikutib dalam kitab Tanwirul muhtadin, sebagai bentuk penyesalan akan nihilnya salah satu wujud kebarokahan ilmu:
قال عطاء رضي الله عنه: دخلتُ على سعيد بن المسيب وهو يبكي، فقلتُ: ما يُبكيك؟ قال: ليس أحدٌ يسألني عن شيء.
Atha’ RA. berkata: Aku masuk menemui Sa‘id bin al-Musayyab, sedangkan ia sedang menangis. Maka aku bertanya: “Apa yang membuatmu menangis?”
Ia menjawab: “Tidak ada seorang pun yang bertanya kepadaku tentang sesuatu.”
Ini bukan berarti bahwa ilmunya Sa‘id tidak berkah, sama sekali tidak demikian. Akan tetapi, “bonus kebaikan ilmu” yang berupa “mahnet” yang menarik minat manusia untuk belajar, kala itu tidak dirasakannya, dan bisa jadi di waktu dan tempat lain, “mahnet” itu bisa muncul kembali pada Sa’id.
Oleh sebab itulah, barokah dalam ilmu sangat diburu oleh para pelajar yang menyadari akan pentingnya barokahnya ilmu. Karenanya, banyak usaha-usaha yang non-linear yang dilakukan oleh mereka, salah satunya adalah usaha agar orang-orang yang mereka anggap “dekat” dengan Tuhan, mau mendoakan dengan sukarela agar ilmu yang mereka dapatkan barokah. Salah satu yang mereka anggap dekat dengan Tuhan adalah guru mereka.
Doa yang dikehendaki oleh para pelajar ini, dinamakan tabrik oleh Syekh Ayub. Dalam kitab kulliyat dikatakan bahwa yang dinamakan tabrik adalah mendoakan agar mendapatkan barokah. Sebab itulah, wajar bila seorang pelajar yang mengetahui akan pentingnya doa atas kebarokahan ilmu, lalu mendekat dan mengambil hati gurunya.
Salah satu hal yang banyak digunakan sebagai usaha untuk memburu kebarokahan adalah berkhidmah, atau mengabdi. Bahkan, imam ghazali dalam Mukhtasar ihya, menjelaskan bahwa berkhidmah merupakan sebuah keharusan bagi pelajar. Selain sebagai “tangga” untuk menggapai hal tadi, juga sebagai usaha untuk menghilangkan rasa takabur:
وينبغى أن يواظب على خدمة المعلّم
“Dan seharusnya ia (pelajar) menjaga ketekunan dalam berkhidmah kepada guru.”
Perilaku ini tentu memiliki dasar yang kuat dalam teladan para shohabat yang berguru pada nabi Muhammad Saw. Salah satu contohnya tampak dalam sebuah hadis yang memperlihatkan keteladanan dari Anas bin Malik RA. Imam Bukhari meriwayatkan hadis ini dalam kitab shohihnya, nomor 6038:
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ سَمِعَ سَلَّامَ بْنَ مِسْكِينٍ، قَالَ: سَمِعْتُ ثَابِتًا يَقُولُ: حَدَّثَنَا أَنَسٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: خَدَمْتُ النَّبِيَّ ﷺ عَشْرَ سِنِينَ، فَمَا قَالَ لِي أُفٍّ، وَلَا لِمَا صَنَعْتَ؟ وَلَا أَلَا صَنَعْتَ؟
Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma‘il, ia mendengar Salam bin Miskin, ia berkata: aku mendengar Tsabit berkata: telah menceritakan kepada kami Anas ra. ia berkata: Aku melayani Nabi ﷺ selama sepuluh tahun, maka beliau tidak pernah berkata kepadaku ‘ah’, dan tidak pula (berkata) terhadap sesuatu yang aku lakukan: Mengapa kamu melakukan itu?, dan tidak pula terhadap sesuatu yang tidak aku lakukan: Mengapa kamu tidak melakukannya?”
Pada titik ini, pembahasan tentang khidmah sering bersinggungan dengan isu lain yang tak kalah penting, yaitu kemungkinan adanya pandangan bahwa praktik tersebut menyerupai bentuk eksploitasi terhadap para pencari ilmu.
Bila yang dimaksud eksploitasi adalah penggunaan kekuasaan untuk memperoleh keuntungan dari orang lain secara tidak adil atau tanpa persetujuan, maka hubungan guru, dan pelajar yang memburu barokah, bukanlah suatu bentuk eksploitasi. Sebab, menurut max weber dalam bukunya economy and society, ada tiga jenis kekuasaan yang legitimate; rasional, tradisional, dan karismatik. Dalam hal kekuasaan karismatik, pemimpin karismatik memperoleh perannya berdasarkan kepercayaan pribadi terhadap wahyu, kepahlawanan, atau sifat-sifat teladan dalam wilayah di mana kepercayaan terhadap karisma semacam itu berlaku.
Menurut saya, guru dalam hubungannya dengan pelajar yang berkhidmah kepadanya, bisa masuk pada kategori seseorang yang memiliki kekuasaan karismatik. Weber menjelaskan bahwa pemimpin karismatik memperoleh perannya berdasarkan kepercayaan pribadi terhadap ilham Tuhan, kepahlawanan, atau sifat-sifat teladan dalam wilayah di mana kepercayaan terhadap karisma semacam itu berlaku. Atau dengan kata lain, pemimpin karismatik dipatuhi sebab pengabdiannya terhadap Tuhan, keberaniannya, atau akhlaqnya yang baik.
Dengan demikian, kekuasaan guru atas para pelajar, merupakan kekuasaan yang rapuh. Begitu guru memiliki keinginan untuk memanfaatkan kekuasaannya demi keuntungan pribadi, maka akan runtuhlah nilai-nilai suci, kepahlawanan dan moral, yang menjadi pondasi dari kekuasaannya. Di lain sisi, tatkata rasa suka rela para pelajar hilang saat menghidmahinya, maka saat itu pula lah terjadi eksploitasi.

