Setiap tanggal 17 Agustus, bendera Merah Putih berkibar gagah di setiap sudut negeri. Lagu kebangsaan menggema, dan anak-anak dengan semangat meneriakkan “Merdeka!” Namun, apakah semangat nasionalisme itu hanya tumbuh saat perayaan? Atau seharusnya ditanam sejak dini, bahkan sejak anak duduk di bangku Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)? Di sinilah peran penting guru PAUD, sebagai ujung tombak pembentuk karakter bangsa, menjadi sangat strategis. Hal ini sejalan dengan pendapat Yamin (2020) yang menekankan bahwa guru PAUD memiliki peran sentral dalam menanamkan nilai-nilai dasar kebangsaan yang membentuk identitas anak sejak dini.
Nasionalisme bukan sekadar hafalan lagu wajib atau mengenal lambang negara. Nasionalisme adalah rasa cinta dan bangga menjadi bagian dari Indonesia, yang ditunjukkan lewat sikap sehari-hari seperti menghargai perbedaan, menjaga kebersihan lingkungan, menggunakan bahasa Indonesia yang baik, hingga ikut serta dalam kegiatan bersama. Menurut Suyanto (2017), bentuk nasionalisme sejati tercermin dalam perilaku sosial anak, bukan sekadar dalam kemampuan mengenali simbol negara, yang dimana semua nilai ini perlu dibentuk sejak usia dini, karena menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2020), masa usia dini adalah fase emas pembentukan karakter yang akan menjadi fondasi kepribadian anak di masa depan. Ini juga ditegaskan oleh Hurlock (2002), yang menyebut bahwa masa kanak-kanak adalah periode kritis dalam pembentukan nilai moral dan sosial anak.
Sayangnya, dalam praktik pembelajaran nasionalisme di PAUD seringkali masih bersifat simbolik dan tidak menyentuh makna yang mendalam. Guru lebih fokus pada aspek mengenal simbol negara, tetapi kurang memberikan ruang bagi anak untuk mengalami langsung bagaimana rasa cinta tanah air itu diwujudkan dalam tindakan sehari-hari. Utami dan Wahyuni (2021) mencatat bahwa pendekatan pembelajaran yang hanya bersifat kognitif belum mampu menginternalisasi nilai nasionalisme secara utuh pada anak usia dini.
Oleh karena itu, penting bagi guru PAUD untuk menghadirkan strategi kreatif dan kontekstual yang sesuai dengan dunia anak. Misalnya, melalui kegiatan bermain peran menjadi pahlawan, mengenalkan budaya lokal dengan cerita rakyat, menggambar bendera sambil berdiskusi maknanya, atau membuat proyek kecil seperti menjaga kebersihan kelas sebagai bentuk cinta lingkungan. Sumantri dan Permana (2018) menyarankan bahwa metode tematik dan berbasis pengalaman langsung lebih efektif dalam menanamkan nilai nasionalisme pada anak.
Strategi ini tidak hanya membuat pembelajaran menyenangkan, tetapi juga membangun keterikatan emosional anak terhadap identitas bangsa. Seperti dijelaskan oleh Isjoni (2019), penguatan identitas bangsa harus dimulai dari keterlibatan emosional anak dalam aktivitas yang bermakna, bukan sekadar dalam bentuk hafalan.
Dalam esai ini, penulis ingin mengangkat bagaimana strategi-strategi kreatif tersebut dapat diterapkan oleh guru PAUD dalam menanamkan semangat nasionalisme pada anak usia dini, terutama dengan pendekatan yang dekat dengan kehidupan anak dan tidak terasa menggurui.
Anak-anak usia dini pada dasarnya adalah peniru. Apa yang mereka lihat dan dengar dari orang dewasa, terutama guru, sangat mudah mereka tiru. Maka dari itu, cara paling efektif untuk menanamkan rasa cinta tanah air pada mereka bukan cuma lewat ucapan, tapi lewat contoh nyata dan kebiasaan sehari-hari. Guru harus bisa menjadi panutan, menunjukkan sikap nasionalis yang sederhana namun nyata, seperti menghormati bendera, menyanyikan lagu Indonesia dengan semangat, atau menghargai keberagaman. Pendekatan ini sejalan dengan teori sosial-kognitif Bandura (1977), yang menyatakan bahwa anak belajar dari meniru perilaku yang mereka lihat, terutama dari figur otoritas seperti guru.
Maka dari itu strategi yang dipilih guru harus kreatif, menyenangkan, dan dekat dengan dunia anak untuk menanamkan nilai-nilai nasionalisme pada anak-anak:
Mengenalkan Simbol Negara Lewat Gambar dan Lagu
Langkah paling sederhana untuk mulai menanamkan nasionalisme pada anak usia dini adalah dengan mengenalkan mereka pada simbol-simbol negara. Tapi karena anak PAUD belum bisa diajak berpikir rumit, kita perlu menyampaikannya lewat cara-cara yang menyenangkan dan mudah dicerna. Misalnya, guru bisa menunjukkan gambar bendera merah putih, lambang Garuda, atau foto Presiden dan Wakil Presiden. Anak-anak juga bisa diajak mewarnai gambar bendera atau membuat bendera kecil dari kertas warna. Kegiatan seperti ini bukan cuma melatih motorik halus mereka, tapi juga jadi momen awal untuk mengenalkan bahwa simbol-simbol itu punya makna penting sebagai bagian dari identitas negara kita. Menurut Nurani (2021), pengenalan simbol negara secara visual dan aplikatif dapat menumbuhkan pemahaman awal tentang identitas kebangsaan pada anak.
Selain itu, guru bisa membiasakan anak-anak menyanyikan lagu nasional seperti “Garuda Pancasila” atau “Hari Merdeka” secara rutin, misalnya saat pembukaan kelas atau menjelang pulang. Lagu-lagu ini bisa disertai dengan gerakan tangan agar anak-anak lebih tertarik dan tidak cepat bosan. Dari sini, anak akan mulai hafal lagu-lagu kebangsaan dan pelan-pelan merasa bangga menyanyikannya. Mungkin mereka belum paham artinya sepenuhnya, tapi rasa cinta terhadap Indonesia bisa mulai tumbuh dari kebiasaan-kebiasaan kecil seperti ini. Hal ini diperkuat oleh penelitian Putri & Suryana (2020), yang menunjukkan bahwa nyanyian nasional yang dibiasakan secara konsisten berperan dalam menumbuhkan rasa kebangsaan sejak dini.
Drama Mini dan Bermain Peran
Anak-anak itu sebenarnya belajar paling cepat lewat bermain. Salah satunya bermain peran atau drama mini adalah salah satu cara yang bisa bikin anak lebih paham tentang perjuangan dan semangat cinta tanah air. Misalnya, guru bisa mengajak anak-anak bermain jadi pahlawan kemerdekaan, penjaga bendera, atau pembaca teks proklamasi. Kegiatan seperti ini membuat anak-anak membayangkan betapa sulitnya para pahlawan dulu memperjuangkan kemerdekaan, meskipun mereka masih kecil dan belum sepenuhnya mengerti sejarah.
Guru juga bisa membuat suasana lebih hidup dengan properti sederhana, seperti memakai ikat kepala merah putih dari pita, memakai kain sarung sebagai pakaian pejuang, atau membawa miniatur bambu runcing dari sedotan. Bisa juga digelar “mini upacara” di kelas, di mana anak-anak ditugaskan jadi pemimpin upacara, pengibar bendera, dan pembaca janji siswa. Meski sederhana, kegiatan ini sangat bermakna karena mengajarkan anak tentang pentingnya kerja sama, disiplin, dan rasa hormat terhadap simbol negara. Menurut Sumantri & Permana (2018), bermain peran memberikan pengalaman emosional dan sosial yang kuat untuk menanamkan nilai-nilai nasionalisme.
Mendongeng Tokoh Pahlawan dengan Cerita Bergambar
Anak-anak itu biasanya sangat tertarik dengan cerita, apalagi kalau ada gambarnya. Nah, guru bisa memanfaatkan waktu bercerita di kelas untuk mengenalkan tokoh-tokoh pahlawan nasional, seperti Soekarno, Kartini, atau Ki Hajar Dewantara. Pilih buku cerita yang gambarnya menarik dan bahasanya ringan, supaya anak-anak mudah mengerti, serta isi dari ceritanya tersebut tidak perlu terlalu panjang atau terlalu serius. Cukup disampaikan dengan nada yang ceria dan ekspresif, supaya anak-anak lebih antusias mendengarnya. Setelah bercerita, guru bisa ajak mereka ngobrol ringan.
Misalnya tanya, “Menurut kalian, apa yang membuat Kartini hebat?” Dari situ anak-anak mulai belajar soal keberanian, cinta tanah air, dan bagaimana menjadi orang yang berguna untuk bangsa, walaupun belum tentu mereka langsung paham secara utuh. Yang penting, benih-benih nasionalisme itu mulai tumbuh lewat cerita. Penelitian oleh Handayani (2020) membuktikan bahwa media cerita bergambar mampu meningkatkan pemahaman nilai kepahlawanan dan nasionalisme anak secara signifikan jika disampaikan secara interaktif.
Proyek Kreatif Bertema Kemerdekaan
Kegiatan proyek seperti membuat kerajinan tangan bertema kemerdekaan juga sangat membantu menumbuhkan rasa nasionalisme. Guru bisa merancang kegiatan sesuai usia anak, contohnya membuat bendera dari stik es krim, membuat topi merah putih dari kertas lipat, atau menghias kelas dengan ornamen bertema kemerdekaan buatan anak-anak sendiri. Anak-anak juga bisa diajak membuat kartu ucapan bertuliskan “Aku Bangga Jadi Anak Indonesia” dengan gambar-gambar khas nusantara.
Lebih dari sekadar hasil kerajinan, yang penting adalah prosesnya. Saat anak membuat sesuatu yang berhubungan dengan tanah airnya, mereka jadi merasa terlibat dan punya rasa memiliki terhadap negara ini. Kegiatan seperti ini juga melatih kerja sama jika dilakukan berkelompok, serta mengembangkan motorik halus, fokus, dan kreativitas anak. Bahkan, proyek seperti ini bisa dijadikan ajang untuk mengadakan pameran kecil-kecilan di sekolah sebagai bentuk apresiasi atas karya anak-anak. Menurut penelitian Pratiwi & Wulandari (2021), kegiatan berbasis proyek (project-based learning) di PAUD efektif dalam menumbuhkan rasa cinta tanah air sekaligus keterampilan abad 21.
Membiasakan Sikap Sopan, Toleransi, dan Gotong Royong
Nasionalisme itu bukan cuma tentang lagu atau bendera. Cinta tanah air juga bisa ditunjukkan dari sikap sehari-hari. Guru bisa membiasakan anak untuk membantu teman, tidak mengejek, berbagi mainan, dan menghargai perbedaan. Misalnya, kalau ada teman yang berbeda agama atau suku, guru bisa menjelaskan bahwa kita tetap satu bangsa dan harus saling menghargai. Sikap-sikap seperti ini harus ditanamkan sejak kecil, supaya anak tumbuh jadi pribadi yang cinta tanah air dan peduli terhadap sesama.
Kemendikbud (2020) menekankan bahwa pendidikan karakter pada anak usia dini harus diarahkan pada nilai-nilai dasar Pancasila, termasuk gotong royong dan toleransi. Ini penting, karena nasionalisme sejati muncul dari kesadaran untuk hidup harmonis dalam keberagaman. Sejalan dengan itu, Isjoni (2019) menyatakan bahwa kebiasaan sosial yang baik di masa kanak-kanak merupakan pondasi penting dalam membangun nasionalisme yang berkelanjutan di masa dewasa.
Menanamkan semangat nasionalisme pada anak usia dini bukanlah hal yang instan, melainkan proses jangka panjang yang harus dimulai sejak dini, bahkan sejak anak duduk di bangku PAUD. Guru PAUD memiliki peran strategis dalam proses ini, sebagai pendidik sekaligus panutan yang menanamkan nilai-nilai cinta tanah air melalui kegiatan yang sederhana, menyenangkan, dan bermakna. Melalui pengenalan simbol negara, lagu kebangsaan, bermain peran, cerita bergambar, proyek kreatif, hingga pembiasaan sikap positif seperti gotong royong dan toleransi, anak-anak mulai belajar bahwa menjadi bagian dari Indonesia adalah sesuatu yang membanggakan. Yang paling penting, pembelajaran nasionalisme tidak berhenti pada hafalan atau simbol semata, tapi menyentuh hati dan membentuk sikap dalam kehidupan sehari-hari.
Hal ini menunjukkan bahwa penanaman nasionalisme harus dilakukan dengan pendekatan yang kontekstual, tematik, dan sesuai dengan dunia anak. Seperti yang disampaikan dalam pembahasan, metode yang berbasis pengalaman langsung seperti bermain peran, proyek kreatif, dan cerita bergambar tidak hanya menyenangkan, tetapi juga menguatkan keterikatan emosional anak terhadap nilai-nilai kebangsaan. Ini sejalan dengan teori Bandura (1977) bahwa anak belajar melalui observasi dan peniruan terhadap figur otoritatif, seperti guru. Maka, guru PAUD perlu tidak hanya mengajar, tetapi juga menjadi teladan dalam menunjukkan sikap nasionalisme.
Dengan strategi yang tepat, nasionalisme bisa tumbuh secara alami dan kontekstual dalam diri anak-anak. Mereka akan tumbuh menjadi generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki karakter kuat, cinta tanah air, serta mampu hidup dalam keberagaman. Oleh karena itu, guru PAUD perlu terus berinovasi dalam menciptakan pembelajaran yang menyenangkan sekaligus bermakna, demi membentuk fondasi karakter bangsa yang kuat sejak usia dini.
Penulis :
Nursukesih, Ira Mayasari, Sefriyanti, M . Pd., Elly Purwanti, M . Pd.
(STAI Darussalam, Lampung)
Refrensi :
Bandura, A. (1977). Social learning theory. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.
Handayani, S. (2020). Pengaruh media cerita bergambar terhadap pemahaman nilai nasionalisme anak usia dini. Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 9(2), 115–123. https://doi.org/10.21009/JPUD.092.10
Hurlock, E. B. (2002). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan (Edisi 5). Jakarta: Erlangga.
Isjoni. (2019). Pendidikan karakter: Membangun karakter bangsa yang bermartabat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2020). Panduan penguatan pendidikan karakter pada anak usia dini. Jakarta: Direktorat PAUD, Direktorat Jenderal PAUD, DIKMAS.
Nurani, Y. (2021). Pengenalan simbol negara dalam pendidikan karakter anak usia dini. Jurnal Golden Age: Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini, 5(1), 34–40. https://doi.org/10.14421/jga.2021.51-04
Pratiwi, N., & Wulandari, D. (2021). Implementasi project-based learning dalam menumbuhkan rasa nasionalisme anak usia dini. Jurnal Ilmiah Pendidikan Anak, 6(1), 55–63.
Putri, R., & Suryana, D. (2020). Pembiasaan lagu kebangsaan sebagai media penanaman nilai nasionalisme. Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 4(3), 78–87.
Sumantri, M. S., & Permana, J. (2018). Model pembelajaran kontekstual berbasis pengalaman dalam pendidikan karakter anak. Jurnal Pendidikan Karakter, 8(1), 23–34. https://doi.org/10.21831/jpk.v8i1.18034
Suyanto. (2017). Pendidikan karakter: Konsep dan implementasinya dalam lembaga pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Utami, I., & Wahyuni, D. (2021). Analisis pembelajaran nilai nasionalisme dalam pendidikan anak usia dini. Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 5(2), 1150–1157. https://doi.org/10.31004/obsesi.v5i2.907
Yamin, M. (2020). Peran guru PAUD dalam menanamkan nilai kebangsaan sejak dini. Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini Indonesia, 3(1), 14–22