Dukungan NU Terhadap Pemberantasan Korupsi
detik.com

Dukungan NU Terhadap Pemberantasan Korupsi

Oleh: Ayik Heriansyah

Islamadina.org – Sayup-sayup suara sumir mengarah ke Nahdlatul Ulama (NU) sebagai institusi akibat dari kasus korupsi kuota haji yang melibatkan tokoh-tokoh NU. Secara kelembagaan seharusnya Kementerian Agama (Kemenag) yang diributkan, bukan NU.

Sebab masalah haji wewenang dan tanggungjawab Kemenag. Dan warga NU yang terlibat pun dalam kapasitas sebagai pejabat Kemenag, bukan sebagai pengurus NU dan Banom NU.

Meskipun demikian, NU sebenarnya telah lama bersuara lantang dalam isu pemberantasan korupsi. Dalam berbagai forum resmi seperti Munas, Konbes, dan Muktamar, NU telah menetapkan bahwa korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan pengkhianatan terhadap amanah Tuhan dan rakyat.

Dalam Munas Alim Ulama NU tahun 2002 di Jakarta, PBNU menegaskan bahwa korupsi adalah bentuk ghulul (penggelapan) dan risywah (suap), yang secara syariat dikategorikan sebagai pencurian ( sariqah) dan perampokan ( nahb). Bahkan pengembalian uang hasil korupsi tidak menggugurkan hukuman, karena tuntutan hukuman adalah hak Allah, sementara pengembalian uang adalah hak masyarakat.

Forum tersebut menawarkan potong tangan sebagai sanksi paling ringan dan hukuman mati sebagai sanksi tertinggi. NU mengutip pendapat Syekh Wahbah Az-Zuhayli dalam Kitab Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, yang menyatakan bahwa hukuman mati boleh dijatuhkan terhadap pelaku kriminal berat yang mengancam keamanan negara.

Putusan ini diperkuat kembali dalam Munas dan Konbes NU tahun 2012 di Cirebon, serta dibahas secara umum dalam Muktamar Ke-33 NU tahun 2015 di Jombang. Bahkan pada Muktamar Ke-34 NU di Lampung tahun 2021, NU menyerukan agar masyarakat mendesak lembaga penegak hukum dan kepemimpinan nasional untuk lebih tegas dalam pemberantasan korupsi.

Namun idealisme NU kerap menghadapi ujian berat. Bukan hanya pada kasus dugaan korupsi kuota haji 2023-2024, dalam semua kasus korupsi yang melibatkan tokoh-tokoh NU, alih-alih menjadi tameng bagi pelaku, NU berdiri di sisi keadilan. Mendukung proses hukum tanpa pandang bulu. Karena NU ingin tetap menjadi garda moral bangsa. Keberanian untuk menegakkan prinsip keadilan lebih besar daripada loyalitas terhadap individu.

Bila tidak, maka klaim sebagai pelopor gerakan antikorupsi akan kehilangan bobotnya jika tidak diikuti dengan tindakan nyata. Prinsip tawassuth (moderat), tawazun (seimbang), dan tasamuh (toleran) tidak akan berarti jika NU gagal menunjukkan keberanian moral saat pelanggaran dilakukan oleh warganya sendiri.

Kasus kuota haji menjadi cermin bagi NU untuk melakukan introspeksi dan bersih-bersih internal. Integritas organisasi diuji bukan ketika ia mengutuk korupsi dari luar, tetapi ketika ia harus berhadapan dengan pelanggaran dari tokoh-tokohnya sendiri.

NU memiliki kesempatan untuk membuktikan bahwa prinsip keadilan lebih tinggi daripada kedekatan personal. Dengan menegakkan keadilan secara konsisten, NU akan menjaga marwahnya sebagai pilar moral bangsa dan tetap menjadi panutan bagi masyarakat luas.

Sumber: Liputan9.id

Ayik HeriansyahPengurus Lembaga Dakwah PWNU Jawa Barat

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *