Hukum Memakai Cadar Menurut Ulama Salafi
islampos.com

Hukum Memakai Cadar Menurut Ulama Salafi

Islamadina.org – Salah satu kelompok dalam Islam yang dianggap paling bersemangat dalam mengkampanyekan pemakaian cadar bagi perempuan Muslim adalah dari kalangan Salafi-Wahabi. Terbukti bahwa di Saudi Arabia, hampir seluruh perempuan memakai cadar sesuai perintah para ulamanya. Tapi, bagaimana hukum cadar menurut ulama Salafi-Wahabi? Benarkan mereka mewajibkan setiap perempuan memakai cadar?

Sebelum beranjang lebih jauh dalam menjelaskan hukum cadar menurut ulama Salafi, saya akan sedikit mengurai pendapat para imam dari keempat mazhab fikih dan mencoba mencari benang merah tentang hukum cadar itu. Hal ini penting diutarakan lantaran mayoritas umat Islam selalu merujuk pada salah satu pendapat dari keempat imam tersebut, tak terkecuali juga dari kalangan Salafi-Wahabi.

Perlu diketahui bahwa mayoritas mazhab, baik mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali masih berbeda pendapat terkait wajah dan tangan apakah termasuk aurat atau bukan. Mazhab Hanafi misalnya, berpendapat bahwa seorang perempuan Muslim tidak diperbolehkan menampakkan wajah di antara laki-laki yang bukan muhrimnya. Tapi ini bukan berarti wajah bagian dari aurat, hanya saja hal itu dilakukan agar terhindar dari fitnah.

Berbeda dengan Hanafi, mazhab Maliki justru berpendapat sebaliknya, bahwa makruh hukumnya apabila seorang Muslimah menutupi wajah, baik ketika salat maupun di luar salat. Menurutnya, bercadar termasuk tindakan yang berlebih-lebihan dalam agama. Tapi bila seorang perempuan betul-betul diharuskan untuk bercadar lantaran takut terjadi hal-hal negatif, maka hukumnya sunnah bila memakainya.

Sementara itu, dalam mazhab Syafi’i juga terjadi silang pendapat di antara ulama-ulamanya, ada yang mewajibkan memakai cadar, ada pula yang menghukuminya sunnah. Tapi pendapat yang paling umum dipahami di kalangan Syafi’i beranggapan bahwa cadar hukumnya wajib lantaran tangan dan wajah merupakan bagian dari aurat.

Senada dengan mazhab Syafi’i, imam Ahmad berpendapat bahwa seluruh badan wanita adalah aurat. Sehingga dalam pandangan mazhab ini, seorang wanita wajib menutup wajahnya dengan memakai cadar.

Dari keempat mazhab fikih di atas, terlihat bahwa cadar masih menjadi perdebatan soal hukumnya. Mazhab Hanafi dan Maliki tampak lebih lunak dan fleksibel dalam menghukumi cadar, yakni sebatas perkara yang disunnahkan dan tak berdosa bila meninggalkannya, sebab wajah tidaklah termasuk aurat. Sedangkan dari mazhab Syafi’i dan Hanbali terlihat lebih ketat dan hati-hati dalam menghukumi cadar tersebut.

Selain itu, para ulama dan sejumlah pakar hukum Islam juga masih berbeda pendapat soal kewajiban memakai cadar bagi perempuan Muslim. Biasanya, pihak-pihak yang mewajibkan perempuan memakai cadar merujuk pada pandangan Imam Ahmad bin Hanbal yang dengan tegas mengatakan bahwa cadar hukumnya wajib.

Sampai pada titik ini, kita patut bertanya, keharusan perempuan Salafi-Wahabi yang memakai cadar sebenarnya merujuk ke pendapat yang mana? Betulkah ulama-ulamanya juga mewajibkan cadar sebagaimana pendapat yang diutarakan imam Ahmad?

Sebenarnya, kalangan Salafi yang sangat kuat mengkampanyekan cadar kepada para pengikutnya, tidaklah sampai menghukum cadar pada taraf yang wajib. Artinya, mereka tidak mengklaim bahwa siapa saja yang tidak bercadar maka ia berdosa.

Salah seorang ulama Salafi bernama Syekh Nasruddin al-Banni, dalam kumpulan fatwanya menerangkan bahwa ia tidak berani mengatakan bahwa cadar itu hukumya wajib. Dia berkata, “Saya tidak mengatakan cadar itu wajib. Tetapi, istri dan keluarga saya, saya perintahkan untuk memakainya”.

Saya tidak tahu apakah pendapat Syekh al Bunni ini merupakan representasi dari pandangan mayoritas ulama Salafi. Tapi paling tidak, kita bisa memahami bahwa di kalangan Salafi sendiri tak ada pendapat yang seragam soal hukum memakai cadar, ini sama persis sebagaimana pendapat dalam keempat imam mazhab.

Tak hanya soal cadar, banyak kalangan di Saudi Arabia juga memperlakukan pakaian seperti jubah, surban, bahkan jenggot bukan sesuatu yang berasal dari agama. Bagi mereka, pakaian seperti itu tak lebih dari produk budaya dan kebudayaan Arab yang patut dilestarikan. Adapun soal cadar, masih menjadi perdebatan dan tak pernah dipahami secara tunggal.

Paling tidak kita bisa mengambil kesimpulan bahwa persoalan cadar ini, biasanya mayoritas ulama lebih mengedepankan kondisi dan situasi dalam menetapkan hukumnya bagi para perempuan Muslim. Mereka tidak serta merta membuat keputusan hukum yang betul-betul berangkat dari nash, sebab Nabi pun tak pernah mewajibkan seseorang untuk memakai cadar. Justru yang terjadi adalah penafsiran tentang batasan dan ukuran aurat perempuan.

Jadi, perkara memakai cadar bukanlah berada pada wilayah syariat murni, tetapi lebih pada penafsiran terhadap syariat agama. Untuk itu, seseorang tak boleh mengklaim yang tak bercadar dihukumi berdosa dan yang bercadar merasa lebih suci dari yang lainnya. Marilah kita rayakan perbedaan pendapat ini sebagai rahmat dari Allah yang patut disyukuri dan beragamalah sesuai dengan apa yang dipahami dan diyakini kebenarannya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *