Kedudukan Wali Hakim dalam Pernikahan
cnnindonesia.com

Kedudukan Wali Hakim dalam Pernikahan

Islamadina.org – Pernikahan dalam Islam tidak sekedar ikatan cinta, melainkan juga institusi syar’i yang harus memenuhi rukun dan syarat akad. Salah satu rukun penting dalam pernikahan adalah keberadaan seorang wali nikah, sebagaimana ditegaskan dalam sabda Rasulullah:

لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِىٍّ وَشَاهِدَىْ عَدْلٍ

Pernikahan tidak sah kecuali dengan keberadaan wali dan dua saksi”. (H.R. Baihaqi)

Namun tidak jarang di tengah masyarakat ditemukan beberapa kejadian dimana wali nikah tidak bisa dihadirkan karena telah meninggal dunia, atau walinya hilang dan keberadaannya tidak diketahui lagi, atau walinya tidak berkenan menikahkan karena alas an-alasan tertentu.

Dalam situai tersebut, syariat tetap memperhatikan hak-ha Wanita untuk melangsungkan pernikahan secara sah. Sehingga dalam konteks ini peran wali hakim dan muhakkam menjadi sangat signifikan.

Wali Hakim

Kompilasi Hukum Islam wali hakim mendefinisikan wali hakim dengan: wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah.

Keberadaan wali hakim di Indonesia kemudian diatur dalam Peraturan Menteri Agama nomor 30 Tahun 2005 tentang Wali Hakim

Pada Pasal 1 ayat 2 dijelaskan wali hakim adalah Kepala Kantor Urusan Agama kecamatan yang ditunjuk oleh Menteri Agama untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai wanita yang tidak mempunyai wali.

Keberadaan wali hakim juga mendapatkan legitimasi Syariah sebagaimana disabdakan Rasulullah:

لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِىٍّ وَالسُّلْطَانُ وَلِىُّ مَنْ لاَ وَلِىَّ لَهُ

Pernikahan tidak sah dengan tanpa adanya wali, dan Sultan (penguasa) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali”. (HR. Ahmad)

Hadis di atas memberikan petunjuk, wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri. Jika dia menikah dengan tanpa wali maka pernikahannya batal. Jika wali khas (khusus) masih ada, maka wali tersebut yang berhak menikahkan, namun jika tidak ada, perwalian berpindah kepada wali ‘âm (umum), yaitu para Sultan (penguasa atau pemerintah).

Ismail bin Shalah As-Shan’ani dalam Subulus Salam Syarah Bulughul Maram kemudian mendiskusikan kriteria kepribadian Sultan yang berhak menjadi wali. Menurut pendapat pertama, semua Sultan boleh menjadi wali, baik memiliki kepribadian yang adil atau tidak. Namun menurut pendapat kedua, Sultan yang boleh menjadi wali harus memiliki kepripadan yang adil yang peduli dengan kemaslahatan masyarakat, bukan Sultan yang zalim.

Kapan Wali Hakim Bertindak Sebagai Wali?

Dalam KHI Pasal 23 dijelaskan: ayat (1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan. Ayat (2) Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut.

Sedangkan dalam Peraturan Menteri Agama nomor 30 Tahun 2005 Pasal 2 disebutkan: ayat (1) Bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di wilayah Indonesia atau di luar negeri/di luar wilayah territorial Indonesia, tidak mempunyai wali nasab yang berhak atau wali nasabnya tidak memenuhi syarat, atau mafqud (tidak tentu keberadaanya), atau berhalangan, atau adhol, maka pernikahannya dilangsungkan oleh wali hakim. Ayat (2) Khusus untuk menyatakan adhalnya wali sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini ditetapkan dengan keputusan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah yang mewilayahi tempat tinggal calon mempelai wanita.

Selanjutnya dalam pasal 3 ayat 1 disebutkan: Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan (KUA) dalam wilayah kecamatan yang bersangkutan ditunjuk menjadi wali hakim untuk menikahkan mempelai wanita sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat 1 Peraturan ini.

Dalam kasus wali adlal di atas, tampaknya KHI dan PMA nomor 30 Tahun 2005 cenderung mengikuti pendapat jumhur (mayoritas ulama) yang berpendapat, ketika wali enggan menikahkan (adhal) di depan hakim, maka hakim memerintahkan wali tersebut untuk menikahkan, jika wali menolak dengan alasan yang tidak logis, maka perwalian berpindah kepada wali hakim (Sultan).

Dan dalam hal wali yang tidak dapat dihadirkan atau tidak diketahui keberadaannya (mafqud), KHI dan PMA nomor 30 Tahun 2005 lebih cenderung kepada mazhab Syafi’i. Dalam Mughni Muhtaj dijelaskan: jika wali aqrab, baik wali nasab maupun wala’, tidak ada, keberadaannya jauh lebih dari dua marhalah (jarak minimal perjalan yang diperbolehkan menqashar salat), dan tidak ada wakil yang tinggal di daerah tempat tinggalnya, atau dalam jarak yang dekat (perjalanan yang tidak boleh menqashar salat), maka perempuan tersebut dinikahkan oleh Sultan atau orang yang menjadi penggantinya, bukan Sultan di negeri lain atau wali ab’adnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *