Menyentuh Istri Apakah Membatalkan Wudhu
islampos.com

Menyentuh Istri Apakah Membatalkan Wudhu

Islamadina.org – Jum’at kemarin merupakan pertemuan rutin pengajian bersama ibu-ibu jama’ah, setelah penyampaian beberapa materi, pada sesi tanya jawab ada salah satu ibu muda bertanya tentang suami yang menyentuh istrinya, apakah membatalkan wudhu. Masalah ini telah mengakibatkan silang pendapat antara dirinya dan suaminya. Menurut istri, menyentuh istri menyebabkan batalnya wudhu, sementara menurut suami, tidak membatakan wudhu.

Dalam tulisan ini, penulis ingin membahas masalah tersebut dengan mengutip keterangan dari Dairah Ifta’ yaitu Departemen fatwa kerjaan Yordania yang didirikan pada tahun 1921. Pada tanggal 21 Juli 2011 Komite Fatwa mengeluarkan fatwa terkait dengan perbedaan pendapat fuqaha tentang batalnya wudhu karena menyentuh istri dengan fatwa nomor 1895.

Dalam fatwa tersebut dijelaskan beberapa pandangan fuqaha sebagaimana berikut:

Membatalkan Wudhu

Menurut mazhab Syafi’i, lelaki yang menyentuh kulit istrinya atau wanita lain yang bukan mahramnya maka batal wudhunya, walaupun menyentuh dengan tanpa syahwat. Pendapat tersebut berdasarkan pada firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 6:

وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤئِطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا

Jika kamu sakit, dalam perjalanan, kembali dari tempat buang air (kakus), atau menyentuh perempuan, lalu tidak memperoleh air, bertayamumlah dengan debu yang baik (suci)

Imam Syafi’i menginterpretasikan ayat (au lâmastum an-nisa’a) dengan “persentuhan kulit dengan kulit walaupun tanpa persetubuhan”. Ada beberapa argument yang dibangun oleh mazhab Syafi’i atas interpretasi tersebut :

Pertama, ayat tersebut dimulai dengan pembahasan jinabat (hadas besar), kemudian setelah itu kata “lamsu an-nisa’” diathafkan pada kata “ghâith”. Struktur kalimat tersebut menunjukkan menyentuh wanita adalah sesuatu yang menyebabkan hadas kecil sebagaimana hadas sebab buang air besar, dan tidak menyebabkan hadas besar. Oleh karena itu, maksud kata “lamsu” dalam ayat di atas adalah menyentuh dengan tangan, bukan berhubungan badan.

Kedua, dalam bahasa Arab, kata “lâmasa” terkadang memiliki makna “lamasa” sebagaimana disebutkan dalam qira’ah lain. Semua kata tersebut memiliki makna “bertemunya kulit dengan kulit” sebagaimana firman Allah “fa lamasûhu bi aydihim” (sehingga mereka dapat menyentuhnya dengan tangan mereka sendiri) (al-An’am ayat 7).

Ketiga, dalil hadis dari Abdillah bin Umar r.a.:

قُبْلَةُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ، وَجَسُّهَا بِيَدِهِ مِنَ الْمُلَامَسَةِ، فَمَنْ قَبَّلَ امْرَأَتَهُ أَوْ جَسَّهَا بِيَدِهِ فَعَلَيْهِ الْوُضُوءُ

Ciuman seorang suami kepada istrinya, atau menyentuh istri dengan tangan suami maka masuk dalam kategori mulamasah (menyentuh). Siapa saja yang mencium istrinya atau menyentuhnya dengan tangan maka dia wajib berwudhu”. (HR. Malik dalam al-Muwatha’ dengan sanad sahih).

Dalam kitab Hasyiyah Bujairami dijelaskan, menyentuh seseorang bisa membatalkan wudhu dengan lima syarat: 1) berbeda jenis kelamin, laki-laki dan perempuan, 2) menyentuh dengan kulit bukan rambut, gigi atau kuku, 3) tidak ada penghalang, 4) masing-masing sudah mencapai usia baligh, 5) tidak ada hubungan mahram.

Tidak Membatalkan Wudhu secara Mutlak

Ulama Hanafiyah memiliki pandangan lain, menurut mereka menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara mutlak, baik wanita tersebut adalah istrinya, wanita lain atau wanita yang menjadi mahramnya, baik menyentuh dengan syahwat atau tidak.

As-Sarakhsi mengatakan, “tidak diwajibkan wudhu karena mencium dan menyentuh wanita, baik dengan syahwat atau tidak”.

Argumen dari pendapat tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, hukum asal dari ibadah taharah adalah sah, dan hukum asal tersebut tidak berubah kecuali berdasarkan dalil sahih dan sarih.

Kedua, didukung oleh beberapa hadis sahih yang menunjukkan bahwa Nabi saw. tidak berwudhu setelah menyentuh sayyidah Aisyah. Di antara hadis tersebut adalah:

 كُنْتُ أَنَامُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَرِجْلاَيَ فِي قِبْلَتِهِ، فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي

Aisyah berkata, “aku tidur di hadapan Rasulullah saw. dan kedua kakiku menjulur ke arah kiblat beliau, ketika beliau sujud, beliau menyentuhku” (H.R. Muttafaq alaih)

Dan perkataan sayyidah Aisyah:

فَقَدْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ

“Saya kehilangan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pada suatu malam ditempat tidur, lalu saya pun mencarinya dengan meraih-raihkan tanganku (karena gelap). Sehingga, tanganku menyentuh kedua telapak kakinya, (H.R. Muslim)

Ketiga, ulama Hanafiyah menafsirkan kata “al-lamsu” dalam ayat di atas dengan “jima’/bersetubuh”, sebagaimana perkataan Maryam dalam surat Ali Imran: 47: “wa lam yamsasnî basyar”. Pemaknaan tersebut juga sejalan dengan pendapat para sahabat semperti Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, dan Umar bin Khattab.

Membatalkan Jika Disertai Syahwat 

Ulama Malikiyah dan Hanabilah berupaya mengompromikan beberapa dalil yang digunakan dua mazhab di atas. Mereka berpendapat, sentuhan yang membatalkan wudhu adalah sentuhan kulit dengan kulit disertai dengan syahwat. Makna inilah yang dikehendaki dari ayat di atas. Sentuhan yang tidak disertai dengan syahwat tidak membatalkan wudhu, sebagaimana yang terjadi pada sayyidah Aisyah.

Dari ketiga pendapat di atas yang paling hati-hati (ihtiyath) adalah mazhab Syafi’i, dimana pendapat tersebut berpegang pada teks al-Qur’an. Sedangkan hadis yang diriwayatkan oleh sayyidah Aisyah, imam Nawawi memahami ayat tersebut bahwa Nabi menyentuh sayyidah Aisyah namun kulit beliau terhalang oleh kain. Hal tersebut merupakan kondisi umum bagi orang yang sedang tidur, sehingga tidak menunjukkan kepada hukum menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *