Paradigma Islam Progresif
javasatu.com

Paradigma Islam Progresif

Islam progresif merupakan upaya untuk mengaktifkan kembali dimensi progresifitas Islam melalui fresh ijtihad yang dalam kurun waktu cukup lama mati suri ditindas oleh dimensi teks. Artinya, ajaran-ajaran Islam banyak didominasi oleh otoritas teks dan kurang menggali aspek-aspek yang bersifat kontekstual atau kekinian.

Ketika zaman mengalami perubahan, maka cara pandang terhadap agama juga mengalami perubahan. Agama harus disesuikan dengan kondisi-kondisi zaman dan bukan sebaliknya. Ketika teks yang menjadi otoritas dan realitas harus tunduk pada teks, maka yang terjadi justru akan terkesan memaksakan teks pada realitas, sehingga akan mengakibatkan kekauan dalam beragama.

Teks di sini artinya segala produk pemikiran yang diwarisi dari masa lalu, di mana teks lahir dari sebuah teks pula, yakni Alquran dan Hadits. Umat Islam – kendati teks klasik banyak manfaatnya – tidak boleh secara total terkukung oleh dimensi teks warisan masa lalu, karena produk pikiran di masa lalu belum tentu masih relevan dengan kondisi zaman sekarang.

Oleh karenanya, Islam progresif menawarkan sebuah cara berpikir yang memadukan antara teks dan konteks. Teks agama (Alquran dan Hadits) tidak mengalamai perubahan, tetapi cara pandang terhadap teks disesuaikan dengan kondisi-kodisi zaman, termasuk memungkinkan metodologi baru yang sesuai dengan semangat zaman.

Metode berpikir yang digunakan oleh Muslim progresif umumnya disebut dengan istilah Progressive-ijtihadi. Metode ini tampaknya paling cocok dan relevan bagi perkembangan mutakhir kajian keislaman. Ijtihad progresif sudah seharusnya menjadi tren pemikiran Islam yang ada saat ini, sebab metode ini dirasa sangat cocok dalam merekonstruksi ulang gagasan keislaman yang telah klasik dan usang.

Kelompok ijtihad progresif berasal dari berbagai latar belakang dan orientasi intelektual. Boleh dikatakan mereka adalah turunan intelektual dari kaum modernis lewat jalur berikut: modernism-neomodernisme-progresif. Ada beberapa nama yang digunakan untuk menyebut kelompok ini, antara lain: Muslim progresif, kaum ijtihadis, pembaharu, transformasionais atau bahkan neomodernis. Ini bukan merupakan sebuah gerakan, melainkan sebuah tren besar dengan suara yang beranekragam. Di dalamnya ada dari kalangan Muslim modernis, feminis, dan bahkan tradisionalis yang berhaluan reformis. Banyak tokoh-tokoh terkemuka dari kelompok ijtihadis progresif ini yang berbasis di Barat, atau di negara-negara Muslim yang relatif memiliki ruang kebebasan intelektual.

Dalam buku Islamic Thought; An Introduction, Abdullah Saeed menuturkan bahwa karakter pemikiran keagamaan yang bercirikan Muslim progresif antara lain sebagai berikut: pertama, mereka berpandangan bahwa banyak sisi dalam hukum Islam tradisional yang membutuhkan perubahan dan reformasi yang substansial agar supaya memenuhi kebutuhan Muslim saat ini; kedua, mereka menuntut ijtihad yang lebih menyegarkan dengan memakai metodologi baru terhadap problem-problem modern.

Ketiga, banyak dari mereka yang mencoba menggabungkan ilmu pengetahuan Islam tradisional dengan pendidikan dan pemikiran modern Barat; keempat, mereka berpandangan bahwa perubahan sosial, baik pada tataran intelektual, moral, legal, ekonomi atau bahkan teknologi, harus direfleksikan dalam hukum Islam; kelima, mereka tidak menampilkan dogmatisme maupun keterikatan dengan mazhab hukum atau teologi tertentu dalam pendekatan-pendekatan mereka; keenam, mereka sangat menekankan keadilan sosial, keadilan gender, hak asasi dan keharmonisan hubungan antara Muslim dan non-Muslim.

Muslim progresif menginginkan adanya perubahan di dalam dan di luar komunitas melalu upaya reinterpretasi terhadap teks dan tradisi Islam. Muslim progresif telah bergerak dengan baik melampaui sikap apologetik kelompok Muslim modernis, dan bahkan melampaui batas-batas yang diusung kaum neomodernis terkait bagaimana seharusnya seorang Muslim bergaul dengan dunia modern.

Menurut beberapa kalangan ijtihadis progresif, tujuan yang ingin mereka capai adalah memberlakukan kembali nilai-nilai keadilan, nilai-nilai kebajikan dan keindahan dalam kehidupan masyarakat mereka khususnya dan dunia pada umumnya. Visi yang holistik ini, hemat penulis, merupakan inti dari spirit al-Qur’an, menuntut keterlibatan baik dengan tradisi Islam maupun dengan modernitas, khususnya seputar tema keadilan sosial, keadilan gender, dan pluralisme.

Dengan demikian, menjadi Muslim progresif artinya menjadi melek terhadap semangat dan tuntutan zaman. Islam tidak lagi hanya dilihat sebagai norma-norma dogmatis yang kaku, tetapi Islam juga mampu mengakomodir pemikiran-pemikiran kontemporer yang cocok, sehingga antara teks dan konteks selalu berdialog dalam merumuskan nilai-nilai instrumental dalam menghadapi tantangan zaman.

2 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *