Suriah dan Cinta
kompas.id

Suriah dan Cinta

Oleh: Rahmat Hidayat Zain

Suriah lagi-lagi bergejolak. Pemimpin yang lama digulingkan. Pemimpin baru pun muncul sebagai penggantinya. Pemimpin yang mendaku bisa menciptakan perdamaian dan kesejahteraan pada semua masyarakat Suriah, tetapi nyatanya tak sanggup menghentikan peperangan. Bahkan negeri Yahudi yang dulu ketakutan dengan Suriah, kini merangsek masuk seperti tak punya rasa sungkan.

Masuknya kekuatan asing, yang sebetulnya itu cerita lama, semakin menambah durasi perang dan perang yang terus membara, yang telah bergejolak dalam beberapa puluh tahun ini. Padahal, Suriah adalah suatu negeri yang di tanahnya, dulu, menjadi kelahiran dan kematian para nabi dan ulama-ulama besar.

Tanah yang dulu bernama Syam itu seharusnya menjadi tanah yang damai. Damai, tenang dan bahagia, sebab tanah, air dan udaranya merasa ta’dzim kepada para nabi dan ulamanya. Namun apalah daya, tanah yang diplot Tuhan sebagai yang paling banyak diutuskan nabi dan rasul di dalamnya – bersama juga Palestina – tak sanggup memunculkan rasa damai itu. Yang terjadi malah sebaliknya, kematian demi kematian, pembunuhan demi pembunuhan, memenuhi memori manusia-manusia Suriah.

Memang terdengar gelak tawa dan senyum bahagia di telinga-telinga kita. Akan tetapi tawa dan senyum tersebut bukan dari wajah-wajah rakyat Suriah. Tawa dan senyum puas itu justru terpampang dari para penguasa negeri-negeri yang berseteru di atas tanah Suriah. Merekalah yang sebetulnya petani jahat yang dulu telah menanam benih-benih perseteruan dan sektarianisme. Merekalah yang dulu menyemprotkan racun-racun ideologi yang berisikan bisa-bisa perpecahan.

Dan yang sangat sedih, para orang besar di Suriah tak sanggup merdeka dari benih-benih dan racun-racun itu. Mereka malah menelannya mentah-mentah. Mereka memakannya, bersama rakyat yang menaruh kepercayaan padanya. Jadilah, mereka berubah bukan seperti manusia yang di sekujur jiwanya terdapat rasa cinta yang murni. Mereka berubah menjadi makhluk asing yang terus memendam kebencian dan nafsu ingin membunuh.

Rasa cinta itu sepertinya sudah dicerabut oleh mereka sendiri. Atau memang telah kering dan terbakar, akibat dari racun dan bisa yang mematikan itu. Salah satu bagian dari rasa cinta yang tercerabut itu, naasnya, adalah rasa cinta yang harus ada pada orang Suriah untuk Suriah. Yakni rasa cinta pada seluruh yang ada pada diri Suriah, “Aku warga Suriah, maka aku harus mencintai Suriah secara menyeluruh”.

Cinta pada rakyatnya. Cinta pada pemimpinnya. Cinta pada perbedaan ideologi, agama, keyakinan dan pula kepentingan politik yang mengendap di atmosfer Suriah. Sebab tanpa rasa cinta yang terpatri kuat, Suriah tak akan bisa berdamai sampai kapanpun. Dan kini, semua dampak buruk dari hilangnya rasa cinta itu tak bisa dihindari. Mereka telah memasuki masa-masa “panen”, Suriah pun akan kembali mengalami gejolak politik yang memanas. Datangnya serangan balas dendam dari kelompok-kelompok yang dikalahkan, nampaknya tinggal menunggu waktu. Wallahu a’lam bisshawab

 

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *