Oleh: Zaprulkhan
Suatu ketika, ada seorang wanita yang murah hati baru kembali pulang ke rumah, dan melihat ada tiga orang pria berjanggut yang duduk di halaman depan rumahnya. Wanita itu tidak mengenal mereka semua.
Wanita itu berkata: “Aku tidak mengenal kalian, tapi aku yakin kalian semua pasti sedang lapar. Mari masuk ke dalam, aku punya sedikit makanan untuk kalian nikmati.”
Pria berjanggut itu lalu bertanya, “Apakah suamimu sudah pulang?”
Wanita itu menjawab, “Belum, dia sedang keluar.”
“Oh kalau begitu, kami tak ingin masuk. Kami akan menunggu suamimu pulang dulu” kata pria itu.
Di waktu senja, saat keluarga itu berkumpul, sang istri menceritakan semua kejadian tadi. Sang suami, awalnya bingung dengan kejadian ini, lalu ia berkata pada istrinya, “Sampaikan pada mereka, aku telah kembali, dan mereka semua boleh masuk untuk menikmati makan malam bersama kita.”
Wanita itu kemudian keluar dan mengundang mereka untuk masuk ke dalam.
“Maaf, kami semua tak bisa masuk bersama-sama” kata pria itu hampir bersamaan.
“Loh, kenapa?” tanya wanita itu karena merasa heran.
Salah seorang pria itu berkata, “Nama dia Kekayaan” katanya sambil menunjuk seorang pria berjanggut di sebelahnya. “Sedangkan yang ini bernama Kesuksesan” sambil memegang bahu pria berjanggut lainnya. “Sedangkan aku sendiri bernama Cinta. Sekarang, coba tanya kepada suamimu, siapa di antara kami yang boleh masuk ke rumahmu.”
Wanita itu kembali masuk ke dalam, dan memberi tahu pesan pria tersebut. Suaminya pun merasa heran.
“Ohho…. menyenangkan sekali. Baikklah, kalau begitu, coba kamu ajak si Kekayaan masuk ke dalam. Aku ingin rumah ini penuh dengan Kekayaan.”
Istrinya tidak setuju dengan pilihan suaminya. Ia berkata, “Sayangku, kenapa kita tak mengundang si Kesuksesan saja? Sebab sepertinya kita perlu dia untuk membantu keberhasilan panen gandum kita.”
Ternyata, anak perempuan mereka mendengarkan percakapan itu. Ia pun ikut mengusulkan siapa yang akan masuk ke dalam rumah.
“Wahai Ayah dan Ibu, bukankah lebih baik jika kita mengajak si Cinta yang masuk ke dalam rumah kita? Sehingga rumah kita ini akan nyaman dan penuh dengan kehangatan cinta.”
Suami-istri itu akhirnya setuju dengan pilihan buah hati mereka.
“Baiklah, ajak masuk si Cinta ini ke dalam. Dan malam ini, si Cinta menjadi teman santap malam kita”. Wanita itu kembali ke luar, dan bertanya kepada tiga pria itu.
“Siapa di antara kalian yang bernama Cinta? Ayo, silahkan masuk, Anda menjadi tamu kita malam ini.”
Si Cinta bangkit, dan berjalan menuju beranda rumah. Anehnya, ternyata kedua pria berjanggut lainnya pun ikut serta.
Karena merasa ganjil, wanita itu bertanya kepada si Kekayaan dan si Kesuksesan, “Aku hanya mengundang si Cinta yang masuk ke dalam, tapi kenapa kalian berdua ikut juga?”
Kedua pria yang ditanya itu menjawab bersamaan, “Kalau Anda mengundang si Kekayaan, atau si Kesuksesan, maka yang lainnya akan tinggal di luar. Mereka tidak akan ikut masuk. Namun, karena Anda mengundang si Cinta, maka kemanapun Cinta pergi, maka Kekayaan dan Kesuksesan juga akan ikut serta. Sebab ketahuilah, sebenarnya kami buta. Dan hanya si Cinta yang bisa melihat. Hanya dia yang bisa menunjukkan kita pada jalan kebaikan, kepada jalan yang lurus. Dialah yang menjadi inspirasi kami dalam kehidupan ini. Maka, kami selalu butuh bimbingannya saat berjalan. Kami selalu butuh arahannya saat kami menjalani hidup ini. Sebab kami selalu membutuhkannya untuk mewujudkan kesuksesan dalam hidup kami.”
***
Kalau sebagian kita disuruh memilih: manakah yang kita pilih di antara kekayaan, kekuasaan, dan cinta? Barangkali sebagian besar kita akan memilih kekayaan seperti sang suami dalam kisah di atas. Atau mungkin saja sebagian kita akan menjatuhkan pilihan pertama kita pada kesuksesan seperti yang dilakukan oleh si istri dalam kisah tersebut. Dan kemungkinan besar, sangat jarang di antara kita yang menjatuhkan pilihan kita terhadap cinta seperti yang diusulkan anak kecil kepada kedua orang tuanya dalam kisah di atas.
Harus kita akui bahwa kekayaan begitu menggoda sebagian besar di antara kita. Sejak kecil, kita telah diajarkan untuk bekerja keras agar kelak setelah dewasa hidup berlimpah kekayaan. Ketika memasuki usia muda, remaja, hingga usia tua, hidup kita terus berpacu mengumpulkan kekayaan demi kekayaan. Kita bangun rumah yang megah bak istana dan terkadang tidak cukup hanya satu, bahkan dua dan tiga. Kita koleksi mobil-mobil mewah mengikuti perkembangan mobil-mobil termewah mutakhir. Kita kumpulkan perhiasan-perhiasan antik kelas dunia. Kita kunjungi tempat-tempat paling eksotis dan indah di dunia. Dan kita nikmati berbagai jenis makanan dan minuman paling lezat.
Begitupun dengan yang namanya kesuksesan. Kesuksesan laksana mahkota kebanggaan yang berada di kepala dan pundak kita. Lagi-lagi kesuksesan menjadi godaan besar bagi sebagian kita. Sejak kecil kita harus menempuh pendidikan secara selektif agar dapat meraih gelar sarjana, master atau doktor yang berkualitas dari kampus-kampus yang memiliki reputasi level Nasional atau bahkan Internasional. Sejak kecil pula, kita harus rajin belajar, tekun, ulet, dan disiplin dalam perjuangan panjang menggapai cita-cita, supaya kelak kita bisa menjadi orang yang sukses dalam panggung kehidupan; supaya kelak kita memiliki status sosial yang tinggi; supaya kelak kesuksesan kita akan membuat orang-orang membungkuk hormat kepada kita.
Akan tetapi, ironinya demi mengejar kekayaan dunia yang tidak pernah terpuaskan, seringkali kita justru lupa berbagi kasih sayang kepada keluarga kita; demi mengumpul berbagai bentuk kemewahan dunia, kita acapkali malah lalai untuk memberikan perhatian tulus kepada pasangan terdekat kita. Demi memburu pangkat jabatan dan status sosial yang mentereng di mata masyarakat, tidak jarang kita malah melalaikan kasih sayang dan perhatian dari orang-orang terdekat kita.
Demi memuaskan hasrat kekayaan dan kekuasaan yang selalu menuntut dalam diri kita, kadangkala hidup kita justru telah kehilangan sentuhan cinta; kita tidak pernah lagi membagi cinta kepada keluarga kita, kepada pasangan dan anak-anak kita; begitupun kita tidak pernah lagi memperhatikan cinta yang tulus dari pasangan dan anak-anak kita. Dengan memburu kekayaan dan kesuksesan, kita justru kehilangan milik kita yang paling berharga. Kita telah kehilangan cinta. Sebuah harta kekayaan hakiki yang tak pernah terbeli dengan materi apapun.
Jangan salah paham, bukannya kita tidak boleh mencari kekayaan; bukannya kita tidak layak mengejar kesuksesan hidup. Tentu saja kekayaan mesti kita cari dan kita miliki agar kita bisa memenuhi kebutuhan keluarga sebagai tanggung jawab kita. Dengan kekayaan yang cukup bahkan melimpah, kita dapat menjalani kehidupan sesuai keinginan kita yang wajar dan tidak kehilangan harga diri dengan mengemis bantuan dari orang lain. kesuksesan hiduppun dalam berbagai dimensinya mesti kita raih di tengah-tengah masyarakat kontemporer yang kian menuntut profesionalisme dan kompetensi yang mumpuni.
Namun yang menjadi persoalan, ketika kita begitu sibuk mengejar kekayaan dan kesuksesan dengan mengorbankan perhatian dan kepedulian kepada keluarga kita; ketika kita terlalu sibuk memburu segala bentuk kebanggaan dunia dan kemewahan dengan menapik cinta dan kasih sayang dari orang-orang terdekat kita. Inilah yang menjadi persoalan bagi sebagian kita: kita berikan harta dan tahta, tapi kosong dari sentuhan kasih sayang dan cinta. Kita bawa pulang segala hal yang berhubungan dengan kemewahan dan kebanggaan, tapi hampa dari hangatnya perhatian dan kepedulian.
Mungkin saat kita masih kuat dan memiliki jabatan tinggi, kita tidak merasakan kehampaan. Namun ketika kita sudah mulai renta dan tidak lagi memiliki jabatan apapun, kita akan dipaksan menyadari bahwa kekayaan dan kemewahan paling berharga dalam kehidupan di dunia ini adalah kasih sayang dan cinta yang tulus dari orang-orang terdekat kita. Saat kita akan menyadari secara otentik bahwa kesuksesan sejati adalah ketika kita bisa menerima hangatnya perhatian dan kepedulian dari pasangan dan anak-anak kita sekaligus kita juga selalu membagikan perhatian dan kepedulian yang sama kepada mereka, buah cinta abadi kita.
Sebenarnya kalau kita mengamati kehidupan dengan seksama, kita akan menemukan bahwa dunia ini dipenuhi para miliader yang mengalami hidup hampa; dipenuhi para jutawan yang tidak bahagia; dipenuhi para penguasa yang selalu gelisah. Itulah orang-orang yang wajah kehidupannya telah kehilangan indahnya sentuhan cinta dan hangatnya kasih sayang; indahnya sentuhan perhatian, kepedulian, dan kebersamaan orang-orang terdekat mereka.
Ada sebuah temuan yang amat menarik yang dilakukan oleh penulis terkenal John Izzo, Ph.D terhadap berbagai kalangan orang-orang kaya dan sukses kelas dunia. Ketika John Izzo menanyakan kepada orang-orang yang kaya dan sukses yang sudah renta: Apa yang menjadi sumber utama kebahagiaan mereka dalam hidup? Ternyata jawabannya bukan uang dan kekayaan. Bukan rumah mewah. Bukan mobil megah, dan semua bentuk kemewahan hidup. Bukan pula kesuksesan dengan pangkat jabatan yang tinggi; status sosial yang mentereng.
Mereka justru memberikan jawaban yang terdengar bersahaja tetapi otentik: “Sumber kebahagiaanku adalah orang-orang terdekatku; cinta dan kasih sayang dari pasanganku dan anak-anakku; perhatian dan kepedulian yang tulus dari keluarga dan sahabat terdekatku.”
Dalam perjalanan yang sama juga John Izzo menemukan orang-orang kaya dan sukses yang menyesal di ujung kehidupannya karena telah melalaikan cinta dan kasih sayang kepada keluarga mereka disaat masih sehat dan kuat. Orang-orang kaya super sukses ini mengakui secara terus terang: Hampir seumur hidup mereka menghabiskan waktunya untuk memburu kekayaan dan kemewahan dunia.
Tapi tatkala mereka merasa kesepian dalam bayangan kelam usia senja, ternyata kemewahan mobil Mercy dan BMW mereka tidak bisa menepis kesepian mereka. Nyaris seumur hidup mereka mengejar kesuksesan hidup yang bernama kekuasaan, status sosial, dan jabatan yang mentereng. Tapi ketika penyakit memukul hari-hari usia tua renta mereka, ternyata kesuksesan tidak bisa mengobati mereka, pangkat jabatan tidak sanggup menghibur kegelisahan mereka, kekuasaan yang dulu mereka banggakan menjelma bungkam.
Bukan kekayaan dan kemewahan dunia yang menghibur kesepian usia senja mereka, melainkan pasangan dan anak-anak terkasih. Bukan mobil mewah BMW, Mercy, atau Ferrari yang mengunjungi mereka saat sakit dalam usia renta, melainkan keluarga terdekat dan sahabat-sahabat tercinta. Dan bukan kekuasaan, pangkat jabatan, atau segala bentuk kesuksesan masa muda yang menemaninya dihari akhir-akhir hidupnya di ranjang kematian, melainkan istri tercinta, anak-anak terkasih, dan seluruh keluarga tersayang.
“Seumur hidup kuhabiskan untuk mengejar harta kekayaan. Sekarang aku baru sadar ternyata sedan BMW-ku tidak pernah menjengukku di panti jompo”, ungkapan penyesalan yang dilontarkan salah seorang di antara mereka.
Karena itulah, kisah metaforik di atas mengajak kita untuk tidak begitu terobsesi dengan yang namanya kekayaan dan kesuksesan dengan mengorbankan cinta dan kasih sayang kepada orang-orang terdekat kita. Kisah metaforik itu juga mengajarkan sebuah kearifan kepada kita bahwa sebanyak apapun kekayaan dan kemewahan dunia yang kita kumpulkan, semua perkakas duniawi itu hanya benda mati yang bersifat buta secara hati nurani dan perasaan.
Sentuhan cinta dan kasih sayanglah yang mampu menuntun kita untuk menggunakannya dengan benar. Begitu juga setinggi dan sehebat apapun kesuksesan hidup, pangkat jabatan dan kekuasaan yang kita sandang, semua hanya emblem-emblem semu yang juga buta secara hati nurani dan perasaan. Lagi-lagi hembusan nafas cinta dan kasih sayanglah yang mampu menggunakannya dengan tepat demi kebahagiaan hidup kita.
Zaprulkhan. Dosen IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung