Artikel ini secara khusus ingin mengulas berbagai penjelasan inti yang tertuang dalam buku Agama Jawa karya Clifford Geertz, seorang antropolog terkemuka asal Amerika yang melakukan studinya di pulau Jawa. Meski buku ini telah menjadi klasik dan banyak peneliti selanjutnya yang menyanggah berbagai tesis Geertz, namun tidak bisa dipungkiri bahwa karya Geertz ini merupakan kajian paling lengkap dan serius tentang etnografi masyarakat berkebudayaan Islam Jawa.
Boleh di bilang, melalui karyanya ini, yakni Agama Jawa, Geertz telah berhasil dalam melakukan studi etnografis secara komprehensif dan detail tentang berbagai praktik berkebudayaan Islam masyarakat Jawa. Keberhasilan ini berangkat dari studi Geertz terhadap masyarakat Muslim secara spesifik, sehingga berbagai praktik keagamaan dan kebudayaan betul-betul dapat diungkap secara apa adanya. Dan, karya ini telah dapat memberikan gambaran yang gamblang tentang bagaiaman cara beragama masyarakat Jawa.
Tentu saja karya ini memiliki arti yang sangat penting sebagai catatan etnografi yang secara khusus mencakup berbagai praktik keberagamaan orang-orang Jawa serta memberikan penafsiran terhadapnya yang kiranya dapat memudahkan bagi siapapun yang ingin mengenal lebih dekat tentang praktik keagamaan masyarakat Jawa pada umumnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Geertz terletak di daerah Mojokuto Jawa Timur, sebuah tempat yang sebenarnya tidak menunjuk pada sebuah nama daerah di Jawa Timur. Namun banyak peneliti menduga bahwa daerah Mojokuto itu terletak di kecamatan Pare, Kediri, Jawa Timur.
Saya sendiri pernah hidup satu tahun di Pare, yakni tahun 2009 untuk keperluan kursus bahasa Inggris. Meski gambaran umum yang saya peroleh di Pare itu berbeda jauh dengan apa yang ditulis oleh Greetz dalam buku Agama Jawa, namun sisa-sisa praktik dan model keberagamaan yang dituturkan Greetz masih ada walau tidak mencolok.
Secara Garis besar, karya Geertz ini bertitik tolak pada suatu tesis utama bahwa masyarakat Jawa dilihat dari sudut pandang pelaksanaan tindak keagamaan dan afiliasi domisili dan okupasi terbagi ke dalam tiga varian keagamaan yakni abangan, santri dan priyayi.
Sederhananya, abangan diasosiasikan dengan kelompok petani yang bermukim di desa-desa dan dipandang sebagai varian yang lebih dekat dengan pemahaman animistik dalam orientasi keagamaannya. Lain halnya santri yang secara okupasi didominasi kalangan pedagang yang memegang kendali pasar dan diasosiasikan dengan penganut ajaran Islam yang taat. Adapun varian priyayi merupakan kelompok yang menduduki elit kekuasaan dengan posisi-posisi pemerintahan dan seringkali diasosiasikan dengan kota serta lebih dekat dengan ajaran mistik dalam orientasi keagamaannya.
Abangan, Santri, Priyayi
Boleh dibilang, temuan Geertz yang amat sangat berharga adalah tentang identifikasi berbagai istilah secara trikotomis, yakni abangan, santri, priyayi; ketika trikotomis ini dapat secara nyata mengambarkan praktik berkeislaman masyarakat Jawa pada umumnya. Juga, Geertz memastikan bahwa istilah ini bukan secara khusus ia ciptakan sendiri, tetapi praktik berkegamaan masyarakat Jawa-lah yang benar-benar menggambarkan berbagai peristilahan itu. Sebagai peneliti, hanya mempertegas dan mempermudah penyebutan, karena ini bukan hanya akan memudahkan dalam memahami kelompok keagamaan masyarakat Jawa tetapi juga mudah mengidentifikasi pada kajian-kajian akademis.
Abangan
Menurut Geertz, varian abangan lebih terekspresikan dalam praktik keagamaan yang bercorak animistik dalam konteks sinkretisme, umumnya praktik keagamaan model ini dilakukan oleh kalangan petani, mereka hanya memiliki sedikit pengetahuan tentang Islam sehingga praktik keagamaannya banyak dipengaruhi oleh tradisi leluhur (hal. 8).
Istilah abangan ini juga disinyalir Geertz sangat mudah bila dikaitkan dengan istilah santri, artinya bahwa kelompok abangan adalah orang-orang yang kurang terlalu memedulikan doktrin normatif agama, sementara kelompok santri adalah orang-orang taat yang merupakan kebalikan dari kelompok abangan.
Geertz memandang bahwa perbedaan mencolok antara abangan dan santri adalah terletak pada orientasi dan praktik keagamaan, di satu sisi ada yang mengedepankan aspek sinkretis dan abai terhadap syariat sementara di sisi lain ada yang mengedepankan aspek syariat dan kurang mengapresiasi sinkretis. Sementara perbedaan antara abangan dengan priyayi lebih didasarkan pada “segi isi budaya” di mana orientasi priyayi dan abangan “untuk sebagian hanya merupakan versi halus dan kasar dari masing-masingnya” (hal. 315). Maksudnya, abangan dan priyayi memiliki cara pandang yang berbeda terhadap satu segi budaya yang sama.
Berbagai uraian Geertz tentang varian abangan banyak didominasi oleh penjelasan tentang tradisi Slametan. Tradisi ini, boleh dibilang praktik inti dari masyarakat abangan yang merupakan ekspresi mistik sekaligus perkumpulan sosial yang dapat merekatkan solidaritas keagamaan mereka. (hal. 17). Dengan mengkaji ritual slametan ini, Geertz sampai pada pemahaman bahwa tradisi ini merupakan praktik inti bagi abangan dan menduduki posisi yang sentral dalam budaya berislam orang-orang abangan.
Berbagai hal yang menjadi sorotan Geertz adalah tentang keterkaitan antara praktik slametan ini dengan keislaman. Artinya, orang-orang abangan selalu menghubungkan tradisi itu dengan nilai-nilai Islam, sehingga bukan sesuatu yang bertentangan dengan agama. Dan, lebih menarik lagi, meski kelompok abangan ini kadang-kadang menunjukkan ekspresi tidak suka terhadap kelompok santri, tetapi seringkali dalam praktik slametan, mereka mengundang kelompok santri yang bertugas sebagai pemandu acara, yakni sebagai imam yang membacakan do’a-do’a. Sebab, menurut kalangan abangan, kelompok santri ini sudah sangat terbiasa dengan do’a-do’a itu, sehingga mereka menganggap kalangan santri cukup kredibel bila memimpin slametan.
Namun demikian, ini bukan berarti bahwa budaya slametan hanya dipraktikkan oleh kalangan abangan saja. Kalangan santri dan banyak umat Islam juga mempraktikkannya, hanya mungkin perbedaannya terletak pada penafsiran terhadap praktik itu. Misalnya, bagi kalangan abangan, slametan dimaknai sebagai perwujudan dari cara mereka dalam menstabilkan antara dunia nyata dan roh-roh halus, agar roh-roh tidak menganggu kehidupan mereka. Sedangkan bagi kalangan santri, slametan semata-mata dilakukan karena memohon do’a kepada Allah SWT.
Santri
Seperti disinggung di awal, kelompok santri merupakan orang-orang yang taat kepada agama, maksudnya mereka sangat menonjolkan sisi doktrin-normatif keagamaan daripada budaya. Di sini, posisi santri memang berbeda dengan abangan, yakni berbeda dalam praktik dan orientasi keagamaannya.
Pelacakan terhadap kalangan santri ini juga mudah karena model berkeislamannya bisa dibilang cukup lurus dan tidak banyak berbeda dengan model Islam di berbagai belahan dunia, artinya mereka mempraktikkan Islam sesuai dengan kitab suci dan petunjuk agama.
Meskipun, model santri yang dimaksud Geertz ini juga ada perbedaan dengan model Islam di berbagai wilayah dunia. Santri ini, menurut Geertz, memiliki dua model, yakni ada yang berorientasi konservatif, ada pula yang modernis. Paling tidak, apa yang digambarkan tentang Geertz tentang dua model santri ini masih sangat terlihat sampai hari ini.
Uraian Geertz mengenai varian santri tidak hanya menyangkut perihal dikotomi moderen dan konservatif, lebih jauh Geertz menyebutkan pola ibadah santri sebagai karakteristik seseorang dimasukkan ke dalam kelompok santri atau bukan. Pola-pola ibadat santri yang utama adalah sembahyang lima waktu, shalat Jum’at dan puasa (Geertz : 289-301). Tentu saja ibadat-ibadat yang dicatat Geertz belum mencakup kompleksitas ibadat yang dilakukan santri tetapi mungkin hal-hal itu yang tampak menonjol pada saat penelitiannya.
Melihat dikotomi santri konservatif-modernis memang menarik, sebab dua bentuk ekspresi ini masih sangat terlihat hingga sekarang. Meski penelitian Geertz tentang santri ini banyak dibantah oleh Zamaksyari Dofier dalam bukunya Tradisi Islam, di mana ia mengatakan bahwa model dikotomi Geertz sangat tidak realistis dan keliru dalam menggambarkan santri, sebagaimana Geertz mengatakan bahwa santri adalah kalangan tradisional yang kolot, ini juga dibantah oleh Dofier.
Menurut Dofier, Geertz tidak mampu melihat berbagai ekspresi santri secara umum, sebab, santri pada umumnya adalah orang-orang yang mampu mengikuti arus zaman. Namun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa memang ada model santri yang sedari awal berwatak tradisional konservatif, dan ada pula yang berwatak modernis, seperti organisasi NU dan Muhammadiyah, meski ekspresi mereka tentu saja tidak bersifat monolitik.
Priyayi
Priyayi merupakan kelompok elit Jawa, mereka sangat dekat dengan penguasa dan sangat kaya, biasanya mereka diidentifikasi sebagai orang-orang yang tinggal di kota-kota. Kelompok priyayi adalah orang-orang yang berpendidikan, dianggap modern, tetapi pada saat yang sama juga mengembangkan sejenis Islam sinkretis, artinya Islam yang bercorak kebudayaan. Intinya, mereka adalah orang-orang yang ada dalam posisi terhormat di tengah-tengah masyarakat
Menurut Geertz, priyayi adalah orang yang bisa menyelusuri asal-usul keturunannya sampai kepada raja-raja besar Jawa jaman sebelum penjajahan; yang setengah mitos; tetapi sejak Belanda mempekerjakan kaum ini sebagai instrumen administrasi kekuasaanya, pengertian priyayi meluas termasuk orang kebanyakan yang ditarik ke dalam birokrasi akibat persediaan aristokrat asli sudah habis (hal. 308).
Selain itu, priyayi juga seringkali dipahami sebagai kelompok yang memiliki tradisi agung, karena mereka sering diasosiasikan sebagai keturuan raja-raja dulu. Tidak heran jika priyayi sering diidentikan dengan kelompok ideal yang seharusnya dicapai oleh individu-individu Jawa.
Dalam kaitannya dengan orientasi keagamaan, priyayi sebenarnya tidak beda dengan abangan, mereka juga mempraktikkan ajaran mistik, namun dengan berbagai penafsiran yang beda dengan abangan. Intinya, kaum priyayi adalah orang-orang yang suka menggabungkan ajaran Islam dan mistik Jawa, tetapi aspek mistiknya lebih menonjol sehingga ajaran murni Islam sering diabaikan. Hal ini misalnya bisa dilihat dalam berbagai kitab-kitab Islam kejawen, banyak dari mereka mempraktikkan ajaran mistik Jawa, tapi miskin kosa kata Islam. Jadi, kelompok priyayi ini lebih dekat dengan abangan daripada santri.
Kelebihan Buku
Terlepas dari model trikotomi masyarakat Muslim Jawa di atas, Geertz tentu saja berhasil dan telah memberikan sumbangan yang amat besar dalam kajian mengenai Islam di tanah Jawa. Sumbangan tersebut tidak hanya berupa perspektif trikotomis yang hingga kini tetap dipandang sebagai pendekatan yang cukup memadai _meski banyak pihak yang mengkritik pendekatan tersebut_ tetapi hal yang tentu sangat berguna bagi diskursus metodologis antropologis secara umum. Geertz telah merintis pendekatan yang lebih berorientasi pada kebudayaan sebagaimana dipraktekkan para pendukung kebudayaan tersebut.
Misalnya, Geertz mampu menggambarkan secara detal bagaimana praktik-praktik keagamaan orang-orang Jawa dan membawa aspek-aspek itu pada wilayah yang lebih kompleks. Artinya, bahwa sudut pandang Geertz ini mencoba melihat satu aspek tetap sekaligus menjadi keumuman dalam masyarakat.
Geertz memandang orang Jawa memiliki cara yang beragam dalam mengartikulasikan keyakinan mereka, artinya satu agama bisa diekspresikan dengan berbagai cara, tergantung sudut pandang dan latar belakangnya. Misalnya, kalangan abangan mengekspresikan keyakinan mereka dengan upacara slametan di mana tujuan akhir dari upacara tersebut adalah terciptanya harmoni dalam kehidupan mereka dan dihubungkan dengan roh-roh yang bagi mereka senantiasa mempengaruhi kehidupan mereka setiap saat.
Sementara kalangan santri mengekspresikan keyakinan mereka melalui pengamalan yang taat terhadap ajaran-ajaran Islam dan semua itu ditujukan kepada Allah SWT. Adapun kalangan priyayi lebih mengedepankan pendekatan mistik yang sangat dipengaruhi ajaran Hindu-Budha.
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa Geertz telah berhasil dalam memberikan penafsiran terhadap masyarakat Islam Jawa dari sisi praktek keagamaan mereka dan memandangnya sebagai perwujudan dari pola-pola makna yang merupakan inti kebudayaan dalam pandangan Geertz. Inilah kiranya yang menjadi kesuksesan Geertz dalam menulis buku ini.
Tanggapan
Terlepas dari berbagai keistimewaan dan keberhasilan Geertz, bahwa buku ini mengandung sejumlah kelemahan yang kiranya dapat menjadi titik balik bagi berbagai penelitian selanjutnya. Misalnya, benar bahwa buku ini secara metodologis sangat mumpuni dan berhasil dalam memetakan watak kebudayaan masyarakat Jawa.
Namun demikian, berbagai data yang terkandung dalam buku tampak sudah tidak relevan lagi dan banyak pula yang menilai data-data itu sendiri sebagai tidak akurat. Soal tidak relevan itu, memang wajar lantaran perubahan zaman akan berakibat pula pada perubahan pola hidup masyarakat, begitu juga dengan praktik keagamaannya pasti akan mengalami perubahan.
Selain itu, hal yang juga kurang jelas adalah soal identifikasi trikotomis masyarakat Jawa dalam berbagai kelompok, misalnya soal abangan, santri, dan priyayi. Istilah-istilah ini agaknya kabur dan tidak seimbang antara satu dengan yang lain, misalnya abangan dan santri, merupakan bentuk orientasi keagamaan, sedangkan priyayi lebih merupakan perwujudan dari status sosial daripada keagamaan. Sehingga pengindentifikasian ini tampak menjadi tidak seimbang.
Kemudian, yang menjadi soal lagi adalah apakah watak abangan, santri, dan priyayi sangat eksklusif di tengah-tengah masyarakat? Maksudnya, apakah abangan itu sama sekali berbeda dengan santri, begitu juga dengan priyayi, ini juga lepas dari penjelasan Geertz.
Sebab, model keagamaan masyarakat Jawa sebenarnya sangat cair, tidak sekaku sebagaimana digambarkan Geertz. Dalam pengertian lain bahwa seringkali ekspresi yang dimiliki oleh abangan, santri, dan priyayi saling tertukar satu sama lain. Jadi, yang dianggap priyayi kadang-kadang juga mengekspresikan bentuk tradisi abangan.
Secara garis besar, perbincangan mengenai abangan, santri, dan priyayi sebagai model berkeislaman orang-orang Jawa tampak sudah sangat tidak relevan, hal ini terjadi lantaran adanya perubahan besar-besaran di ranah sosial, khususnya dibidang pendidikan. Meskipun, harus diakui pula bahwa masih ada saja orang-orang yang mengekspresikan model trikotomis itu walaupun hanya sedikit.
Pingback: Review Kitab Imam Al-Ghazali: Mendudukan Posisi Maqashid Al-Falasifah - Islamadina