Ahlul Bait dalam Tradisi Islam Sunni dan Syi’ah
sindonews.com

Ahlul Bait dalam Tradisi Islam Sunni dan Syi’ah

Dalam tradisi Islam, umum diketahui bahwa ahlul bait merupakan orang-orang yang memiliki garis keturunan dengan Nabi Muhammad Saw., umat Islam sangat menghormati keberadaan mereka bukan hanya sekedar sosok yang mewarisi darah Nabi, tetapi penghormatan itu juga berangkat dari kecerdasan dan keilmuan yang dimiliki oleh ahlul bait.

Dalam penelusuran penulis, tradisi memuliakan ahlul bait ternyata tidak hanya berasal dari Islam Sunni, selain itu, ada Islam Syi’ah yang juga memiliki tradisi penghormatan terhadap ahlul bait. Malahan, bentuk penghormatan yang ada dalam tradisi Syi’ah lebih fenomenal dan kuat ketimbang yang ada dalam tradisi Sunni.

Syi’ah sendiri merupakan salah satu aliran dalam Islam yang sangat menjunjung tinggi keturunan Nabi. Dilihat dari sejarahnya, mereka adalah kelompok yang menganggap bahwa pewaris kepemimpinan setelah Nabi haruslah dari kalangan ahlul bait. Sekarang kelompok ini banyak hidup di negara Iran.

Bagi Islam Sunni misalnya, orang yang memiliki gelar maksum (terhindar dari dosa) hanyalah para Nabi saja. Hal ini berbeda dengan pandangan Syi’ah di mana ahlul bait juga sama-sama maksum sebagaimana Nabi. Mereka adalah penerus Nabi yang terjaga kesuciannya dan terhindar dari dosa.

Dalam tradisi Syi’ah, ahlul bait memiliki makna sebagai penerus kepemimpinan Rasulullah Saw. dan dianggap sebagai imam yang wajib ditaati. Ahlul bait juga dianggap sebagai pemimpin yang sah komunitas Muslim setelah Nabi Muhammad.

Hal ini berbeda secara diametral dengan Sunni, di mana ahlul bait adalah orang yang harus dimuliakan tetapi mereka bukanlah penerus kepemimpinan Rasul. Dalam konteks ini, Sunni tampak lebih fleksibel dalam memahami ahlu bait, yakni tidak melihat mereka sebagai penerus Nabi dalam arti pemangku kekuasaan politik dalam Islam maupun pemangku otoritas kebenaran.

Pandangan Syi’ah tentang ahlul bait sebagai penerus kepemimpinan Nabi juga sebenarnya berangkat dari peristiwa sejarah. Menurut mereka, Sahabat Ali merupakan orang yang paling tepat menggantikan Nabi setelah wafat, bukan sahabat-sahabat lain seperti Abu Bakar, Umar, dan Usman. Banyak orang beranggapan bahwa fenomena peralihan kepemimpinan setelah Nabi ini menjadi salah satu faktor pembentukan Islam Syi’ah, meskipun ada pula peristiwa-peristiwa lain yang melatarbekalanginya.

Bila Sunni beranggapan bahwa ahlul bait ada terus hingga sekarang, karena memang keturunan Nabi terus ada, maka dalam tradisi Syi’ah siapa yang disebut ahlul bait terbatas hanya pada lima orang, yaitu Rasulullah, Fatimah, Ali bin Abi Thalib, Hasan, dan Husein.

Bagi Syi’ah, mencintai ahlul bait merupakan tuntutan syariat dan fitrah yang sehat. Sementara Sunni sendiri tidak menganggap mencintai ahlul bait sebagai bagian dari syariat, sebab mencintai maupun menghormati keturunan Nabi lebih merupakan sebuah tradisi alih-alih ajaran yang disyariatkan dalam agama.

Barangkali, ajaran pokok tentang ahlul bait dalam Syi’ah berangkat dari salah satu sabda Nabi yang terdapat dalam kitab Syi’ah berjudul Man La Yahdzuruhul Faqih, begini bunyi haditsnya:

Barangsiapa melindungi seorang dari Ahlulbait-ku atau lakukan kebaikan kepada mereka atau tutupi aurat mereka (berikan sandang) atau kenyangkan orang yang lapar dari mereka, maka akan bangkit di hari akhir hingga aku mencukupkannya. Saat bangkit manusia yang melakukan semua itu, akan mendengarkan panggilan dari Allah Swt; Wahai Muhammad, wahai kekasihku, sungguh Aku telah menjadikan mereka berkecukupan, maka Aku telah menempatkan mereka dari surge sebagaimana engkau inginkan. Dia akan menempatkan mereka di sebuah wahana sebagaimana mereka tak berjarak dengan Rasulullah Saw”.

Penulis tidak tahu apakah hadist di atas juga ada di dalam kitab-kitab hadits dalam tradisi Sunni, yang jelas hadist itu menjadi salah satu pedoman Syi’ah dalam memuliakan ahlul bait.

Menurut Alizera Alatas dalam artikelnya berjudul “Meluruskan Makna Ahlul Biat”, hadits di atas merujuk pada pengertian ahlul bait sebagai keturunan Nabi hingga sekarang, sehingga tidak terbatas pada ahlul bait yang berjumlah lima sebagaimana penulis singgung pada bagian awal.

Tradisi Syi’ah sendiri juga mengenal makna “Khos” untuk menunjuk pada ahlul bait, julukan ini berkedudukan sebagai imam yang wajib ditaati dan dipahami sebagai penerus Rasulullah Saw. Sementara Sunni meyakini mereka sebatas manusia-manusia mulia atau abror yang punya jalur riwayat sangat kuat tersambung pada Nabi.

Dalam konteks penghormatan terhadap ahlul bait, antara Sunni dan Syi’ah barangkali memiliki persepsi yang sama, yakni sama-sama memuliakan keturunan Nabi. Bedanya, Sunni sebatas menghormati mereka sebagai manusia mulia keturunan Nabi, sementara Syi’ah tidak hanya sebatas memuliakan ketokohannya, tetapi juga menganggap mereka adalah keturunan Nabi dalam hal kepemimpinan dan pemangku otoritas keilmuan dalam agama.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *