Artikel ini berangkat dari satu problem teoritis tentang apakah agama dan sains bertentangan dalam hal menjustifikasi kebenaran? Apakah keduanya memiliki model kebenaran yang berbeda? Bila keduanya berbeda, apakah bisa saling bertemu atau malah saling menjauh satu sama lain?
Pertanyaan di atas berpijak pada satu anggapan bahwa umumnya orang menganggap agama dan sains berasal dari ruang yang berbeda sehingga menghasilkan bentuk kebenaran yang berbeda. Mengenai anggapan ini, mari kita telusuri bagaimana cara kerja logika agama dan sains dalam merumuskan dan menyimpulkan kebenaran.
Logika Agama
Agama pada dasarnya memiliki dua wajah ganda, pertama ia adalah kabar yang berasal dari langit, kedua ia adalah fenomena duniawi yang dapat dipahami dan diidentifikasi secara langsung. Pada yang pertama, jelas bahwa kebenaran agama tidak dapat dijangkau manusia. Sebab, pengetahuan manusia terbatas pada hal-hal yang dapat diindera. Pada yang kedua, kebenaran agama tentu dapat dipahami dan diterima sebagai kenyataan sosiologis dan historis.
Fakta ini dapat menjadi justifikasi bahwa di dalam agama sendiri ada corak kebenaran yang bersifat subjektif sekaligus bersifat objektif. Subjektif dalam arti kebenaran yang datang dari langit, dan objektif dalam arti kebenaran yang berasal dari bumi.
Apa itu kebenaran subjektif dan objektif? Kebenaran subjektif biasanya terkait hal-hal yang bersifat personal, artinya kebenaran itu hanya bisa diterima oleh subjek-subjek tertentu antar orang dan tidak bisa diterima oleh yang lainnya. Kebenaran subjektif umumnya tidak bisa dibuktikan menggunakan alat-alat yang memungkinkan untuk membuktikannya, yakni pengalaman inderawi manusia, baik menggunakan alat yang dimiliki manusia an sich (pengalaman inderawi dan akal), atau menggunakan alat teknologi.
Kebenaran subjektif adalah salah satu jenis kebenaran yang paradigmanya berbasis pada keyakinan dan pengalaman-pengalaman subjektif mengenai sesuatu. Apapun pengetahuan yang berasal dari pengalaman personal seperti persepsi, opini, dugaan – bila ia diakui sebagai kebenaran – pasti selalu bersifat subjektif.
Agama yang datang dari langit tentulah bersifat subjektif karena kebenaran-kebenaran yang dikandungnya tak mungkin dapat dibuktikan menggunakan alat yang dimiliki manusia. Misalnya, apakah kita bisa membuktikan bahwa surga dan neraka itu ada? Bagaimana cara kita mengetahui bahwa hari kiamat itu benar-benar akan terjadi? Dan yang lebih radikal lagi, bagaimana cara kita mengetahui Tuhan?
Pertanyaan-pertanyaan di atas jelas tidak akan bisa dijawab oleh manusia secara langsung. Ia hanya bisa dijawab menggunakan model ‘kebenaran subjektif’ yang berasal dari agama yang diyakininya. Sebab, informasi tentang surga dan neraka, hari akhir, dan Tuhan, adalah pengetahuan-pengetahuan yang berasal dari agama tersebut, bukan sesuatu yang ditemukan melalui pengalaman-pengalaman inderawi.
Bahkan, pembuktian serasional apapun tentang informasi-informasi yang datang dari langit, misalnya membuktikan Tuhan secara rasional (teologi, kalam, filsafat ketuhanan), tetap saja eksistensi Tuhan tidak akan tersentuh. Sebab, kebenaran rasional selalu saja bersifat spekulatif dan tidak ada kepastian mutlak di dalamnya, apalagi mengenai hal-hal abstrak yang tidak bisa dijangkau oleh pengalaman inderawi.
Namun demikian, kendati subjektitas dalam agama sangat kuat, agama sejatinya juga memiliki model kebenaran objektif. Kebenaran objektif adalah jenis kebenaran yang bisa diterima oleh semua orang. Ia adalah model kebenaran yang secara lahiriyan bisa dibuktikan menggunakan alat-alat pembuktian yang dimiliki manusia.
Misal, ketika agama telah datang dari langit dan dipraktikkan oleh manusia di bumi, maka praktik-praktik itu menjadi pengalaman yang bersifat duniawi. Pengalaman duniawi itulah yang persisnya bisa disebut sebagai kebenaran objektif dalam agama. Sebab, pengalaman itu bisa diamati secara historis, antropologis, sosiologis, dan lain sebagainya.
Terkait dengan kebenaran objektif agama, manusia dapat mengamati secara langsung fenomena keagamaan yang dipraktikan oleh manusia sepanjang sejarahnya. Sehingga apa-apa yang dilakukan manusia perihal praktik keagamaan selalu bisa diamati dan diteliti secara langsung. Hal inilah yang membuat agama memiliki corak kebenaran objektif.
Dalam penyikapi wajah ganda dalam agama tersebut, para ilmuwan dan cendekiawan telah merumuskan dua konsep tentangnya, pertama agama langit sebagai sesuatu yang bersifat normatif, tentang apa-apa yang diterima dan diyakini. Sedangkan yang kedua agama bumi sebagai sesuatu yang bersifat historis.
Kendati kebenaran agama itu bercorak normatif maupun historis, keduanya tetap tidak bisa dipisahkan. Sebab agama historis selalu berpangkal pada agama normatif. Tanpa nomativitas dalam agama, historisitas agama juga tidak akan pernah ada. Namun perlu dicatat, ketidak-terpisahan ini hanya terkait pada sebab dan akibat, bukan pada ketidak-terpisahan dalam hal isi kebenarannya.
Logika Sains
Para ilmuwan atau saintis telah bersepakat bahwa sains adalah segala sesuatu yang berasal dari pengamatan terhadap gejala dan peristiwa alam semesta. Produk-produk sains pun selalu berasal dari sana. Sains tidak pernah punya ketertarikan membahas hal-hal yang bukan berasal dari alam, artinya terhadap sesuatu yang tidak bisa diamati secara langsung, maka itu bukan bidang yang bisa digeluti oleh sains. Ini sekaligus dapat menjadi jawaban pertanyaan kepada sains tidak pernah dapat dijadikan alat untuk membuktikan Tuhan, sebabnya, Tuhan bukan dimensi yang dapat diamati secara langsung.
Bila sains merupakan jenis pengetahuan yang dilahirkan dari pengamatan terhadap alam, maka sudah pasti kebenaran sains bersifat objektif, yakni bisa dibuktikan dengan alat-alat yang dimiliki oleh manusia. Sehingga, produk pengetahuan apapun yang tidak dapat diamati dan dilihat menggunakan kacamata sains, maka ia pasti bukan kebenaran objektif.
Karena kebenaran sains ini bersifat objektif, maka produk kebenaran di dalamnya pasti dapat diterima oleh semua orang. Seluruh manusia yang berakal dan mampu menggunakan alat penginderaannya dengan baik, pasti akan mengakui produk kebenaran sains tersebut. Bila ternyata ada orang yang tidak mau mengakui sementara secara teoritis sudah benar, maka penolakannya terhadap sains otomatis batal, dan argumen-argumennya tidak bisa menjadi landasan kebenaran di bidang sains.
Penolakan terhadap hukum dan teori sains haruslah juga berasal dari teori sains tersebut. Sebab, sains punya perangkat metodologi sendiri dalam mengamati alam. Sehingga bila orang ingin membantahnya, ia harus punya bukti-bukti tandingan yang berbasis pada metodologi sains juga.
Biasanya, model kebenaran objektif disebut sebagai kebenaran ilmiah, atau kebenaran alami yang cocok dengan alam. Kebenaran ilmiah ini adalah kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional maupun secara inderawi. Kebenaran yang hanya bisa diterima secara akal belum tentu menjadi kebenaran ilmiah. Boleh jadi kebenaran rasional itu hanya berasal dari dugaan atau pun spekulasi pikiran saja yang tidak ada dasarnya dalam realitas alam ini.
Paling tidak, sains bertitik tolak pada minimal tiga metode berpikir; pertama, harus ilmiah, yakni bisa dipertangungjawabkan dan bisa dibuktikan secara empiris. Kedua, koresponden, yakni antara apa yang dipikirkan sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya, dan ketiga, koheren, yakni runtun, logis, konsisten, dan kesimpulan-kesimpulannya tidak bertentangan atau bertolak belakang dengan argumen-argumen yang lainnya.
Mungkinkah Agama dan Sains Bertemu?
Bila yang dimaksud agama di sini adalah sesuatu yang datang dari langit, maka jelas agama dan sains tidak akan pernah bisa bertemu. Keduanya berasal dari ruang yang berbeda, cara berpikirnya juga berbeda, dan cara memproduksi kebenarannya pun berbeda. Satunya menggunakan persepsi pikiran dan hati, satunya menggunakan pengalaman empiris (pengalaman inderawi).
Tapi, bila yang dimaksud adalah agama bumi, yakni agama yang dapat diamati melalui praktik-praktik keagamaan para pemeluknya, misalnya pada dimensi sosial, budaya, dan sebagainya, maka jelas agama dan sains adalah dua hal yang bisa saling bertemu. Bahkan, keduanya bisa saling diintegrasikan atau ditemu-padukan dalam satu nafas yang tidak terpisah.
Justru, apa yang kita sebuah sebagai kebenaran objektif dalam agama, yakni sisi-sisi historisitas agama, sejatinya adalah sesuatu yang bersifat saintifik. Sebabnya, paradigma kebenaran objektif dalam agama adalah sesuatu yang dipinjam dari sains. Rumusan-rumusan kebenaran ilmiah hanya ada di dalam sains, dan segala sesuatu yang menyatakan dirinya ilmiah, sementara ia tidak datang dari sains, maka dapat dipastikan ia meminjam terminologi-terminologi sains untuk mengidentifikasi jenis kebenarannya.
Ketika ada seorang ilmuwan atau agamawan meneliti sejarah agama-agama, maka alat yang digunakan oleh ilmuwan atau agamawan tersebut pastilah sesuatu yang berasal dari sains. Tidaklah mungkin ia meneliti historisitas agama tetapi tidak punya perangkat untuk menggalinya.
Bila seseorang meneliti sejarah agama tanpa menggunakan alat sains, pasti ia akan terjebak pada kebenaran subjektif, yakni jenis kebenaran yang ada di dalam agama tersebut. Mengapa begitu? Karena ia tidak punya alat ukur, sehingga produk-produk pengetahuannya pasti berasal dari dugaan, persepsi, opini, takhayul, mitos, dan lain sebagainya.
Sebagai contoh, ketika seseorang ingin menggali asal-usul lahirnya agama Islam, di samping punya metode ilmu sejarah yang memadai, ia juga harus punya data-data historis yang memungkinkan ia untuk merekonstruksi peristiwa di masa lalu, sehingga menjadi pengetahuan koheren yang dapat dijadikan basis informasi terkait sejarah Islam. Bila data itu tidak ada, maka tidak akan mungkin asal-usul Islam akan diketahui, malahan ia akan terjatuh pada me-mitos-kan dan me-legenda-kan sejarah Islam.
Perjumpaan antara agama dan sains bukan hanya terjadi dalam hal pemimjaman alat oleh agama terhadap sains untuk menggali kebenaran historis agama, tetapi keduanya juga bisa bertemu dengan saling bantu-membantu.
Misalnya, agama Islam memiliki konsep tentang alam, tentang biologi, embriologi, dan lain sebagainya. Ketika Islam bicara hal-hal yang menjadi ranah sains, maka tidak mungkin Islam menjawab hal-hal itu secara memuaskan. Maka sudah menjadi bidang sains untuk memecahkannya. Dari sinilah keduanya bisa saling bertemu, berintegrasi, dan saling memberi solusi bagi manusia.
Ini hanyalah contoh kecil bagaimana agama dan sains saling bertemu. Terkadang, pertemuan agama dan sains bukan pada wilayah yang saling membutuhkan, atau salah satunya membutuhkan yang lain. Pertemuan itu terkadang bersifat permusuhan dan saling kontras. Misalnya terkait adanya asal-usul manusia atau makhluk hidup, antara agama dan sains sering bertentangan soal ini. Para penganut agama merasa informasi tentang asal-usul manusia di dalam agamanya sudah benar, tetapi di sisi lain sains mengatakan hal yang berbeda. Adanya kontradisi ini tidak jarang membuat keduanya bertengkar dan tidak menemukan titik temu.
Intinya, antara kebenaran subjektif dan kebenaran objektif tidak akan pernah saling bertemu. Keduanya bisa saling membantu, tetapi lebih sering saling berseteru. Yang pasti, kita tidak bisa mencapuradukkan antara kebenaran subjektif dan objektif, karena keduanya punya ranahnya sendiri-sendiri. Biarlah kebenaran subjekif bergerak sesuai koridornya, begitu pula sebaliknya, dan tidak perlu dipertentangkan.
Namun demikian, ketika ada sesuatu yang sekarang disebut kebenaran subjektif, misalnya dunia gaib, belum tentu selamanya ia subjektif, barang kali suatu saat akan terbukti sebagai kebenaran objektif. Seringkali manusia kekurangan alat untuk membuktikan hal-hal yang masih dianggap subjektif, kendati suatu saat masih ada kemungkinan bahwa sesuatu yang sujektif itu dapat dibuktikan secara empiris.


Pingback: Islam dan Evolusi: Lebih Dulu Nabi Adam atau Manusia Purba? - Islamadina